Warga Pasuruan Membiasakan Diri Hidup Bersama Banjir
Pasuruan merupakan daerah di Jawa Timur yang menjadi langganan banjir. Oleh karena itu, warga pun membiasakan diri untuk hidup berdampingan dengan banjir.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·4 menit baca
KOMPAS/DAHLIA IRAWATI
Susana Pelabuhan Pasuruan, Kamis (05/11/2020). Pelabuhan Pasuruan pada abad ke-19 menjadi salah satu pelabuhan terbesar di pantai utara Jawa karena menjadi sentra perdagangan hasil perkebunan.
PASURUAN, KOMPAS — Warga Pasuruan, Jawa Timur, harus membiasakan diri hidup dengan banjir. Mereka bersiap-siap menghadapi banjir begitu bagian hulu terlihat mendung dan air laut mulai pasang.
Selain merendam ribuan rumah warga, banjir rutin biasanya juga menggenangi jalur pantai utara Surabaya-Banyuwangi. Dampaknya, jalur pantura Jawa Timur tersebut sering kali lumpuh jika genangan air tinggi. Bukan itu saja, banjir juga sering menyebabkan jalur kereta api lumpuh.
Bencana banjir terbaru adalah banjir pada 1 November 2020 hingga lebih kurang sepekan lamanya. Banjir menggenangi tujuh kecamatan. Ada sembilan kecamatan di Kabupaten Pasuruan yang rawan bencana banjir. Kecamatan itu adalah Kecamatan Grati, Winongan, Rejoso, Gondang Wetan, Kraton, Pohjentrek, Bangil, Beji, dan Gempol.
Warga melewati banjir yang menggenangi Desa Kedungboto, Kabupatem Beji, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, Selasa (11/3/2020). Banjir yang melanda dua kecamatan, yaitu Gempol dan Beji, dengan ketingian 40-120 cm telah melanda selama empat hari. Sebanyak 6.119 keluarga terdampak banjir tahunan tersebut.
Daerah tersebut paling rawan tergenang air karena lokasinya lebih rendah dari tempat lain dan tidak jauh dari pantai utara. Dengan demikian, saat hujan datang, bersamaan dengan air laut pasang, air tidak bisa mengalir ke laut dan menggenangi permukiman warga.
Selain itu, sembilan kecamatan tadi juga menjadi muara empat sungai besar, yaitu di Sungai Rejoso (di bagian Timur), berikutnya Sungai Welang (di wilayah Kraton), Sungai Kedunglarangan (di daerah Bangil), serta Sungai Wrati (berada di wilayah Beji dan Gempol).
Sungai Rejoso dan Welang merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Sementara Sungai Kedunglarangan dan Wrati adalah kewenangan Balai Besar Wilayah Sungai Brantas (BBWS Brantas).
”Solusi utama mengatasi banjir adalah dengan normalisasi sungai dan pembenahan tanggul sungai. Banjir kemarin salah satunya karena tanggul Sungai Wrati yang terbuat dari tanah jebol di beberapa bagian,” kata Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Pasuruan Tectona Jati.
Kompas/Bahana Patria Gupta
Petani menjemur padi yang baru dipanen dini di persawahan yang tergenang banjir di Desa Kudungboto, Kacamatan Beji, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, Selasa (3/11/2020). Untuk menghindari gagal panen akibat banjir, banyak petani memanen dini tanaman padinya. Harga padi yang dipanen dini Rp 200.000 per kuintal.
Tectona mengatakan, normalisasi sungai sudah dilakukan secara bertahap. Sungai Welang, menurut dia, saat ini sedang dalam proses normalisasi. Sementara normalisasi sungai untuk Sungai Rejoso sedang diusulkan pelaksanaannya tahun 2020 ini.
”Adapun untuk Sungai Kedunglarangan sudah dinormalisasi tahun lalu sehingga sejak itu banjir tidak begitu berdampak parah. Air hanya menggenang sebentar, lalu surut,” kata Tectona.
Sungai yang belum tersentuh, menurut Tectona, adalah Sungai Wrati. ”Sungai yang berada di wilayah Gempol dan Beji itu belum dinormalisasi ehingga kalau terjadi banjir, surutnya air cukup lama,” kata Tectona.
