Kehilangan Pekerjaan Bukanlah Akhir dari Segalanya
Pandemi Covid-19 memukul dunia usaha. Tak sedikit karyawan kehilangan pekerjaan. Para mantan karyawan banting setir memanfaatkan ceruk ekonomi sekecil apa pun untuk berwirausaha.
Pandemi Covid-19 memukul dunia usaha. Tak sedikit karyawan kehilangan pekerjaan. Namun, itu bukanlah akhir segalanya. Para mantan karyawan banting setir memanfaatkan ceruk ekonomi sekecil apa pun, antara lain merintis usaha warung kopi dan berjualan secara daring. Bahkan, ada yang berkontribusi pada aktivitas sosial.
Yosep Seran (35), salah satu mantan karyawan bank swasta, warga Kabupaten Sekadau, kehilangan pekerjaan karena dampak pandemi Covid-19. Sebelumnya ia berstatus karyawan kontrak. Sehabis kontrak pertama berjalan, kontraknya diperpanjang.
Kontrak kedua sebetulnya berakhir pada 1 September 2020. Namun, memasuki bulan April, gejolak pandemi Covid-19 mulai terasa. Kondisi perusahaan tempat ia bekerja terpukul. Pada akhirnya, kontraknya tidak diperpanjang.
”Saat dampak pandemi mulai terasa, sebetulnya saya sudah mulai siap-siap dengan segala kemungkinan terburuk, kalaupun putus kontrak harus ke mana arah saya,” kata Yosep, Rabu (11/11/2020).
Sejak bulan April, Yosep sudah bicara dengan keluarganya bahwa sepertinya memang harus ada satu usaha minimal untuk bisa hidup dan makan sehari-hari. ”Apalagi ada tanggungan anak dan istri, belum lagi cicilan,” ungkapnya.
Namun, dalam benaknya, merintis usaha bukan perkara mudah, terutama modal. Seiring waktu, adaptasi kebiasaan baru mulai dilakukan di Tanah Air, sekitar Juni-Juli. Yosep melihat ada kecenderungan orang jenuh setelah sekian lama membatasi diri keluar rumah sehingga orang mulai mencari ruang publik. ”Saya mulai berpikir, sepertinya warung kopi cocok,” kata Yosep.
Dengan modal seadanya dari tabungan, kurang dari Rp 10 juta, ia nekat merintis usaha warung kopi di kota Sekadau. Kebetulan tempat yang dipakai ruko milik orangtuanya. Bulan Juli-Agustus, ia menata ruko itu sendiri.
”Mengecat sendiri dan bertukang sendiri. Ayah saya membantu membuat meja dan kursi sehingga lebih hemat,” ucapnya.
Pada bulan Agustus itu juga warung kopinya beroperasi. Ia memperkenalkan warung kopinya kepada teman-teman. Teman-temannya sering datang untuk mengusir kejenuhan. Ternyata respons konsumen lumayan.
Bulan pertama, omzetnya sekitar Rp 7,6 juta. Keuntungan bersihnya sekitar 60 persen dari itu. Bulan keempat, omzetnya rata-rata Rp 8,3 juta. Sekarang, omzetnya sekitar Rp 8 juta.
Ia tidak menyangka akan seperti itu. Sebab ,awalnya warung kopi itu hanya penyelamat sementara, minimal sampai mendapatkan pekerjaan baru. ”Apalagi, lokasi warung kopi saya bisa dikatakan terletak di daerah buntu sehingga tidak mengira akan dikunjungi,” katanya.
Meskipun demikian, di sisi lain tetap ada potensi pasar yang ia lihat karena ada kampus baru dan kompleks sekolah meskipun belum ada yang masuk sekolah. Ditambah lagi, warung kopi milik Yosep satu-ratunya di situ. Dalam jangka panjang, pasarnya cukup terbuka.
Belum stabil
Pasar belum bisa dikatakan stabil. Sebab jika ada isu kenaikan angka konfirmasi Covid-19, pengunjung langsung sepi. Dalam keadaan seperti itu, meskipun sepi, per hari Yosep masih bisa mengantongi omzet Rp 200.000.
”Saya dan istri harus terus melakukan berbagai upaya agar tetap mendapatkan penghasilan,” ujarnya.
Istrinya yang juga berjualan makanan di warung kopi itu mencoba berbagai macam resep sehingga bisa menambah penghasilan. Menu-menu baru selalu dicoba sehingga tetap bisa meraup pasar. ”Kreativitas harus dipacu,” kata Yosep.
Bahkan, mereka harus melakukan promosi melalui media sosial supaya ada pelanggan. Bisa juga dengan memberi layanan antar ke tempat kerja konsumen. Ada ceruk ekonomi di sana karena orang malas keluar rumah dan tempat kerja sehingga ada yang memesan melalui telepon.
Selain itu, ia dan istrinya harus menjaga kepercayaan konsumen dengan menjaga kebersihan warung kopi. Protokol kesehatan, seperti tempat cuci tangan, menjaga jarak, dan menggunakan masker, selalu dijaga. Ia juga menggunakan masker agar konsumen nyaman.
Bagi Yosep yang selama ini menjadi karyawan dan setiap bulan menunggu gaji serta tunjangan hari raya, tidak mudah beradaptasi menjadi wirausaha. ”Kalau pukul 11.00-12.00 pelanggan kosong, saya mulai bimbang. Sebab, harus usaha apa jika tidak ada penghasilan,” katanya.
