Sulawesi Utara didorong memaksimalkan produksi kelapa dan komoditas turunannya untuk memulihkan perekonomian daerah, salah satunya melalui ekspor. Namun, berbagai permasalahan di hulu harus diselesaikan.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Sulawesi Utara didorong memaksimalkan produksi kelapa dan komoditas turunannya untuk memulihkan perekonomian daerah, salah satunya melalui ekspor. Namun, berbagai permasalahan di hulu harus diselesaikan terlebih dahulu, seperti memperbanyak bibit dan meremajakan tanaman demi meningkatkan produktivitas.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulawesi Utara Edwin Kindangen, Kamis (18/11/2020), mengatakan, ekonomi Sulut pada triwulan III-2020 menyusut 0,57 persen dibandingkan dengan periode sama tahun lalu akibat pandemi Covid-19. Namun, dibandingkan dengan triwulan II-2020, kali ini terdapat pertumbuhan sebesar 7,01 persen.
Industri pengolahan kelapa, kata dia, memainkan peran penting. Terdapat 16 perusahaan besar yang mempekerjakan 4.271 orang dengan nilai investasi mencapai Rp 478,53 triliun. Industri kecil dan menengah (IKM) dengan total 416 unit usaha yang mempekerjakan 927 orang juga memainkan peran. Nilai investasinya mencapai Rp 3,4 triliun.
”Porsi IKM di Sulut didominasi bidang pengolahan pangan. Mereka yang menyerap produksi kelapa di provinsi kita,” ujar Edwin, dalam ”Dialog Kemitraan Multipihak Bidang Komoditas Kelapa untuk Pemulihan Ekonomi Sulawesi Utara”, yang digelar Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas di Mapanget, Minahasa Utara.
Selama Januari-Oktober 2020, volume ekspor industri kelapa Sulut mencapai 558.363,13 ton. Nilai ekspor pun menyentuh 163,46 juta dollar AS, lebih tinggi dari tahun 2019, sebesar 120,05 juta dollar AS. Produk yang dikirim ke luar negeri itu terbagi menjadi 14 jenis, antara lain minyak kelapa mentah, santan kelapa, dan bungkil kopra.
Edwin pun mendorong pengusaha memanfaatkan fasilitas ekspor yang disediakan pemerintah, salah satunya ke Jepang melalui penerbangan kargo. Setelah delapan kali pemberangkatan, Sulut hanya bisa memasok produk perikanan, pertanian, dan perkebunan rata-rata 8,97 ton dari kapasitas maksimal 25 ton.
”Masih banyak ruang yang belum termanfaatkan dan bisa diisi produk-produk kelapa kita. Saat ini, harga kopra juga sedang bagus, yaitu Rp 11.600 per kilogram di tingkat pedagang pengumpul. Dari kacamata perdagangan, ini peluang yang harus dimanfaatkan,” kata Edwin.
Kepala Dinas Perkebunan Sulut Refly Ngantung mengatakan, saat ini 200.763 rumah tangga pekebun di Sulut masih bergantung pada kelapa yang terdiri dari kelapa dalam dan kelapa hibrida. Setidaknya 96,96 persen dari 275.749,55 hektar perkebunan kelapa di Sulut adalah perkebunan rakyat.
Masalahnya, produktivitas kelapa di Sulut masih tergolong rendah, yaitu 1,26 ton per hektar dalam setahun. ”Produktivitasnya masih lebih rendah dari potensi maksimal yang bisa sampai 3 ton per hektar per tahun. Ini karena usia tanaman yang sudah tua, rata-rata 60 tahun, dan serangan hama,” tuturnya.
Untuk itu, diperlukan upaya peremajaan dan memperluas lahan perkebunan dengan menyediakan bantuan bibit unggul bagi petani. Refly mengatakan, pihaknya berencana menanami kembali lahan tidak produktif seluas kira-kira 60.000 hektar dengan kebutuhan lebih kurang 7,2 juta bibit unggul.
Masalahnya, produktivitas kelapa di Sulut masih tergolong rendah, yaitu 1,26 ton per hektar dalam setahun.
”Diperlukan cara pembibitan secara modern. Tidak ada cara lain yang seefektif menggunakan teknologi genetik bibit unggul. Ini nantinya juga bisa menyelesaikan permasalahan kepemilikan petani akan lahan yang sangat sempit, rata-rata hanya 0,5-1 hektar,” paparnya.
Kepala Balai Penelitian Tanaman Palma (Balitpalma) Ismail Maskromo mengatakan, program peremajaan tanaman berjalan sangat lambat. Sangat sedikit investor yang mau terjun dalam bidang peremajaan karena kelapa baru berbuah setelah 4-5 tahun penanaman.
Oleh karena itu, pemerintah perlu memenuhi kebutuhan petani akan varietas kelapa yang bisa berbuah setelah 2-3 tahun dan lambat bertumbuh tinggi. Balitpalma telah berhasil mengembangkan varietas kelapa genjah entog kebumen, genjah pandan wangi, genjah kopyor pati, dan kelapa dalam bido morotai.
”Buahnya besar-besar, tetapi pohonnya kecil. Varietas genjah entog, misalnya, bisa berbuah dalam dua tahun, sedangkan kelapa dalam bido morotai di bawah tiga tahun. Harga butirannya pun relatif lebih tinggi di pasar, bisa Rp 11.000-Rp 25.000 per butir,” kata Ismail.
Ia menambahkan, Balitpalma sedang mengembangkan metode perbanyakan secara massal. Kapasitas sumber daya peneliti pun ditingkatkan seiring dengan pengadaan laboratorium dan rumah kaca yang memadai. Balitpalma juga membuka peluang kerja sama dengan pihak swasta dalam industri benih.
Balitpalma sedang mengembangkan metode perbanyakan secara massal. Kapasitas sumber daya peneliti pun ditingkatkan seiring dengan pengadaan laboratorium dan rumah kaca yang memadai.
Pada saat yang sama, kata Ismail, diperlukan upaya untuk mendorong semangat pekebun dengan mendiversifikasi produk turunan selain kopra. Kelembagaan petani kelapa pun perlu diperkuat untuk mengatur produksi. Refly menambahkan, perlu dibentuk lebih banyak unit usaha pengolahan hasil untuk meningkatkan daya saing.
Ketua Jurusan Teknologi Pertanian Universitas Sam Ratulangi Dedie Tooy mengatakan, produksi kelapa di Sulut bisa didorong dengan memperkuat aspek kelembagaan, yaitu menjadikan kelapa sebagai komoditas unggulan superprioritas di Sulut. Petani kelapa juga bisa mendapat keuntungan lebih dari lahan dengan memanfaatkannya untuk menanam tumbuhan lain.
”Di Bolaang Mongondow Utara sedang diupayakan memanfaatkan lahan kelapa untuk peternakan sapi, bekerja sama dengan perusahaan Australia. Upaya intercropping (tumpang sari) dengan produk lain perlu dicoba,” kata Dedie.