Desa Bersaudara, Mitigasi Berakar Harmoni di Lereng Merapi
Kacaunya pengungsian saat erupsi Gunung Merapi pada 2010 silam menjadi titik balik perbaikan mitigasi bencana di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Konsep desa bersaudara yang lahir dari benih kearifan lokal diperkenalkan.
Kacaunya pengungsian saat erupsi Gunung Merapi 2010 jadi titik balik perbaikan mitigasi bencana di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Konsep sister village atau desa bersaudara yang lahir dari benih kearifan lokal warga pun dihadirkan.
Tumini (37) masih mengenang cerita pilu pada 2010 silam saat keluarganya mengungsi akibat bencana erupsi Gunung Merapi. Saat itu, warga warga Desa Keningar, Kecamatan Dukun, Magelang, itu sempat terpisah dari suami dan ayahnya. Ia baru bisa mengetahui keberadaan keluarganya keesokan harinya.
”Saya saat itu mengungsi di Desa Bojong. Semuanya serba buru-buru dan ribet. Pokoknya asal bisa turun secepat mungkin dan selamat dari bencana,” kata Tumini saat ditemui di pengungsian SD Negeri 1 Ngrajek, Kecamatan Mungkid.
Pengalaman tidak mengenakkan saat mengungsi akibat erupsi Merapi tahun 2010 juga dialami Yuliah (40). Saat itu, ia tidak sempat membawa pakaian ganti. Akibatnya, Yuliah harus memakai pakaian yang sama selama tiga hari berturut-turut.
Baca juga: Beban Ganda Mengungsi Kala Pandemi
”Saat itu, saya baru bisa berganti pakaian setelah ada bantuan. Dua pasang pakaian itu yang akhirnya saya pakai hingga akhir masa pengungsian,” katanya.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Magelang Edy Susanto menuturkan, gagasan terkait desa bersaudara pertama kali muncul dari hasil evaluasi penanganan bencana erupsi Merapi tahun 2010. Kala itu, Merapi erupsi di saat pemerintah dan warga belum memiliki konsep pengungsian yang matang.
”Saat itu, warga dari lereng langsung yang turun mencari tempat aman tidak memiliki tujuan yang pasti. Evakuasi juga dilakukan buru-buru karena kurang persiapan,” kata Edy, Senin (16/11/2020), di Magelang.
Sistem yang ditemukan pada 2013 ini memasangkan desa di kawasan rawan bencana erupsi dengan desa yang berada di kawasan aman. (Edy Susanto)
Belajar dari pengalaman tersebut, pemerintah menyusun rencana evakuasi melalui sistem desa bersaudara. Sistem yang ditemukan pada 2013 ini memasangkan desa di kawasan rawan bencana erupsi dengan desa yang berada di kawasan aman.
”Begitu erupsi terjadi, warga di desa rawan langsung mengevakuasi diri ke desa aman yang merupakan pasangannya. Sistem ini sudah kami simulasikan bersama. Saat erupsi terjadi, warga desa yang akan mengungsi maupun warga desa yang akan dijadikan tempat pengungsian siap,” imbuhnya.
Dalam simulasi tersebut, warga diminta menghapalkan, saat bencana terjadi, dirinya harus menumpang atau memberikan tumpangan kepada siapa. Jalur evakuasi juga diatur sedemikian rupa untuk menghindari kemacetan saat evakuasi.
Hingga saat ini ada 19 desa di Kabupaten Magelang dan 2 desa di Kabupaten Boyolali yang sudah berpasangan dengan 42 desa aman di Kabupaten Magelang. Kerja sama antara desa rawan dan desa aman tersebut diwujudkan dalam nota kesepahaman.
”(Konsep) desa bersaudara itu pada dasarnya hanya modifikasi kearifan lokal. Dari dulu warga dari lereng Merapi mengungsi ke desa di bawahnya. Sekarang tinggal kami tetapkan mereka turunnya ke mana supaya lebih teratur,” ucap Edy.
Baca juga : Warga Mengaku Kesulitan Patuhi Protokol Kesehatan di Pengungsian
Koordinator Pengungsian Desa Keningar, Titi (47), mengatakan, konsep desa bersaudara mempermudah pengungsian dini seperti yang dilakukan saat ini. Adapun Desa Keningar memiliki desa saudara yakni Desa Ngrajek. Untuk itu, saat warga dari Desa Keningar mesti mengungsi, mereka langsung diarahkan menuju Desa Ngrajek.
Sampai Senin (16/11/2020), ada sembilan dusun di tiga desa di Kecamatan Dukun yang telah diimbau Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) untuk mengungsikan warga lansia, anak balita, dan ibu hamil. Sembilan dusun itu berjarak kurang dari 5 km dari puncak Gunung Merapi.
