Bertahan di Huntara, Waswas Menghadapi Bencana di Konawe Utara
Banjir bandang lebih dari setahun sudah berlalu. Namun, sampai kini, nasib 841 keluarga di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, masih tak menentu. Hidup di hunian sementara, menanti kapan pemerintah membangun rumah mereka.
KENDARI, KOMPAS — Banjir bandang sejak lebih dari setahun lalu membuat 841 keluarga di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, saat ini belum memiliki hunian tetap. Mereka kehilangan tempat tinggal dan harus menetap di hunian sementara dengan situasi serba terbatas. Mereka berharap bisa hidup layak dan tidak waswas banjir yang hanya menambah sengsara itu datang kembali.
Bersama empat orang keluarga dekatnya, Ahmad Badwin (50), Kepala Desa Tapuwatu, Asera, Konawe Utara, menetap di hunian sementara (huntara) yang dibangun sekitar 2 kilometer dari kampungnya. Rumah semipermanen dengan luas 5x6 meter itu menjadi tempat tinggalnya 5 bulan terakhir.
”Sejak rumah kami hanyut pada Juni 2019, kami baru pindah ke huntara setelah Idul Fitri 2020, Mei lalu. Jadi, kami setahun menetap di tenda penampungan,” kata Ahmad, dihubungi dari Kendari, Jumat (13/11/2020). ”Saya harus berusaha membuat warga tenang karena sudah berharap punya rumah sendiri. Biar gubuk, tetapi kalau rumah sendiri itu beda rasanya.”
Desa Tapuwatu adalah satu dari ratusan desa yang terdampak banjir besar pada 2019. Di desa yang berdampingan dengan Sungai Lasolo ini, sungai terbesar di Konawe Utara, tidak lagi terlihat geliat kehidupan. Hanya ada beberapa pohon yang tidak tersapu air. Sementara rumah-rumah hanyut, tersisa fondasi atau beberapa bagian rumah.
Baca juga: Banjir Berulang di Konawe dan Konawe Utara Buat Warga Kian Terpuruk
Desa ini berdampingan dengan sebuah perkebunan kelapa sawit seluas ribuan hektar. Berjarak beberapa puluh kilometer di hulu hingga pesisir pantai adalah daerah penuh pertambangan. Selain 325 warga di Tapuwatu, lebih dari 9.000 warga lainnya di kabupaten ini terdampak banjir. Total kerugian mencapai Rp 674,8 miliar.
Menetap di huntara, tutur Ahmad, menjadi sebuah kemewahan setelah satu tahun hidup di tenda pengungsian. Sebab, sebelumnya mereka harus berteman dengan dingin, kepanasan saat siang hari, dan waswas saat hujan turun dengan deras. Tidak jarang, saat terlelap tidur, air hujan masuk ke dalam tenda.
Selain ia dan keluarganya, sebanyak 84 keluarga di Desa Tapuwatu saat ini juga menempati huntara yang disediakan. Semua rumah milik warga yang ada di desa tersebut hanyut disapu banjir bandang pada Juni 2019. Hampir tidak ada yang tersisa.
”Tahun ini banjir lagi meski tidak setinggi tahun lalu. Mungkin ketinggiannya sektiar 1,5 meter. Jika tahun lalu membawa lumpur, tahun ini penuh pasir. Entah tahun depan bawa apa lagi. Semoga sudah bawa mutiara,” selorohnya.
Pada Juli lalu, banjir kembali menerjang sejumlah wilayah di Konawe Utara. Meski ketinggian air lebih rendah dari sebelumnya, banjir tetap membuat ribuan warga terdampak. Sebagian warga kembali harus mengungsi akibat hunian mereka terendam air. Warga Tapuwatu awalnya ingin menanam cabai di bekas-bekas rumah mereka. Namun, karena pasir yang dibawa banjir setinggi setengah meter, mereka tidak bisa tanam apa-apa.
”Kami ingin cari penghasilan karena kendala utama warga saat ini adalah di persoalan ekonomi,” kata Ahmad.
