Dua anggota kelompok terorisme Mujahidin Indonesia Timur di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, tewas ditembak Satuan Tugas Operasi Tinombala di Kabupaten Parigi Moutong, Selasa (17/11/2020).
Oleh
VIDELIS JEMALI
·4 menit baca
PALU, KOMPAS — Dua anggota kelompok terorisme Mujahidin Indonesia Timur di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, tewas ditembak Satuan Tugas Operasi Tinombala di Kabupaten Parigi Moutong, Selasa (17/11/2020). Keduanya bagian dari 13 buronan terkait tindak pidana terorisme. Imbauan menyerahkan diri terus disampaikan.
Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah Inspektur Jenderal Abdul Rakhman Baso menyatakan, aparat dan kedua buronan tersebut baku tembak di Desa Bolano Barat, Kecamatan Bolano, Parigi Moutong.
”Kedua DPO (daftar pencarian orang) tewas, aparat tidak kena tembakan. Pengejaran tersebut bagian dari penyelidikan sejak keduanya muncul di Mamboro, Palu, minggu lalu,” katanya saat dihubungi Kompasdi Palu, Sulteng, Selasa.
Pengejaran terhadap kedua DPO yang bernama Wahid alias Bojes dan Aziz tersebut dilakukan dua minggu lalu di Mamboro, Kecamatan Palu Utara. Keduanya diduga menginap di rumah salah satu warga di sana. Pengejaran di Mamboro tak membuahkan hasil hingga akhirnya mereka tewas di Bolano Barat, Kecamatan Bolano, Parigi Moutong. Wahid alias Bojes diketahui orang Bolano Barat.
Baku tembak di Bolano Barat tersebut terjadi pada pukul 05.30 Wita. Kejadian itu berlangsung di pondok berjarak sekitar 1 kilometer dari rumah warga. Rakhman menyatakan keduanya ditembak karena pada saat hendak ditangkap mereka melawan dengan menembaki aparat.
Dari keduanya aparat menyita senjata api laras pendek, bom lontong, alat pelacak lokasi (GPS), dan perlengkapan tenda. Keduanya akan dievakuasi ke RS Bhayangkara, Palu.
Rakhman memastikan Wahid dan Aziz bagian dari 13 DPO anggota Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Kabupaten Poso. Dengan tewasnya kedua orang itu, saat ini tersisa 11 orang lagi yang dipimpin Ali Kalora. ”Operasi Tinombala tidak pernah berhenti,” katanya.
Anggota MIT selama ini bergerilya di hutan pegunungan Kabupaten Poso dan Parigi Moutong. Satuan Tugas Operasi Tinombala terus memburu mereka di dua lokasi tersebut.
Menurut Rakhman, keduanya ”turun gunung” karena terdesak kehadiran aparat yang menggelar operasi. Kelompok MIT bisa jadi kekurangan logistik sehingga ada yang perlu turun gunung untuk mengambil logistik. Kemungkinan lainnya mereka merencanakan suatu tindakan yang perlu diantisipasi.
Sugiarto (23), warga Desa Bolano Barat, menyatakan, dirinya tak tahu ada baku tembak di pondok dekat desanya itu. Ia baru tahu setelah beredar informasi ada anggota DPO MIT tewas. Dia bersama warga lain datang ke lokasi kejadian. Mereka berdiri 100 meter dari pondok. Aparat masih melakukan olah tempat kejadian perkara.
Sugi menyatakan, Wahid alias Bojes memang warga Bolano Barat. ”Namun, kami tidak tahu selama ini dia bergabung dengan kelompok teroris. Harapan kami, ya, terorisme ini ditumpas sampai habis,” katanya.
Imbauan serahkan diri
Rakhman menyatakan, penindakan atau penembakan tak bisa dihindarkan saat DPO MIT melawan aparat. Sebagai instansi yang diberi kewenangan, TNI/Polri yang tergabung dalam Satgas Operasi Tinombala harus mengambil tindakan tegas dan terukur.
Namun, ia meyakinkan jika para DPO menyerahkan diri, aparat tak akan mengambil tindakan tegas berupa penembakan. ”Kami tetap imbau agar mereka menyerahkan diri. Kami memang mengharapkan mereka menyerahkan diri lalu mengikuti proses hukum yang berlaku,” katanya.
Saat ditanya apakah ada keringanan hukum jika para DPO menyerahkan diri, Rakhman menanggapi, pihaknya tak bisa menjamin hal itu dilakukan. Kepolisian menjalankan hukum yang berlalu, yakni penyelidikan dan penyidikan mengacu pada undang-undang yang relevan. Soal keringanan hukum itu domain pengadilan.
Pendekatan tersebut humanistik dan pasti mendapat simpati dari para DPO dan masyarakat umumnya. Saya yakin mereka (DPO) mau. (Lukman Thahir)
Pengamat terorisme yang juga dosen Institut Agama Islam Negeri, Palu, Lukman Thahir, sepakat jika aparat mengutamakan pendekatan lunak dengan mengampanyekan penyerahan diri para DPO. Pendekatan itu harus serius dilakukan. Jika memungkinkan dimediasi oleh para ulama. ”Pendekatan tersebut humanistik dan pasti mendapat simpati dari para DPO dan masyarakat umumnya. Saya yakin mereka (DPO) mau,” katanya.
MIT berdiri sekitar 2012 dengan pemimpin Santoso. Ia tewas ditembak anggota Satgas Operasi Tinombala pada pertengahan 2016. Kelompok itu lalu dipimpin oleh Basri. Ia menyerahkan diri dua bulan setelah Santoso tewas ditembak. MIT saat ini dipegang Ali Kalora.
Dalam gerilyanya, anggota MIT membunuh warga yang mereka jumpai di sekitar hutan. Dalam catatan Kompas, sejak 2015 hingga Agustus 2020 sudah 15 warga tewas di tangan anggota MIT. Mereka warga Poso dan Parigi Moutong yang berkebun di sekitar hutan.
Operasi Tinombala yang merupakan gabungan TNI/Polri digelar sejak Februari 2016. Banyak anggota MIT yang ditangkap dan menyerahkan diri selama operasi berlangsung hingga saat ini. Pada saat operasi dimulai dulu, jumlah DPO melonjak hingga 45 orang.