Cagub-Cawagub Sulawesi Utara Andalkan Dana Pribadi untuk Kampanye
Hampir seluruh dana kampanye tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Utara bersumber dari dana pribadi. Meski telah sesuai aturan, hal ini dinilai dapat membuka ruang kecurangan terkait sumber dana.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
MANADO, KOMPAS — Hampir seluruh dana kampanye tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Utara bersumber dari dana pribadi. Demi memperkuat kontrol publik, Komisi Pemilihan Umum didorong untuk menelusuri semua aliran sumbangan serta mengumumkan nama-nama pihak pemberi.
Dihubungi dari Manado, Senin (16/11/2020), anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sulut, Supriyadi Pangellu, mengatakan, para calon dinilai telah menaati peraturan dalam pengumpulan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK), 31 Oktober lalu. Semua pasangan calon melaporkan sumbangan dana pribadi, baik dalam bentuk uang, barang, maupun jasa.
Adapun sumbangan perseorangan dilaporkan dengan disertai lampiran pernyataan penyumbang. Pasangan calon juga sudah melaporkan melalui Sistem Informasi Dana Kampanye (Sidakam) sesuai Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2020.
Supriyadi juga mengapresiasi ketepatan waktu pelaporan, yaitu sebelum pukul 18.00 Wita. Hal ini tidak seperti saat pelaporan dana awal kampanye yang diwarnai keterlambatan.
Tim kampanye pasangan calon nomor urut 1, Christiany Eugenia Paruntu-Sehan Salim Landjar, melaporkan pemasukan sumbangan Rp 316.200.000, paling sedikit di antara tiga pasangan calon dalam pemilihan gubernur Sulut. Namun, pasangan Christiany-Sehan melaporkan sumbangan perseorangan paling banyak, yaitu Rp 103,2 juta.
Menurut pengumuman KPU Sulut, sebanyak Rp 180 juta pada sumbangan dari dana pribadi calon berbentuk jasa, sedangkan sisanya barang. Adapun sumbangan perseorangan seluruhnya berbentuk barang. Christiany, Sehan, maupun ketua tim kampanye pasangan calon tersebut, Jantje Sajow, tidak merespons ketika dihubungi Kompas pada Minggu siang.
Sementara pasangan calon gubernur Sulut nomor urut 2, Vonnie Anneke Panambunan-Hendry Runtuwene, melaporkan dana sebesar Rp 1.531.740.000. Semua sumbangan berasal dari dana pribadi milik pasangan calon. Jumlah itu setara 5,47 persen dari total dana kampanye yang dibidik, yaitu Rp 28 miliar.
Tidak akan ada yang disembunyikan. Kami akan laporkan kepada KPU secara berkala sesuai ketentuan.
Decky Senduk, sekretaris tim kampanye Vonnie-Hendry, mengaku belum ada sumber dana dari pihak ketiga hingga saat ini. Sumbangan dari kas pribadi itu terbagi dalam bentuk barang senilai Rp 1.481.740.000 dan jasa senilai Rp 50 juta. ”Masih pakai dana terbatas dari calon. Ada pihak-pihak yang mau kasih bantuan pribadi, tetapi mereka tidak mau dalam bentuk uang. Partisipasi mereka dengan memberi barang yang mereka beli sendiri,” katanya.
Dana yang sudah ada pun paling banyak digunakan untuk pengadaan alat peraga kampanye dan pendirian sekretariat. Menurut Decky, sarana kampanye tersebut telah dimasukkan dalam LPSDK yang diserahkan kepada KPU Sulut. Adapun perjalanan untuk kampanye dibiayai pasangan calon dan anggota tim kampanye secara sukarela.
Tim kampanye juga berkeinginan menjaga transparansi pemasukan kampanye. ”Tidak akan ada yang disembunyikan. Kami akan laporkan kepada KPU secara berkala sesuai ketentuan,” ujar Decky.
