Kurangi Pencemaran Udara, Bahan Bakar Premium Bakal Dihilangkan
Penggunaan bensin premium dengan RON 81 dinilai merusak lingkungan karena tidak sesuai dengan standar kandungan timbal yang tinggi. Pemerintah berencana menghilangkan premium dari peredaran.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Selama pandemi Covid-19 melanda, langit di dunia kian biru lantaran penggunaan bahan bakar kendaraan mulai menurun. Namun, normal baru membuat geliat kendaraan kembali tinggi dan menyebabkan polusi. Penghilangan premium di daerah bakal mendorong kurangnya pencemaran udara.
Hal itu terungkap dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dengan tema ”Urgensi Menekan Pencemaran Udara dengan Bahan Bakar yang Ramah Lingkungan”, Jumat (13/11/2020).
Hadir dalam kegiatan itu, Direktur Jenderal Pencemaran Udara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) MR Karliansyah, Wakil Presiden Komunikasi Marketing PT Pertamina Arifun Dhalia, pakar lingkungan, serta beberapa pejabat daerah dari 24 kabupaten/kota di Indonesia.
Arifun Dhalia mengungkapkan, awal pandemi Covid-19, pada Maret terjadi penurunan konsumsi bahan bakar yang begitu drastis lantaran banyak aktivitas di dalam rumah. Namun, pada Juli, aktivitas di luar menggeliat lantaran kebijakan pelonggaran dan mulai bergeraknya roda perekonomian.
”Konsumsi bahan bakar yang menurun membuat pemakaian emisi gas buang juga ikut turun. Karena itu, polusi udara juga menurun,” ungkap Arifun.
Arifun menambahkan, pihaknya mendukung peningkatan kualitas udara di masa normal baru dengan meluncurkan program Langit Biru. Program itu mendorong penggunaan bahan bakar kendaraan yang ramah lingkungan.
Sesuai dengan Peraturan Menteri KLHK Nomor 20 Tahun 2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru, kendaraan bermotor diharuskan menggunakan bahan bakar dengan RON minimal 91 untuk mengurangi kadar pencemaran udara. PT Pertamina kemudian meresponsnya dengan mengenalkan BBM Pertalite kepada warga. Mereka melakukan demplot di empat wilayah, yakni Bali, Palembang, Tangerang Selatan, dan Gianyar.
”Ada diskon yang kami berikan untuk konsumsi pertalite sehingga harganya sama dengan premium. Kalau premium, kan, RON 88, sedangkan Pertalite lebih besar sehingga pertalite lebih ramah lingkungan,” kata Arifun.
Pihaknya mengedukasi masyarakat melalui potongan harga untuk Pertalite sebanyak Rp 1.200 selama dua bulan, lalu Rp 800 selama dua bulan, lalu turun lagi potongannya menjadi Rp 400 selama dua bulan. Hal itu dilakukan agar penggunaan pertalite lebih besar.
Setelah diuji coba, lanjut Arifun, konsumsi BBM dengan RON 88 atau premium turun. Pemerintah pun mendukung program tersebut dengan menerapkan kebijakan menghilangkan penggunaan premium di Pulau Jawa, Madura, dan Bali.
Karliansyah menambahkan, pihaknya sudah bertemu dan berkoordinasi dengan PT Pertamina serta sepakat akan menghilangkan bahan bakar premium mulai 1 Januari 2021. Penghilangan itu akan dilakukan di Pulau Jawa, Madura, dan Bali, lalu disusul kota-kota lain.
”Para pemasok bahan bakar kami harapkan juga bisa segera membangun kilang yang dapat memenuhi kebutuhan bahan bakar ramah lingkungan,” kata Karliansyah.
Kerugian kesehatan
Peralihan Ron BBM juga terkait dengan pencemaran udara. Dari data KLHK, setidaknya kerugian negara mencapai Rp 38,5 triliun akibat pencemaran udara karena kendaraan bermotor. Angka itu dilihat berdasarkan biaya pengobatan yang diperlukan untuk menangani penyakit yang disebabkan oleh kualitas udara yang buruk.
”Di Jakarta, 57,8 persen orang menderita penyakit yang berhubungan dengan pencemaran udara. Ini karena penggunaan kendaraan bermotor yang masif,” kata RM Karliansyah.
Di Kabupaten Klungkung, Bali, pemerintah kabupaten mengklaim kualitas udara meningkat. Hal itu terjadi bukan hanya karena penggunaan bahan bakar premium yang minim, melainkan juga karena beragam kebijakan pemerintah daerah mulai dari menerapkan zona merokok hingga larangan bakar sampah sembarangan.
”Penurunan itu dilihat juga dari penyakit, saat ini di wilayah kami didominasi oleh penyakit hipertensi, gangguan pernapasan juga ada, tetapi tidak signifikan,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Klungkung Ni Made Adi Swaptani.
Di Jakarta, 57,8 persen orang menderita penyakit yang berhubungan dengan pencemaran udara. Ini karena penggunaan kendaraan bermotor yang masif.
Hal serupa terjadi di Purbalingga. Kepala Dinas Kesehatan Purbalingga Hanung Wikantono mengungkapkan, kualitas udara pastinya membaik seiring dengan penggunaan bahan bakar kendaraan yang ramah lingkungan. Di Purbalingga, menurut dia, tidak ada lagi antrean di SPBU untuk premium.
”Sekarang sedang fokus juga pada pengelolaan sampah medis, khususnya sampah Covid-19. Karena, kan, gak bisa dibakar. Kawasan tanpa rokok pun sudah jadi perda. Jadi, bahan bakar saja gak cukup, tetapi juga perilaku,” kata Hanung.
Hanung menambahkan, di Purbalingga, penyakit yang mendominasi merupakan penyakit tidak menular. Salah satunya paru kronis yang, menurut Hanung, berkaitan erat dengan pencemaran udara.
”Perlu penelitian untuk membuktikan apakah pencemaran dari kendaraan bermotor itu langsung berpengaruh pada penyakit, tetapi paling tidak ada upaya yang sudah dilakukan untuk membuat lingkungan dan udara jauh lebih bersih,” ujar Hanung.