Takut Jadi Stres, Sebagian Warga di Boyolali Belum Mengungsikan Ternak
Sebagian warga di zona bahaya di Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, belum mengungsikan ternaknya, Selasa (17/11/2020). Sejumlah warga enggan memindahkan ternak ke tempat baru karena berisiko membuat hewan-hewan stres.
Oleh
MELATI MEWANGI
·3 menit baca
BOYOLALI, KOMPAS — Menyusul ancaman erupsi Gunung Merapi di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, sebagian besar warga di zona bahaya di Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, belum mengungsikan ternaknya, Selasa (17/11/2020). Sejumlah warga enggan memindahkan ternak ke tempat baru karena berisiko membuat hewan-hewan justru stres.
Kepala Desa Klakah, Kecamatan Selo, Boyolali, Jateng, Marwoto mengatakan, pihaknya telah menyediakan dua titik untuk penampungan ternak, yakni di lapangan belakang balai desa dan lapangan Dusun Klakah Ngisor. Kedua tempat ini mampu menampung sekitar 500 sapi dan 100 kambing.
Apabila status Merapi naik menjadi Awas (Level IV), lanjut Marwoto, sekat dan tenda kandang siap dipasang. Meski demikian, hingga saat ini belum ada warga yang mengungsikan ternak. Mereka masih mencari kebutuhan pakan ternak mandiri. ”Kami menyiapkan sejumlah truk dan mobil bak terbuka untuk membantu warga saat evakuasi ternak jika dibutuhkan nanti,” katanya.
Jumlah ternak di empat dusun rawan bahaya di Desa Klakah, Kecamatan Selo, sebanyak 476 sapi dan 67 kambing. Keempat dusun itu adalah Klakah Nduwur, Bakalan, Sumber, dan Bangunsari. Dusun Sumber merupakan dusun terdekat yang berjarak sekitar 3 kilometer dari Merapi.
Pada erupsi Merapi tahun 2010, hewan ternak warga Desa Klakah dan Tlogolele tidak ada yang diungsikan. Ternak dibiarkan di dalam kandang dan diberi pakan bergantian dengan tetangga lainnya. Marwoto tidak ingin hal tersebut terulang kembali. Untuk itu, dia berupaya memberikan sosialisasi terkait aktivitas Merapi agar warga mau mengungsi dan mengungsikan ternaknya.
Jumlah ternak di empat dusun rawan bahaya di Kecamatan Selo, sebanyak 476 sapi dan 67 kambing.
Situ (90), warga Dusun Bakalan, Desa Klakah, memilih mengungsi terlebih dulu ke Balai Desa Klakah. Namun, ternak miliknya ditinggal di rumah dan dirawat oleh anak-anaknya. Ternak tidak diungsikan supaya tidak stres. Situ memilih mengungsi lebih dulu karena trauma setiap kali mendengar bunyi gemuruh dari puncak Merapi. Dia juga termasuk kelompok rentan yang diprioritaskan.
Menurut dia, jika ternak diungsikan dalam jangka waktu lama, ternak bisa susah makan dan jadi kurus karena stres. Untuk itu, setiap pagi, ia kembali ke rumah untuk memberi makan ternaknya dan kembali lagi ke pengungsian saat sore hari.
Adapun di Desa Tlogolele, terdapat 290 sapi dan 85 kambing yang belum diungsikan. Sekretaris Desa Tlogolele Neigen Achtah Nur ES menyampaikan, tempat pengungsian ternak terdapat di belakang balai desa. Jika status Gunung Merapi kembali meningkat menjadi Awas (Level IV), ternak warga akan diungsikan di sana.
”Kami juga akan bekerja sama dengan dinas terkait untuk pemberian pakan dan pengecekan kesehatan ternak,” jelasnya.
Jika beberapa warga di Kabupaten Sleman dan Klaten mulai menjual ternak karena khawatir harus mengungsi, sejumlah warga di Desa Tlogolele justru enggan menjualnya. Menurut Sukiyem (68), warga Dusun Stabelan, Tlogolele, ternak yang dijual dalam kondisi krisis Merapi seperti saat ini, harganya anjlok. Keuntungan tidak sebanding dengan ongkos perawatan.
Beberapa sapi milik tetangga Sukiyem sudah ditawar oleh tengkulak dengan harga di bawah rata-rata. Jika normalnya harga jual seekor sapi Rp 20 juta, kini ditawar berkisar Rp 10 juta-Rp 14 juta. ”Mboten bathi, nggih sabar rumiyin (tidak mendapat untung, lebih baik sabar dulu),” katanya.