Oleh karena semua sungai tersebut tidak menjadi kewenangan Pemkab Pasuruan, menurut Tectona, yang bisa dilakukan oleh Pemkab Pasuruan hanya bisa berkoordinasi dengan pihak terkait. ”Yang bisa kami lakukan hanya berkoordinasi. Yang jelas kondisi sedimentasi sungai sudah sangat tinggi. Rata-rata sedimentasi bisa sampai 3-5 meter, tergantung dari kondisi sungainya,” katanya.
Berjaga-j aga
Hendri Sulfianto (50), warga Desa Kedungringin, Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan, adalah salah seorang warga yang sejak 20-25 tahun lalu merasakan banjir di Beji. Ia mengaku, banjir datang seiring mulai banyaknya bangunan pabrik di sana.
”Banjir akibat meluapnya Sungai Wrati akan selalu menggenangi Desa Cangkring Malang, Kedungringin, Kedungboto (ketiganya di Kecamatan Beji), serta Desa Tambakan dan Kelurahan Kalianyar (Kecamatan Bangil). Penyebab utama meluapnya Sungai Wrati adalah tingginya sedimentasi, baik dari limbah rumah tangga maupun pabrik,” kata Hendri yang juga merupakan Ketua Tim Peduli DAS Wrati Sinergi.
Kompas/Bahana Patria Gupta
Warga melintas di persawahan yang tergenang banjir di Desa Kudungboto, Kacamatan Beji, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, Selasa (3/11/2020). Untuk menghindari gagal panen akibat banjir, banyak petani memanen dini tanaman padinya.
Tingginya sedimentasi di Sungai Wrati membuat badan sungai sebagian besar tertutup eceng gondok serta di tengah-tengah sungai tumbuh pohon pisang dan kersen.
Meski banjir rutin terjadi, Hendri sadar bahwa Pemkab Pasuruan tidak bisa berbuat banyak. Oleh karena itu, warga difasilitasi oleh pemerintah daerah untuk membentuk tim peduli DAS Wrati Sinergi. Tim terdiri dari pemerintah daerah, pemerintah desa, masyarakat, dan perwakilan pabrik.
”Akhirnya warga yang proaktif menyurati berbagai instansi, mulai dari BBWS Brantas dan Pemprov Jatim. Tahun lalu sudah ada kementerian datang ke sini untuk melihat. Oleh karena saat itu mendekati musim hujan, warga desa bersama forum pabrik, dan beberapa instansi melakukan swadaya membersihkan eceng gondok dan sampah yang menutupi sungai hingga sepanjang 30 kilometer. Saat itu dampaknya cukup terasa karena saat hujan datang, air tidak menggenang lama,” katanya.
Meski begitu, Hendri paham bahwa persoalan utama sungai adalah sedimentasi sehingga normalisasi dengan mengeruk sungai adalah solusi yang akan mengurangi dampak banjir bagi masyarakat.
”Warga hanya bisa membersihkan sampah dan eceng gondok. Itu sebabnya, kami berharap pemerintah benar-benar memperhatikan kepentingan kami yang sejak puluhan tahun sudah rutin terkena banjir,” kata Hendri.
Bisanya kalau di daerah Pandaan dan Prigen atau di Malang mulai mendung gelap, bahkan hujan, warga sudah mulai menaikkan perabot rumah tangga yang penting, seperti lemari, TV, atau perabot elektronik lainnya ke atas dipan.
Sepanjang penantian terealisasinya normalisasi sungai, Hendri mengatakan, warga mulai terbiasa berjaga-jaga dan bersiap-siap. Mereka meninggikan fondasi rumahnya antara 50 centimeter dan 2 meter, serta memiliki dipan sebagai tempat menyimpan barang dan perabot rumah tangga penting.
”Bisanya kalau di daerah Pandaan dan Prigen (Pasuruan bagian selatan) atau di Malang mulai mendung gelap, bahkan hujan, warga sudah mulai menaikkan perabot rumah tangga yang penting, seperti lemari, TV, atau perabot elektronik lainnya ke atas dipan. Agar, kalau hujan benar-benar datang dan banjir, barang-barang tersebut sudah selamat terlebih dulu,” kata Hendri.
Meski warga rutin terkena banjir, menurut Hendri, mereka tetap bertahan di sana sebab desa tersebut adalah tanah kelahiran mereka. ”Kami pun sebisa mungkin tidak mengungsi karena kalau mengungsi, takutnya barang-barang kami ada yang mengambil,” kata Hendri.