Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan Berpotensi Tekan Kasus Tengkes di NTT
Kebiasaan mengonsumsi ikan berpotensi menekan angka tengkes atau ”stunting” di NTT. Namun, pola penangkapan ikan itu harus tetap selaras dengan prinsip tepat demi menjaga kelestarian lingkungan dan ketersediannya.
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Kebiasaan mengonsumsi ikan berpotensi menekan angka tengkes atau stunting di Nusa Tenggara Timur. Namun, pola penangkapan ikan itu harus tetap selaras dengan prinsip tepat demi menjaga kelestarian lingkungan dan ketersediaan pasokan.
Direktur Logistik di Kementerian Kelautan dan Perikanan Innes Rahmania dalam diskusi virtual yang diselenggarakan Plan Internasional Indonesia bersama Bengkel Advokasi Pemberdayaan dan Pengembangan Kampung Nusa Tenggara Timur, di Kupang, Kamis (19/11/2020), mengatakan, tengkes menjadi masalah serius. Di NTT, kasus ini terbilang tinggi. Padahal, NTT memiliki potensi sumber pangan ikan yang besar.
Pada 2018, kasus tengkes di NTT tercatat 81.434 anak atau 35,4 persen dari total 230.319 anak yang diukur tinggi badannya. Tahun 2019, jumlahnya turun menjadi 92.110 anak atau 30,1 persen dari 306.298 anak yang diukur.
Pada Februari 2020 tercatat ada 99.535 anak atau 27,9 persen dari total 356.230 anak yang diukur tinggi badannya. Dari data itu, angka tengkes masih tinggi meski jumlahnya menurun.
”Sebagai provinsi kepulauan, NTT memiliki potensi ikan cukup besar. Ini harus terus digalakkan sehingga anak-anak NTT terbiasa mengonsumsi ikan,” kata Innes.
Menurut Innes, ikan memiliki nilai gizi tinggi. Di dalamnya mengandung protein, vitamin, mineral, asam lemak, dan omega 3. Ikan juga memiliki kandungan vitamin A, vitamin D, vitamin B12, selenium, protein, zinc, besi, dan kalsium. Kandungan-kandungan ini tidak ditemukan di dalam daging babi, sapi, kambing, dan daging ayam sekaligus. Kalau ada pun jumlahnya hanya sedikit.
”Ibu-ibu di NTT harus paham ikan mana yang memiliki nilai gizi tinggi. Ikan dengan kandungan omega 3, misalnya seperti selar kuning, kembung, layur, selar bentong, lemuru, tembang, daun bambu, pari, dan alu-alu,” tuturnya.
Peneliti kelautan dan perikanan di Universitas Nusa Cendana, Kupang, Fonny Ririmase, menyebutkan, NTT memiliki luas laut 200.000 kilometer persegi. Di dalamnya terdapat sumber daya kelautan dan perikanan yang dapat dikembangkan untuk kepentingan masyarakat. Potensi ikan mencapai 388,7 ton per tahun. Jumlah tangkapan yang diperbolehkan sekitar 292.800 ton per tahun.
Sejauh ini, produksi ikan tangkap di NTT baru 38 persen atau 41.000 ton per tahun dari target 180.000 ton per tahun. Konsumsi ikan di kalangan masyarakat NTT baru mencapai 17 kilogram per kapita per tahun. Padahal, sesuai anjuran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), konsumsi ikan sebaiknya paling rendah 29,5 kg per kapita per tahun.
”Masih banyak masyarakat pesisir tidak memiliki nelayan-nelayan terampil dan tidak didukung sarana dan prasarana tangkapan yang memadai. Masih banyak masyarakat pesisir takut melaut dan memilih bertani di lahan kering. Kondisi itu membuat jumlah ikan tangkapnya masih kecil,” ungkapnya.
Akan tetapi, Kepala Pusat Standardisasi Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Noer Adi Wardojo mengingatkan, penangkapan ikan agar dilakukan dengan prinsip yang tepat. Kreasi-kreasi baru patut dikembangkan sebagai bagian dari upaya melestarikan lingkungan.
”Saat produksi ikan melimpah, jangan dihabiskan. Biarkan ikan-ikan itu terus berkembang biak. Jangan gunakan cara-cara yang merusak perkembangan ikan, seperti bom pukat harimau, cangkrang, dan sejenisnya. Ketika ikan makin jauh, waktu melaut makin lama,” kata Adi.
Adi mengatakan, ketika populasi ikan menurun, produksi terbatas, akhirnya ikan makin sulit didapat. Kesejahteraan nelayan terganggu dan kesehatan masyarakat pun terimbas. Ikan memiliki nilai gizi tinggi bagi kesehatan, termasuk pertumbuhan kecerdasan anak-anak.
Edukasi mengonsumsi ikan juga harus dilakukan. Anak-anak dari kecil bisa diajari bagaimana cara memisahkan daging ikan dari tulang dan mengonsumsi sampai habis. Masih banyak anak enggan mengonsumsi ikan karena takut tulang atau duri ikan. Tugas orangtua bagaimana mengajarkan anak mengonsumsi ikan secara tepat.
”Ini hal sederhana, tetapi sangat bermanfaat bagi kehidupan anak-anak NTT ke depan. Dengan ini, ada upaya konstruktif di kalangan anak-anak, termasuk kehidupan nelayan. Ada upaya melindungi perikanan tangkap dan perikanan sumber daya,” kata Adi.
Manajer Proyek Yayasan Plan Internasional Indonesia Wiwid Widiyanto mengatakan, pola konsumsi dan produksi barang dan jasa di seluruh dunia saat ini sudah dalam tahap mengkhawatirkan. Rantai pasok makanan, barang, dan jasa semakin panjang, membuat konsumen makin sulit mengetahui asal-muasalnya dan bagaimana makanan atau barang itu dibuat.
”Saatnya konsumen harus cerdas dan sebaiknya memanfaatkan sumber daya yang ada di sekitar secara lebih efisien dan berkesinambungan, termasuk sektor kelautan dan perikanan,” kata Wiwid.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Produksi Bersih Nasional Kepala Badan Pengurus Yayasan Pengembangan Produksi Bersih Nasional Timotheus Wanadjaya mengatakan, efisiensi pemanfaatan sumber daya lingkungan tidak bisa ditawar, terutama dalam masa pandemi Covid-19. Daya dukung, daya tampung yang rendah, dan perubahan pola produksi harus mendorong semua pihak untuk lebih efisien.
Perwakilan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Rahman Kurniawan mengatakan, pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di masa pandemi Covid-19 semakin sulit. ”Tetapi, apa pun kondisi saat ini, harus tetap diperjuangkan. Di Indonesia, ada 27 provinsi memiliki rencana aksi daerah yang sedang berlangsung di tengah pandemi Covid-19,” katanya.