Begitu juga dengan Yosita (22), karyawan salah satu bioskop di Pontianak. Ia dirumahkan sejak Maret. Setelah dirumahkan, ia sempat bertahan di Kota Pontianak, ibu kota Kalbar, membuka usaha berjualan pakaian secara daring hingga Juli.
Namun, ia kembali ke daerah asalnya di Kecamatan Menjalin, Kabupaten Landak, pada bulan Agustus karena usaha yang sedang ia jalankan di Pontianak agak sulit berkembang. Menurut dia, prospek untuk berjualan secara daring di daerah asalnya cukup baik. Sebab, meskipun pandemi, masih ada permintaan dari masyarakat.
”Keuntungan per bulan berkisar Rp 500.000-Rp 2 juta. Tidak terlalu banyak, tapi bisa diputar lagi untuk nambah modal,” ujarnya.
Karena tidak semua wilayah terjangkau sinyal, selain ditawarkan melalui media sosial, produknya juga ditawarkan dari mulut ke mulut. Apalagi, tidak semua konsumen memiliki telepon pintar.
Ia juga membantu kakak kandungnya mengembangkan usaha, seperti warung kopi, penjualan kosmetik, dan usaha counter ponsel. ”Pokoknya hal yang bisa diberdayakan untuk keuangan dilakukan. Misalnya ada yang pesan baju, dicarikan,” kata Yosita.
Ia juga aktif sebagai salah satu pembimbing anak-anak Sekolah Adat Samabue (SAS). Dalam kondisi normal, SAS biasanya mengajarkan berbagai kearifan lokal, antara lain menari, kerajinan, dan mendongeng, tiga kali seminggu.
Dalam kondisi pandemi Covid-19, kegiatan hanya berlangsung sekali seminggu, yakni Minggu sore. Selain itu, fokusnya memberikan bimbingan mata pelajaran formal sekolah. Sebab, selama pandemi, siswa kesulitan belajar daring karena banyak yang tidak memiliki telepon pintar.
”Saya tidak bisa membantu secara finansial, tetapi dengan bimbingan. Kegiatan seperti ini menjadi semangat baru. Protokol kesehatan kami atur. Semuanya wajib pakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan saat bimbingan,” ujarnya.
Kisah tersebut hanyalah segelintir dari sekian banyak karyawan yang terkena dampak Covid-19. Di daerah tertentu di Kalbar juga ada karyawan yang setelah terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), mereka mengolah tanahnya, menanam sayur-mayur. Sayur-mayur dijual untuk penghasilan sehari-hari.
Pekerja terdampak
Berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kalbar, 752 pekerja di Kalbar terkena PHK dan 3.978 orang dirumahkan selama pandemi Covid-19. Sektor usaha tempat mereka bekerja terpukul sejak Covid-19.
Baca juga : 752 Pekerja di Kalbar Terkena PHK Selama Pandemi
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kalbar Manto menuturkan, jumlah pekerja yang terkena PHK dan yang dirumahkan tersebar di 14 kabupaten/kota. Data tersebut terhitung sejak 1 Maret hingga 1 Oktober.
”Mereka pekerja di hotel, restoran, dan perdagangan umum. Sektor-sektor tempat mereka bekerja semuanya terdampak pandemi Covid-19,” kata Manto.
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah menjalankan sejumlah program untuk membantu mereka, antara lain mendorong pencari kerja mengikuti program Kartu Prakerja. Kemudian, meningkatkan program pelatihan dilengkapi sertifikat keahlian. Tenaga kerja yang memiliki keahlian tertentu juga difasilitasi untuk mendapatkan sertifikat keahlian.
”Sejauh ini ada 860 orang terkena PHK ataupun dirumahkan yang mengikuti pelatihan. Tahun depan juga ada, tergantung ketersediaan anggaran,” ujarnya.
Pihaknya juga memetakan peluang digitalisasi usaha untuk perluasan kesempatan kerja. Kemudian, memperluas kesempatan kerja melalui program padat karya dan program tenaga kerja mandiri.
Baca juga : Gelombang PHK Masih Menghantui
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura, Pontianak, Eddy Suratman menuturkan, agar tidak semakin banyak yang kehilangan pekerjaan, aktivitas ekonomi harus dijaga. Ada beberapa kebijakan yang bisa dilakukan.
Pemerintah daerah bisa merelaksasi pajak daerah. Selain itu, relaksasi regulasi, misalnya terkait persyaratan investasi atau menjual barang. Jika ada beberapa persyaratan, sementara dibebaskan dulu untuk mendorong kegiatan ekonomi.
Pekerja yang terkena PHK dan dirumahkan memerlukan pekerjaan, bukan pelatihan. Maka, ciptakan aktivitas ekonomi sehingga ada lapangan pekerjaan.
Dengan demikian, ekonomi akan bergerak sehingga menciptakan kesempatan kerja. Pengangguran pun diharapkan tidak bertambah. Selain itu, diperlukan juga subsidi pendapatan bagi pekerja dari APBD.
”Pekerja yang terkena PHK dan yang dirumahkan memerlukan pekerjaan, bukan pelatihan. Maka, ciptakan aktivitas ekonomi sehingga ada lapangan pekerjaan,” kata Eddy.
Di tengah kondisi yang sulit, para korban PHK masih bisa bertahan. Tentu akan lebih baik lagi jika pemerintah mendukung dengan berbagai kebijakan yang membuat usaha mereka kian berkembang.