Baca juga : Memindahkan Hidup ke Pengungsian
Silaturahmi Desa Keningar dan Desa Ngrajek dipupuk terus-menerus dengan saling mengundang perwakilan warga setiap kali mereka menyelenggarakan acara kemasyarakatan. (Titi)
Warga Desa Keningar, Kecamatan Dukun, yang berjarak 7,5 km dari puncak Gunung Merapi, sebenarnya belum diminta BPPTKG mengungsikan warga. Namun, Minggu (10/11/2020), ratusan warga lansia, anak balita, dan ibu hamil dari dua dusun di desa tersebut berinisiatif mengungsi lebih awal ke Desa Ngrajek, Kecamatan Mungkid.
Warga Dusun Keningar di Desa Keningar kali ini merasa perlu segera mengungsi karena tinggal di tepi Kali Senowo yang dalam erupsi sebelumnya menjadi aliran lahar dingin. Pada 2010, material batu dan lumpur yang terbawa aliran sungai meluluhlantakkan sistem perpipaan air bersih warga.
”Dengan sistem desa bersaudara, warga mudah untuk mengungsi lebih awal karena sudah tahu harus menuju mana saat akan mengungsi. Kalau dulu (tahun 2010), sering ada anggota keluarga yang hilang terpisah saat mengungsi karena lokasinya berbeda-beda,” ujar Titi.
Titi mengatakan, konsep desa bersaudara itu terjalin bukan hanya saat ada bencana. Silaturahmi Dusun Keningar di Desa Keningar dan Desa Ngrajek dipupuk terus-menerus dengan saling mengundang perwakilan warga setiap kali mereka menyelenggarakan acara kemasyarakatan.
Titi mengenang, setelah erupsi 2010, dalam setiap pertemuan, perangkat Dusun Keningar berulang kali mengingatkan warga bahwa mereka tinggal di kawasan rawan bencana (KRB) III. Setiap saat, warga diminta untuk selalu siap mengungsi jika aktivitas Merapi tiba-tiba meningkat.
”Sekarang warga sudah terbiasa menempatkan surat-surat berharga di satu wadah yang mudah dibawa saat mengungsi. Jadi tidak ada masalah kalau warga tiba-tiba diminta mengungsi,” ucap Titi.
Konsep desa bersaudara ini, dinilai Yuliah dan Tumini, sebagai cara terbaik untuk mengatur mekanisme pengungsian. Melalui cara ini, masyarakat tahu harus berbuat apa saat erupsi terjadi.
Wisata
Harmoni serupa juga tercipta di kalangan pelaku wisata Kabupaten Magelang. Seiring peningkatan status Gunung Merapi, sebanyak 13 tempat wisata yang berada pada radius 10 km dari puncak Merapi ditutup hingga waktu yang belum bisa ditentukan.
Ketua Forum Daya Tarik Wisata Kabupaten Magelang Edward Alfian mengatakan, penutupan tempat wisata saat erupsi sudah biasa terjadi. Demi alasan keamanan, pelaku wisata memilih untuk menuruti anjuran pemerintah.
Penutupan tempat wisata saat erupsi sudah biasa terjadi. Demi alasan keamanan, pelaku wisata memilih untuk menuruti anjuran pemerintah.
”Sebenarnya, kami sudah terbiasa menghadapi erupsi Merapi, jadi tahu harus berbuat apa. Tapi, pengunjung belum tentu tahu. Kalau nekat membuka tempat wisata, malah berbahaya,” kata Edward.
Edward menuturkan, saat tempat wisata tutup, para pekerja di sektor pariwisata biasanya beralih pekerjaan atau menjual dagangannya di tempat lain yang lebih aman.
Menurut Edy, harmoni warga di lereng Merapi itu menunjukkan masyarakat sudah memiliki kesadaran tinggi terhadap risiko bencana dan mencoba mengatasinya. Masyarakat seperti ini bisa disebut sebagai masyarakat yang tangguh bencana.
”Kalau saya menilai masyarakat lereng Merapi sudah mandiri dan tenang dalam menghadapi bencana. Orang yang tenang biasanya dapat berpikir lebih jernih dan cepat merespons,” ujar Edy.
Baca juga: Sejumlah Pengungsi di Magelang Mulai Mengeluhkan Sakit
Meski demikian, Edy berharap pemerintah dan warga tidak berhenti dan berpuas diri sampai di situ saja. Masih ada aspek lain yang bisa ditingkatkan lagi. Setiap kali Merapi erupsi pasti ada pelajaran baru yang didapat.
Konsep desa bersaudara membuktikan kearifan lokal warga lereng Merapi menjadi keunggulan yang dapat dikemas menjadi sistem mitigasi bencana. Tentu, perbaikan mitigasi, terutama terkait kesadaran warga dan kesigapan pemerintah mesti terus ditingkatkan.