Kejahatan perikanan di Maluku kembali marak dalam satu tahun belakangan. Pemerintah terkesan tutup mata. Penataan sektor perikanan yang terjadi 5 tahun sebelumnya menjadi sia-sia.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Setelah ditertibkan selama beberapa tahun sejak akhir 2014, eksploitasi perikanan kembali terjadi di Laut Arafura dekat Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku. Kapal berukuran besar menggunakan alat tangkap perusak mengeruk sumber daya di perairan itu, lalu melakukan alih muat ikan di tengah laut. Pemerintah dinilai tutup mata dan membiarkan pelanggaran tersebut berlangsung.
Seorang nelayan berinisial Y dari Kecamatan Aru Tengah Selatan, Kabupaten Kepulauan Aru, yang menghubungi Kompas pada Minggu (15/11/2020), menuturkan, jumlah kapal di perairan itu terus bertambah sejak akhir 2019. ”Sekarang ini, kalau malam, di tengah laut sana tampak seperti kota terapung. Lampu kapal menyala terang, persis sebelum penertiban tahun 2014 dulu,” katanya.
Lokasi dimaksud dekat dengan Pulau Eno, pulau terluar yang berbatasan dengan Australia. Untuk mencapai pulau itu, butuh waktu perjalanan dengan perahu motor sekitar 3 jam dari Desa Gomo-gomo, Kecamatan Aru Tengah Selatan. Masih dengan perahu motor, Gomo-gomo dicapai dari Dobo, ibu kota Kabupaten Kepulauan Aru, dengan waktu tempuh paling cepat 12 jam.
Nelayan tersebut mengatakan, kapal ikan yang beroperasi itu umumnya berukuran di atas 50 gros ton, yang berasal dari wilayah Indonesia bagian barat. Alat tangkap yang digunakan adalah trawl yang masuk kategori perusak. Kebanyakan kapal menangkap ikan karang, cumi, dan udang. Di sana juga terdapat kapal penampung sehingga terjadi bongkar muat ikan di tengah laut.
Nelayan dimaksud mengaku heran lantaran aktivitas itu tidak tersentuh pemerintah. Aksi itu sudah berlangsung sejak akhir 2019. ”Dulu kapal milik (TNI) Angkatan Laut biasa patroli lalu tangkap kapal-kapal itu untuk diproses di Dobo atau dibawa langsung ke Ambon. Sekarang ini tidak ada tindakan sama sekali. Kami sangat heran, ada apa sebenarnya?” ujarnya.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 50 Tahun 2017 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara RI (WPPNRI), Laut Arafura masuk dalam WPPNRI 78 dengan total potensi 2,6 juta ton per tahun.
Kuota penangkapan masih bisa ditambah jika angka pemanfaatannya lebih kecil dari 0,5.
Dalam keputusan itu, terdapat beberapa jenis hasil laut yang sudah berlebihan dalam hal penangkapan, yakni cumi dan ikan karang. Tingkat pemanfaatannya masuk dalam kategori eksploitasi berlebih (over exploited); untuk cumi pada angka 1,28, sedangkan ikan karang pada angka 1,07. Adapun jenis hasil laut lain yang perlu dikendalikan secara ketat penangkapannya meliputi lobster pada angka 0,97, ikan pelagis besar 0,99, kepiting 0,85, udang penaeid 0,86, rajungan 0,77, ikan demersal 0,67, dan ikan pelagis kecil 0,51.
Sesuai ketentuan, kuota penangkapan masih bisa ditambah jika angka pemanfataannya lebih kecil dari 0,5. Dengan demikian, WPPNRI 78 perlu dipantau secara ketat. Selain Laut Arafura, di WPPNRI 78 terdapat dua wilayah perairan lainnya, yakni Laut Timor bagian timur dan Laut Aru.
Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura, Ambon, Mesudin Sengaji, berpendapat, Laut Arafura tetap menjadi target kejahatan perikanan. Di sana merupakan area operasi para mafia. Pembiaran yang terjadi belakangan ini menjadi angin segar bagi para mafia yang dikekang selama 5 tahun mulai 2014-2019 ketika Susi Pudjiastuti menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan.
Catatan Kompas, sebelum tahun 2014, dalam satu tahun terdapat setidaknya 8.484 kapal yang tidak sesuai izin operasi melakukan aktivitas di Laut Arafura. Kapal-kapal itu berukuran besar dan mampu menampung lebih dari 2,02 ton ikan. Kerugian negara ditaksir mencapai Rp 40 triliun per tahun. ”Penataan sektor perikanan yang dilakukan 5 tahun sebelumnya menjadi sia-sia,” ujarnya.
Kepala Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Tual Sigit Biantoro dihubungi secara terpisah berjanji akan segera menggelar operasi penertiban di Laut Arafura. Selain PSDKP yang berada di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan, penertiban di laut juga menjadi tanggung jawab TNI Angkatan Laut, Badan Keamanan Laut, dan polisi perairan.