Tidak hanya rumah warga, sejumlah lokasi huntara bahkan terkena terjangan banjir. Di Desa Puusuli, Andowia, huntara milik warga terkena terjangan air. Daerah ini berdekatan dengan lokasi pertambangan nikel yang ada di wilayah tersebut.
Kerusakan hulu hingga hilir
Ahmad menjelaskan, warga terus waswas terhadap bencana banjir yang tidak bisa diprediksi datangnya. Sebelumnya, banjir memang beberapa kali datang, tetapi dengan intensitas sedang dan waktu yang tetap, yakni ketika musim hujan datang. Banjir juga tidak pernah membawa endapan lumpur atau pasir seperti tahun ini.
”Ini semua karena kerusakan di hulu sampai hilir. Nda usah lagi dikasih izin penebangan hutan, apalagi sampai pertambangan. Karena kalau sudah tambang, biar anak pohon juga habis semua. Kami di sini jadi korbannya,” tuturnya.
Baca juga: Sudah Lima Hari Banjir Lumpur Terjang Wilayah Tambang di Konawe Utara
Tidak hanya di Desa Tapuwatu atau Desa Puusuli, warga Desa Tambakua, Langgikima, juga harus merasakan dampak buruk pembukaan hutan, khususnya pertambangan dan sawit. Setiap tahun, banjir lumpur menerjang desa dan persawahan warga. Jalan tertutup lumpur dengan ketinggian lebih dari 1 meter.
”Kami harus pakai traktor sampai dekat jembatan baru berenang melintas kalau banjir datang. Ibu-ibu juga berenang untuk pergi ke pasar. Namun, kalau air tinggi, sudah tidak bisa dilalui,” kata Sekretaris Desa Tambakua Mustaman.
Banjir bercampur lumpur, tutur Mustaman, berasal dari daerah hulu yang memang penuh lokasi pertambangan. Sejumlah perusahaan terus melakukan aktivitas di daerah bukit yang dekat dengan hulu Sungai Langgikima.
Sejauh ini, tuturnya, bantuan pemerintah sudah diterima. ”Kami hanya minta, kalau banjir surut, perusahaan bantu untuk mengeruk lumpur. Terus pemerintah cari solusi agar banjir tidak terulang lagi. Tahun lalu, kami banjir lumpur sampai ke rumah-rumah,” ujarnya.
Dengan daerah paling kaya nikel di Sultra, daerah Konawe Utara memang dikepung pertambangan juga perkebunan sawit. Wahana Lingkungan Hidup Sultra mencatat, luas izin usaha pertambangan (IUP) mencapai 200.000 hektar, sementara luas wilayah ini adalah 500.000 hektar. Hampir setengah wilayah Konawe Utara masuk dalam IUP. Belum lagi termasuk empat perusahaan sawit yang beroperasi di sejumlah wilayah.
Sementara itu, data Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Sampara menunjukkan, luas pertambangan di DAS Lasolo seluas 806 hektar, sementara perkebunan mencapai 21.903 hektar. Sebagian wilayah dari dua sektor ini beririsan dengan wilayah tingkat erosi berat dan sangat berat. Luas wilayah dalam kondisi erosi seluas sekitar 50.000 hektar.
Kritisnya kondisi DAS Lasolo terlihat jelas di sejumlah daerah hulu, terutama di Kecamatan Langgikima dan Oheo. Dua daerah yang berada di lereng dan lembah itu dipenuhi kelapa sawit yang ditanam sejak 2007 dan mulai dipanen pada 2011. Tak hanya di lereng dan lembah, kelapa sawit ditanam hingga ke bibir sungai. Di banyak titik, terlihat jelas alur air dari kebun sawit mengalir langsung menuju sungai tanpa adanya kolam atau penampungan sementara. Kawasan perkebunan sawit tersebut dulunya hutan lebat.
