Banjir dan Deforestasi di Kalteng yang Tak Berhenti
Banjir di Kalteng sudah menjadi bencana tahunan yang bahkan dimaklumi. Bahkan, warga menyiasati rumahnya yang terendam banjir terus. Kini, parahnya lagi wilayah yang sebelumnya belum pernah banijr kini terendam.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
Bencana banjir di Provinsi Kalimantan Tengah merupakan bencana tahunan. Sebagian besar warga di beberapa wilayah sudah terbiasa dan menyiasatinya dengan beragam cara. Namun, masifnya deforestasi dinilai menjadi penyebab. Wilayah baru pun mulai terendam banjir.
Kalimantan Tengah dalam 30 tahun terakhir diserang setidaknya tiga kali banjir bandang. Tahun 1989, Kompas mencatat setidaknya banjir menghancurkan ratusan hektar tanaman padi di lahan yang baru dibuka saat itu. Lalu pada tahun 1999, banjir menelan korban di Kabupaten Seruyan. Banjir serupa juga kembali terjadi di tahun ini.
Dari catatan Kompas, banjir sudah tiga kali melanda wilayah pada tahun 2020. Banjir pertama melanda pada Juni hingga Juli. Banjir itu merendam setidaknya tiga kecamatan. Lalu pada September, banjir kembali melanda dan merendam sembilan kecamatan dari total 10 kecamatan di kabupaten itu. Setidaknya 7.000 rumah terdampak, belasan ribu jiwa pun ikut terdampak. Lalu pada Oktober dan November, banjir kembali merendam ratusan rumah.
Data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Seruyan mencatat bulan ini setidaknya 28 keluarga mengungsi karena banjir. Air merendam rumah hingga ketinggian maksimal 3 meter.
Kepala Subbagian Penyesuaian Program dan Pendataan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Seruyan Budiono menjelaskan, kini banjir sudah surut dan keluarga yang mengungsi sudah kembali ke rumahnya masing-masing.
Meskipun demikian, karena masih dalam musim hujan pihaknya terus melakukan pengawasan dan pemantauan. ”Kami terus waspada dan tak henti bersosialisasi pada warga,” ujarnya pada Minggu (15/11/2020).
Selain Seruyan, banjir tahunan juga melanda Kabupaten Katingan. Warga di wilayah ini sudah terbiasa dengan banjir akibat luapan Sungai Katingan. Mereka bahkan memodifikasi rumahnya agar bisa menyelematkan barang-barangnya.
”Tiap tahun banjir. Ini sudah tiga tahun berturut-turu banjir,tapi paling setengah tembok rumah, makanya kami bikin lantai kayu di tengah rumah,” kata Yosafat (43), warga Katingan Hilir.
Dari data BPBD Katingan, banjir tahun ini setidaknya merendam 10 kecamatan meliputi 84 desa, 5 kelurahan. Banjir kali ini berdampak pada 6.504 rumah, 9 rumah ibadah, 15 sekolah, dan 2 puskesmas.
Banjir juga merendam wilayah-wilayah baru, seperti Kabupaten Lamandau. Wilayah ini baru dua kali diserang banjir tahun 2020 dan tahun sebelumnya. Pada Juli lalu setidaknya 55 desa terendam banjir, 5.926 warga terdampak dan 2.553 orang di antaranya mengungsi. Banjir kali ini setidaknya merendam delapan desa dan beberapa ruas jalan Trans Kalimantan penghubung Kalimantan Tengah dengan Kalimantan Barat.
Sebelumnya, di Kecamatan Batang Kawa, banjir melanda di Desa Kinipan, Desa Kina dan Desa Bayat. Di ketiga desa itu air mulai surut, tetapi arus aliran sungai tampak deras.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lamandau Edison Dewel menjelaskan, selain 200 keluarga yang terdampak banjir, terdapat pula laporan kehilangan tiga rumah roboh diterjang banjir dan laporan tiga ternak sapi yang hanyut terbawa arus sungai.
”Semua fasilitas umum dan sarana prasarana di delapan desa itu terendam banjir, sembilan jalan ke desa-desa juga masih terendam sehingga tak bisa dilewati,” kata Edison.
Hutan menyusut
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalteng Esau A Tambang mengungkapkan, banjir di Lamandau perlu dilihat sebagai dampak dari kurangnya daya dukung dan daya tampung dari hutan yang hilang.
”Daya dukung dan daya tampung aliran sungai di Lamandau itu sudah terlewatkan dan sudah rusak. Ini banjirnya mendadak dan tidak bisa diprediksi. Pasti sudah terlewatkan, makanya sekarang itu yang harus dipikirkan adalah pemulihannya,” kata Esau.
Salah satu contohnya adalah Desa Kinipan yang dilalui Sungai Lamandau. Hutan di wilayah desa ini luasnya mencapai lebih kurang 16.000 hektar atau dua kali luas Provinsi DKI Jakarta. Namun, kini setidaknya terdapat 4.000 hektar lahan yang diubah menjadi perkebunan sawit.
Kepala Desa Kinipan Wilem Hengki mengungkapkan, sejak ada pembukaan hutan, banjir melanda desanya. Sejak ia belum lahir hingga sebelum tahun 2019 tak pernah ia dengar cerita banjir sebelumnya. ”Pemerintah datang saja dan saksikan sendiri, bencana ini terjadi karena apa,” ujarnya.
Pemerintah datang saja dan saksikan sendiri, bencana ini terjadi karena apa. (Wilem Hengki)
Rencana aksi
Pemerintah Provinsi Kalteng pun membuat rencana aksi untuk antisipasi banjir tahun 2021. Kepala Subbidang Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran (BPBPK) Kalteng Alpius Patanan menjelaskan, beberapa rencana aksi yang dibuat mulai dari koordinasi dengan pemerintah kabupaten, BMKG, instansi kesehatan, hingga tingkat RT/RW.
”Mengaktifkan pos jaga, pos siaga banjir, meningkatkan peran pusat data dan operasi, hingga koordinasi untuk menetapkan status keadaan darurat,” kata Alpius.
Alpius mengungkapkan, pihaknya juga menyiapkan logistik kebutuhan untuk korban banjir atau pengungsi sebagai tindakan operasi penanganan banjir di wilayah Kalteng.
Lepas dari langkah-langkah itu, pemerintah perlu mencari akar persoalan dan memperbaikinya secepatnya. Selama akar masalah masih ada, persoalan banjir takkan selesai.