Harga Cengkeh di Maluku Anjlok, Terendah dalam 20 Tahun
Akibat pandemi Covid-19, harga cengkeh di Maluku anjlok hingga di bawah Rp 50.000 per kilogram. Harga ini terendah dalam 20 tahun terakhir. Petani kian terjepit, sedangkan pemerintah daerah tak bisa berbuat banyak.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Harga komoditas cengkeh di Maluku, yang biasanya lebih dari Rp 100.000 per kilogram, kini anjlok hingga di bawah Rp 50.000 per kilogram. Ini menjadi harga terendah setidaknya dalam dua dekade terakhir. Harga merosot dipicu berkurangnya permintaan pasar. Petani berharap perhatian pemerintah untuk mengurangi beban mereka.
Hengky Sitania (56), petani cengkeh di Desa Haruku, Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, yang dihubungi pada Jumat (13/11/2020), mengatakan, harga jual cengkeh di desanya kini Rp 48.000 per kilogram (kg). ”Kalau jual ke Ambon bisa dapat Rp 52.000, tapi sama saja karena butuh biaya angkut yang kalau dihitung lebih kurang sama. Kami jual di kampung saja,” ujarnya.
Ia mengatakan, harga cengkeh mulai anjlok sejak awal pandemi Covid-19. Harga semakin tertekan sebab saat ini memasuki musim panen. Harga cengkeh kali ini merupakan yang paling rendah sepanjang dua dekade terakhir. Harga cengkeh biasanya berada di atas Rp 100.000 per kg, bahkan pernah mencapai Rp 125.000 per kg pada 2000.
Para petani terpaksa menjual cengkeh dengan harga murah lantaran terdesak kebutuhan sehari-hari. Terlebih, ekonomi petani terpukul saat pandemi. Bantuan sosial dari pemerintah tidak cukup menopang kehidupan mereka. Sementara di sisi lain, harga barang kebutuhan pokok cenderung naik.
”Kami sempat berpikir menyimpan cengkeh sambil menunggu harga naik baru, tapi sepertinya harga terus menurun. Kami khawatir akan semakin rugi, jadi terpaksa kami jual. Bahkan, kami terpaksa jual cengkeh yang masih mentah dengan harga lebih murah. Tidak ada pilihan lain,” tutur Hengky.
Hendrik Pattikaihatu (32), petani cengkeh di Pulau Seram, menyebutkan, harga jual komoditas tidak sebanding dengan biaya pengolahan. Cengkeh biasanya dipanen setahun sekali. Sejak ditanam, cengkeh baru mulai berbuah lima tahun kemudian dan berbuah maksimal setelah belasan tahun. Selanjutnya komoditas ini terus produktif hingga ratusan tahun.
Harga jual komoditas tidak sebanding dengan biaya pengolahan.
Proses panen cengkeh menghabiskan waktu hingga dua hari. Setelah dipetik, cengkeh dibersihkan, kemudian dijemur. Satu pohon cengkeh bisa mencapai 20 kg. ”Biasanya kalau panen cengkeh, kami pakai tenaga buruh dan hasil panen dibagi dua. Jadi, pendapatan kami hanya separuh harga,” katanya.
Permintaan industri menurun
Erwin, salah satu pengepul cengkeh di Kota Ambon, mengatakan, turunnya harga cengkeh lantaran permintaan dari industri berkurang. Industri rokok yang menggunakan bahan baku cengkeh, misalnya, mengurangi produksi. Turunnya permintaan itu otomatis berpengaruh pada harga.
”Permintaan mulai turun setelah ada kasus Covid-19 di salah satu perusahaan rokok,” katanya.
Industri rokok yang menggunakan bahan baku cengkeh, misalnya, mengurangi produksi. Turunnya permintaan itu otomatis berpengaruh pada harga.
Menurut Erwin, cengkeh dari Ambon biasanya dikirim ke Surabaya, Jawa Timur, menggunakan kapal laut. Pada musim panen, pengiriman cengkeh ke Surabaya mencapai 5 ton per pekan untuk satu pengepul. Di Ambon terdapat lebih dari 20 pengepul cengkeh. Pengepul di Ambon menghimpun cengkeh dari hampir semua wilayah di Maluku.
Di Maluku, sentra cengkeh tersebar di beberapa pulau, yakni Ambon, Seram, Kepulauan Geser, Kepulauan Lease, dan Kepulauan Teon Nila Serua. Menurut data Dinas Pertanian Provinsi Maluku, pada tahun 2019, luas lahan cengkeh di Maluku sekitar 44.163 hektar dengan jumlah produksi 72.473 ton. Adapun produksi cengkeh secara nasional sekitar 1,05 juta ton.
Sementara itu, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Maluku Elvis Pattiselano, yang dihubungi secara terpisah, mengatakan, anjloknya harga cengkeh tidak hanya terjadi di Maluku, tetapi juga di seluruh wilayah Indonesia. Turunnya harga sebagai dampak pandemi Covid-19. Di tengah kondisi tersebut, pemerintah tidak bisa berbuat banyak.
”Ini bagian dari mekanisme pasar sehingga pemerintah tidak bisa berbuat banyak untuk membantu petani. Selanjutnya, mungkin perlu ada badan usaha milik daerah yang berfungsi menyerap komoditas petani,” kata Elvis.
Dalam catatan Kompas, rencana pembuatan BUMD dengan tugas pokok menyerap komoditas pertanian sudah dibicarakan sejak lama, tetapi hingga kini belum terwujud.