Di Desa Tambakua, Kecamatan Langgikima, penambangan nikel terbuka membentang seluas sekitar 60 hektar di gunung yang sebelumnya hutan lebat. Material tambang ditimbun di bagian pinggir pertambangan. Terdapat banyak aliran air dan material tambang menuju Sungai Laundolia, salah satu subsistem Sungai Lasolo yang mengalir ke permukiman warga Tambakua. Bahkan, ada pula longsoran dari tumpukan material penambangan menuju sungai melewati hutan lebat.
Penambangan juga dilakukan hingga daerah muara dan pesisir Konawe Utara. Sementara itu, analisis dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional yang dikeluarkan pada Juni 2019 menunjukkan semakin berkurangnya tutupan lahan pada kurun 2013 hingga 2018. Vegetasi hutan berkurang hingga 40.000 hektar dalam waktu 5 tahun. Angka luasan perkebunan juga naik drastis, begitupun dengan lahan terbuka.
Pengajar Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan Universitas Halu Oleo, Nur Arafah, menjabarkan, wilayah Konawe Utara memang mengalami degradasi selama lebih dari beberapa dekade terakhir. Setelah menjadi daerah perkebunan sawit, tanah yang kaya nikel itu juga dikeruk secara masif, baik legal maupun ilegal.
”Padahal, alam itu punya daya dukung. Ini tidak pernah diperhitungkan. Mau seperti apa pun ditangani, kalau sudah lebih dari daya dukung, pasti akan berdampak buruk. Apalagi kalau tidak ditangani sedari awal,” tuturnya menjelaskan.
Sejauh ini, kata Arafah, belum ada langkah berarti dalam upaya mengevaluasi dan memperbaiki lingkungan di Konawe Utara. Banjir bandang atau bencana hidrometeorologi lainnya menjadi ancaman nyata masyarakat yang menetap di wilayah tersebut.
Oleh sebab itu, pemerintah sudah seharusnya melakukan evaluasi perizinan eksploitasi sumber daya alam di wilayah tersebut. Evaluasi penting agar mengetahui apa yang penting untuk diperbaiki dan segera dilakukan di lapangan.
”Kedua adalah audit lingkungan. Sejauh mana kinerja dari izin pertambangan yang telah diberikan. Yang tidak beres itu dikeluarkan atau dipidana. Pajaknya, pengelolaan lingkungan, reklamasi, dermaga, kawasan tempat mengambil nikel, itu semua harus diaudit. Tinggal pemerintah mau atau tidak,” ucapnya.
Kepala Bidang Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Konut Jasmidi menyampaikan, pihaknya saat ini fokus pada kesiagaan menghadapi dampak fenomena La Nina yang diprediksi terjadi di Januari mendatang. Terlebih lagi, sebanyak 70 persen wilayah Konawe Utara adalah garis pantai yang rentan terpapar gelombang tinggi atau angin kencang.
”Kami mulai sosialisasi ke warga bahaya situasi yang akan terjadi. Bagaimana angin kencang, hujan deras, atau gelombang tinggi yang bisa terjadi. Tidak hanya di pesisir, tetapi juga di daratan karena bisa saja terjadi hujan deras atau angin kencang di wilayah daratan,” ucapnya.
Terkait warga terdampak banjir, Jasmidi menambahkan, sebanyak 841 huntara telah terbangun di sejumlah titik. Jumlah huntara tersebut sesuai jumlah keluarga korban banjir yang kehilangan rumah. Sebagian besar warga telah menetap di huntara tersebut dan akan menyusul warga yang masih menumpang di rumah keluarga.
Meski demikian, untuk hunian tetap belum ada pembangunan di tahun ini. Pembangunan direncakan pada 2021 dengan menunggu anggaran pemerintah pusat.
”Persoalan warga sekarang adalah menghadapi bencana lanjutan serta bagaimana perekonomian tetap berjalan. Dari instansi lain sudah bergerak juga dan kami bersiap untuk mencegah dan meminimalisir terjadinya korban saat terjadi bencana,” tuturnya.