Jawa Barat Bersiap Hadapi Bencana Lebih Besar Terkait Hujan
Meskipun belum memasuki puncak musim hujan, sejumlah wilayah di Jawa Barat telah dilanda banjir dan longsor sejak September. Warga perlu bersiap menghadapi bencana hidrometeorologis dengan dampak lebih besar.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Meskipun belum memasuki puncak musim hujan, sejumlah wilayah di Jawa Barat telah dilanda banjir dan longsor sejak September. Warga perlu bersiap menghadapi bencana hidrometeorologis dengan dampak lebih besar seiring menguatnya anomali cuaca La Nina.
Anomali cuaca membuat bencana hidrometeorologis datang lebih awal di Jabar. Pada September lalu, banjir bandang menerjang tiga kecamatan di Kabupaten Sukabumi. Salah satu pemicunya adalah hujan dengan intensitas hingga 110 milimeter selama sekitar 3,5 jam.
Pertengahan Oktober, giliran tiga kecamatan di Kabupaten Garut dilanda banjir dengan ketinggian 1,5 meter. Di saat bersamaan, banjir dan longsor menerjang Kabupaten Tasikmalaya.
Pada musim hujan tahun lalu, banjir besar terjadi sejak pertengahan Desember. Banjir melanda tujuh kecamatan di Kabupaten Bandung dan menggenangi lebih dari 9.000 rumah.
Beberapa kejadian banjir juga melanda kawasan Bandung Raya, seperti Kabupaten Bandung, Kota Bandung, dan Kota Cimahi, sepanjang Oktober. Bencana lebih besar berpotensi terjadi karena puncak musim hujan diprediksi pada Januari-Februari 2021.
Fenomena La Nina membuat ancaman bencana semakin besar. ”La Nina meningkatkan curah hujan hingga 40 persen sehingga berpotensi menghadirkan bencana hidrometeorologis,” ujar Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jabar Dani Ramdan, Sabtu (14/11/2020).
Dani mengatakan, sejak 1 November, Jabar telah menetapkan status siaga darurat bencana hidrometeorologis. Dengan begitu, pemerintah kabupaten/kota dapat mengambil langkah antisipasi kedaruratan bencana.
”Status ini berlangsung sampai 31 Mei 2021. Sejumlah peralatan evakuasi juga telah disiapkan oleh BPBD kabupaten/kota dan instansi terkait lainnya,” ujarnya.
Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum menjadi langganan banjir setiap musim hujan. Kawasan paling rentan adalah Bandung selatan, di antaranya Kecamatan Baleendah, Bojongsoang, dan Dayeuhkolot. Ketiga kecamatan itu merupakan daerah terendah di Cekungan Bandung. Selain itu, juga merupakan pertemuan Sungai Citarum, Cisangkuy, dan Cikapundung.
Kokom (48), warga Baleendah, mengatakan, sepanjang Oktober setidaknya sudah tiga kali kawasan itu dilanda banjir. ”Ketinggian banjir masih di bawah 0,5 meter. Jadi, warga belum mengungsi,” ujarnya.
Pada musim hujan tahun lalu, banjir besar terjadi sejak pertengahan Desember. Ketika itu, banjir melanda tujuh kecamatan di Kabupaten Bandung dan menggenangi lebih dari 9.000 rumah. Sekitar 25.000 warga terdampak banjir setinggi 1,5 meter itu.
Pembangunan infrastruktur
Kepala Dinas Sumber Daya Air Jabar Dikky Achmad Sidik mengatakan, pada 2015-2019, pemerintah telah membangun berbagai infrastruktur untuk menanggulangi banjir di DAS Citarum. Infrastruktur itu, di antaranya, Kolam Retensi Cieunteung, Terowongan Nanjung, dan Floodway Cisangkuy. Selain itu, sejumlah sungai anak Sungai Citarum juga dikeruk untuk mengangkat sedimentasi.
Volume Kolam Retensi Cieunteung sekitar 200.000 meter kubik. Kolam ini berfungsi menampung banjir di sekitar Baleendah dan selanjutnya dipompa ke Citarum.
Terowongan Nanjung dibangun untuk memperlancar aliran Sungai Citarum ke Waduk Saguling agar banjir lebih cepat surut. Infrastruktur ini terdiri dari dua terowongan yang masing-masing sepanjang 230 meter dengan diameter 8 meter. Kapasitas debitnya mencapai 700 meter kubik per detik.
”Sementara Floodway Cisangkuy mengalihkan sebagian besar debit Cisangkuy sehingga tidak bertemu dalam satu titik dengan muara Cikapundung di Dayeuhkolot dan sekitarnya,” ujarnya.
Menurut Dikky, berdasarkan simulasi pemodelan banjir, luas genangan berkurang sejak adanya infrastruktur tersebut dari 6.998 hektar pada 2010 menjadi 5.778 hektar pada 2019.
Dikky mengatakan, selain faktor curah hujan dan elevasi, banjir di Bandung Selatan juga disebabkan lahan kritis di hulu. Imbasnya, resapan air tak maksimal. Pola tanam di hulu yang didominasi tanaman semusim juga turut mempercepat sedimentasi sehingga mengurangi kapasitas sungai.
”Semoga gerakan menaman 50 juta pohon dapat mengurangi lahan kritis di hulu Citarum,” ucapnya. Gerakan ini dicanangkan Pemprov Jabar pada awal 2020.