DPD RI: Keragaman Budaya Perkuat Ketahanan Nasional
Keberagaman bangsa Indonesia menjadi kekuatan untuk merawat ketahanan nasional. Sejarah telah mencatat perjalanan panjang bangsa, termasuk peranan besar daerah-daerah di Indonesia.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
KOMPAS/SETJEN DPD RI
Penyambutan rombongan DPD RI di Kedaton Tidore, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara, Rabu (18/11/2020).
TIDORE, KOMPAS — Keragaman budaya yang tersebar di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kekuatan untuk menjaga ketahanan nasional. Indonesia sudah teruji melewati berbagai rintangan untuk menjaga ketahanan itu. Salah satunya adalah komitmen persatuan bangsa yang dijaga oleh segenap elemen di daerah.
Demikian benang merah yang terungkap dalam Focus Group Discussion dengan tema ”Rekonstruksi Hubungan Sejarah dan Budaya Tidore-Papua untuk Memperketat Ketahanan Nasional Dalam Bingkai NKRI” pada Rabu (18/11/2020). Sebagaimana siaran pers Bagian Pemberitaan dan Media Sekretariat Jenderal DPD RI, acara yang disiarkan secara virtual itu berlangsung di Kedaton Kasultanan Tidore, Maluku Utara.
Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono dalam pemaparannya mengungkapkan, keberagaman budaya daerah adalah warisan kekayaan sekaligus ketahanan nasional bangsa yang harus terus dijaga. Sejarah perjalanan bangsa telah membuktikan itu. Generasi saat ini diharapkan memerihara semangat itu agar terus terjaga.
”Tugas kita sebagai anak bangsa sebagai bagian dari sejarah adalah untuk memperkuat, memperkokoh, berbuat yang lebih baik untuk generasi berikutnya. Lahirnya Indonesia karena ada kesepakatan politik, kesadaran untuk mau menyatu meskipun berbeda,’’ kata Nono sebagaimana tertulis dalam siara pers dimaksud.
KOMPAS/SETJEN DPD RI
Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono berbicara dalam diskusi di Kedaton Tidore, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara, Rabu (18/11/2020).
Menurut dia, Tidore dan Papua merupakan bagian dari bingkai besar sejarah terbentuknya NKRI. Begitu juga daerah lain di Indonesia yang mempunyai peran masing-masing dalam memperjuangkan dan mempertahankan eksistensi negara ini. Kendati berasal dari latar belakang budaya dan agama yang berbeda, setiap daerah memiliki idealisme yang sama untuk Indonesia.
”Kita ingin Indonesia sebagai NKRI bisa bertahan sepanjang masa jangan sampai punah, toleransi dan kerukunan harus dijaga sebab ini yang melahirkan tata nilai yang dinamakan Pancasila oleh para pendiri bangsa. Dari perbedaan yang ada kita disatukan, kita rawat betul Pancasila dengan pendekatan keadilan kesejahteraan dan budaya, maka republik ini akan makin kokoh dan kuat,” kata Nono.
Lahirnya Indonesia karena ada kesepakatan politik, kesadaran untuk mau menyatu meskipun berbeda,
Sultan Tidore Husain Alting Sjah yang membuka acara itu mengatakan, Tidore negeri kecil yang pernah menyatukan sepertiga wilayah di republik ini. Lewat rangkaian peristiwa sejarah, Papua dan Tidore memilih bergabung dengan NKRI, bahkan Sultan Tidore saat itu, Zainal Abinin Sjah sebagai Gubernur Irian Barat yang pertama, sebelum bernama menjadi Papua dan Papua Barat.
”Lewat sejarah panjang, pahlawan nasional Indonesia, Sultan Nuku dari Tidore, berjuang melawan penjajah demi NKRI. Juga saya ungkapkan bahwa Papua merupakan bagian dari kami dan saya berharap Indonesia memelihara kultur, budaya, dan kemanusiaan di atas segala-galanya demi menjaga Indonesia yang lebih baik,” kata Husain.
Kompas/Agus Susanto
Seorang perempuan memakai noken (tas khas Papua) dalam atraksi budaya perang-perangan dalam Festival Lembah Baliem 2012 di Kampung Wosiala, Desa Wosilimo, Distrik Usilimo, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Kamis (9/8/2012). Noken atau tas rajutan khas Papua akhirnya diakui sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Bergerak dalam Sidang UNESCO di Paris, Prancis, tanggal 4 Desember 2012.
Sementara itu, senator asal Papua Barat, Filep Wamafma, memaparkan, belajar dari sejarah, hubungan kultural antara Tidore dan Papua punya sejarah panjang. Bahkan, menurut sejarahnya, Papua pernah menjadi bagian dari Kesultanan Tidore. Oleh karena itu, pendekatan budaya dan kultur harus terus dipupuk oleh kedua belah pihak.
”Satu hal yang paling pokok, bagaimana pendekatan kebudayaan, aspek kultural menjadi jalan pemersatu. Tidore berhasil membangun kekeluargaan dengan Papua karena pendekatan akulturasi dengan mempertautkan budaya. Selain itu, pendekatan budaya menciptakan rasa saling menghormati, menghargai tanpa rasa takut, utamanya juga menciptakan rasa keadilan dan kesejahteraan bagi kami bagi seluruh rakyat Indonesia,” ucap Filep.
Rektor Universitas Khairun Husen Alting menambahkan, arah pendekatan Papua ke depan memang harus diubah, pendekatan ekonomi melalui dana otonomi khusus ternyata masih belum menyelesaikan permasalahan, harus ada pendekatan kultural.
”Pendekatan sejarah kultural budaya harus segera dilakukan, dari berbagai kajian dari berbagai pihak sudah diberikan kepada pemerintah harus diperhatikan. Melalui pendekatan dialog dengan memperhatikan identitas kultural, keragaman perspektif kultural untuk melakukan rekonsiliasi masa lalu dan menata masa depan,” ujarnya.
Kompas
Lanskap Pulau Maitara (kiri) dan Tidore dilihat dari Tifu, Kecamatan Gambesi, Ternate, Maluku Utara, Minggu (20/7/2014). Pemandangan tersebut merupakan lukisan yang ada di uang pecahan kertas Rp 1.000.
Acara itu terselenggara berkat kerja sama DPD RI, Pemerintah Kota Tidore Kepulauan, Lembaga Adat Kesultanan Tidore, dan Universitas Khairun.