”Festival Bulu” Bangkitkan Pamor Alat Musik Bambu Maluku
Festival Bulu yang digelar di Ambon, Maluku, bertujuan mengangkat kembali pamor bambu yang kini tenggelam. Bambu melekat dengan tradisi masyarakat Maluku, mulai dari alat musik hingga alat penangkap ikan.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Festival Bulu akan digelar di Ambon, Maluku, secara virtual selama tiga hari, mulai 26 November 2020. Festival ini bertujuan mengangkat pamor alat musik bambu Maluku dan mendorong inovasi alat musik itu tetap diterima di setiap generasi dan zaman yang terus berubah.
Hingga Kamis (19/11/2020) petang, persiapan konser terus dirampungkan. Lokasi konser bertempat di Amphiteater Ihuroang, Desa Tuni, Kecamatan Leitimur Selatan, Kota Ambon. Tuni merupakan kampung musik berbasis suling bambu.
Berbagai alat musik bambu atau dalam bahasa setempat disebut ”bulu” didatangkan ke tempat kegiatan. Selain suling dalam berbagai nada, ada juga ukulele dan violin. Semua alat musik itu akan dimainkan secara kolaboratif. Orkestra musik suling bambu yang akan tampil adalah Molucca Bamboowind Orchestra (MBO).
MBO merupakan satu-satunya orkestra musik suling di Indonesia, bahkan dunia. Mereka sudah tampil di berbagai acara nasional dan internasional. Kehadiran MBO untuk memberi pesan bahwa alat musik bambu mendapat tempat yang istimewa.
”Kekhasan alat musik tradisional, seperti bambu, adalah unsur magis yang dihasilkan dari bunyi. Bunyi yang terdengar dari tabrakan interval,” kata konduktor MBO, Rence Alfons.
Kekuatan magis dari bunyi yang menggetarkan jiwa itu lalu membuat alat musik suling biasa digunakan dalam acara keagaman. Di Maluku, musik liturgi Gereja Protestan Maluku pada awal berdirinya gereja adalah suling. Sementara di komunitas Islam terdapat tarian Sawat dengan melodi suling. Penggunaan suling di dua komunitas itu kini terus berkurang.
Sebelum akhir dekade 1990-an, suling bambu masih menjadi alat musik yang digemari masyarakat Maluku. Setiap Hari Kemerdekaan RI pada 17 Agustus digelar lomba paduan suling bambu antarsekolah dasar. Tradisi itu kini telah hilang.
”Festival ini membangkitkan kembali harapan bahwa masih ada anak diamuda yang peduli dengan alat musik dari bambu,” kata Rence.
Menurut dia, pemerintah harus memberi dukungan terhadap perkembangan musik dari bambu dan alat musik tradisional lainnya. Hal itu menjadi kekhasan setelah Kota Ambon ditetapkan sebagai kota kreatif berbasis musik oleh UNESCO pada 30 Oktober 2019. Hingga kini, Ambon merupakan satu-satunya kota di Asia Tenggara yang mendapat predikat itu.
Di Maluku, musik liturgi Gereja Protestan Maluku pada awal berdirinya gereja adalah suling. Sementara di komunitas Islam terdapat tarian Sawat dengan melodi suling.
Minimnya ruang apresiasi terhadap alat musik tradisional itu memunculkan kritik masyarakat terhadap pemerintah kota. Salah satunya penggunaan gitar sebagai ikon kota musik di Taman Pattimura, Ambon.
”Seharusnya menggunakan suling bambu atau tahuri (terompet dari kerang) yang melekat dengan tradisi lokal,” kata Niko Ngeljaratan (56), warga Kota Ambon.
Pier Ajawaila, salah satu inisiator Festival Bulu, mengatakan, konser musik suling itu dipadukan teater dari berbagai komunitas seni. Mereka akan memperagakan tentang bambu yang tidak hanya sebagai alat musik.
”Dalam tradisi orang di Maluku, dulu bilah bambu biasa digunakan untuk memotong tali pusar bayi atau menyunat,” katanya.
Berbagai kerajinan dari bambu juga akan dipamerkan secara virtual, seperti nyiru dan jaring bubu untuk menangkap ikan. Tayangan acara ini dapat disaksikan lewat kanal Youtube dengan nama akun Festival Bulu. Pelaksanaan festival secara virtual itu sebagai bentuk penerapan protokol kesehatan pada masa pandemi Covid-19.