Pasangan calon nomor urut 3 sekaligus petahana, Olly Dondokambey-Steven Kandouw, melaporkan penerimaan sumbangan dana kampanye sebesar Rp 3.822.440.000. Sebanyak Rp 3,4 miliar berbentuk uang, sedangkan sisanya barang dan jasa. Nilai tersebut sekitar 25,46 persen dari target perolehan biaya kampanye Rp 15 miliar.
Ketua tim kampanye Olly-Steven, Marhany Pua, mengatakan, sumber dana kampanye hingga saat ini baru berasal dari pasangan calon sendiri. Hanya Rp 1 juta yang berasal dari sumbangan perseorangan. Dana tersebut dibelanjakan untuk pencetakan atribut dan alat peraga kampanye serta biaya operasional kegiatan dan perjalanan.
”Kami sudah melaksanakan kampanye terbatas di Manado, Tomohon, Bolaang Mongondow Utara, Bolaang Mongondow Selatan, Kepulauan Talaud, dan Kepulauan Sangihe,” kata Marhany.
Sebagai bentuk transparansi, tim kampanye pasangan calon akan membuat laporan penggunaan dana secara berkala kepada KPU Sulut. Namun, Marhany tidak menjelaskan mekanisme pelaporan yang dimaksud. Tanggung jawab terakhir pasangan calon adalah mengumpulkan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) pada 6 Desember.
Sebelumnya, September lalu, Steven mengatakan, kas pribadi adalah salah satu sumber pendanaan kampanye di samping sumbangan lainnya yang tidak mengikat. Sekretariat dan pos-pos pemenangan didirikan pula dengan dana itu.
Steven menyatakan akan terus konsisten dengan ketentuan undang-undang dan peraturan KPU. Sumbangan perseorangan dibatasi maksimal Rp 75 juta, sedangkan badan hukum, partai politik, dan kelompok maksimal Rp 750 juta. ”Kami siap diaudit. Intinya, kami terbuka, akuntabel, dan aksesibel bagi siapa saja,” katanya.
Sumbangan bisa diberikan melalui rekening pihak ketiga, kemudian diambil dan diberikan kepada calon dalam bentuk tunai.
Pengajar Ilmu Pemerintahan dan peneliti Pusat Studi Kepemiluan Universitas Sam Ratulangi, Ferry Daud Liando, mengatakan, meski ketiga pasangan calon telah mengikuti prosedur pelaporan, celah bagi pelanggaran tetap terbuka. Sebab, rekening yang nantinya diaudit hanya satu, yaitu milik pasangan calon.
”Bisa saja pasangan calon pakai rekening partai atau rekening orang-orang terdekat untuk menerima sumbangan. Sumbangan bisa diberikan melalui rekening pihak ketiga, kemudian diambil dan diberikan kepada calon dalam bentuk tunai. Jadi, bisa saja melampaui norma dengan memanfaatkan celah undang-undang,” kata Ferry.
Di samping itu, proses audit oleh KPU hanya fokus untuk memastikan seseorang atau badan hukum tidak melampaui batas sumbangan. Padahal, sebuah perusahaan, misalnya, bisa saja mengatasnamakan beberapa anak perusahaan untuk memberi sumbangan melampaui batas.
LPSDK juga tidak memuat nama-nama pihak pemberi sumbangan yang seharusnya bisa memainkan fungsi kontrol. Ferry mencontohkan, perusahaan bisa saja memberikan sumbangan demi mendapatkan kemudahan perizinan sumber daya alam, penguasaan proyek barang dan jasa, atau bahkan jual beli peraturan daerah.
”Tidak ada makan siang gratis, pasti ada kompensasi yang diharapkan dari pemerintah. Ini bisa saja jadi politik uang yang dilegalkan. Masalahnya, Bawaslu tidak dilibatkan untuk menginvestigasi secara detail. Semua diserahkan kepada auditor KPU,” kata Ferry.
Karena itu, Ferry mendorong agar KPU menggunakan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik untuk mengetahui pemberi sumbangan dan bidang yang digelutinya. Sebab, tidak mungkin membuat atau mengubah peraturan KPU, apalagi undang-undang terkait, dalam waktu singkat jelang Pilkada 2020.