Uskup Mandagi: Kedamaian di Papua Butuh Dialog Tanpa Dusta
Mgr Petrus Canisius Mandagi MSC, Uskup Agung Merauke, bertekad membangun dialog demi terwujudnya damai di Tanah Papua. Salah satu tokoh perdamaian Maluku itu mengisyaratkan dialog tanpa ada dusta.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN/FABIO M LOPES
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Uskup Agung Merauke Mgr Petrus Canisius Mandagi MSC berjanji mendorong dialog demi terciptanya kedamaian di tanah Papua. Dialog bakal mencapai tujuan jika semua pihak saling terbuka, tidak membawa titipan kepentingan, serta tanpa dusta.
Hal tersebut disampaikan Mandagi kepada Kompas di Ambon, Maluku, Kamis (12/11/2020). Sehari sebelumnya, Takhta Suci di Roma mengumumkan, Paus Fransiskus mengangkat Mandagi, yang kini masih menjabat Uskup Amboina di Maluku, menjadi Uskup Agung Merauke di Papua.
Keuskupan Agung Merauke membawahkan semua keuskupan di Provinsi Papua dan Papua Barat. Di sana tersebar Keuskupan Jayapura, Timika, Sorong-Manokwari, dan Keuskupan Agats.
Sebelum menjadi Uskup Agung Merauke, Mandagi telah diangkat menjadi Administrator Apostolik Keuskupan Agung Merauke. Hal itu dilakukan setelah Uskup Agung Merauke Mgr Yohanes Philipus Saklil wafat pada Agustus 2019.
Mandagi prihatin dengan kekerasan berkepanjangan di Papua yang merenggut banyak nyawa, termasuk masyarakat sipil. Bahkan, Agustus-September tahun lalu, sempat terjadi konflik horizontal buntut dari penghinaan bernada rasis terhadap mahasiswa asal Papua di Surabaya, Jawa Timur.
Sambil mempelajari kondisi di sana, Mandagi mengatakan akan memulai dialog dari Merauke, wilayah di selatan Papua. Dengan modal pengalaman membangun dialog di Maluku, ia mencoba mencari formula yang mungkin dapat diterapkan di Papua. Konflik yang terjadi di Maluku selama beberapa tahun sejak 1999 juga merupakan konflik horizontal.
Mandagi menilai, dialog di Papua selama ini tidak berhasil menyelesaikan masalah lantaran pihak yang terlibat konflik belum mau berbicara apa adanya. ”Saya merasa, baik pemerintah maupun orang Papua, masih ada yang ditutup-tutupi. Kalau di Maluku, kami bicara apa adanya. Jangan ada dusta di antara kita,” ujarnya.
Ia menuturkan telah menyampaikan banyak hal terkait kondisi Papua kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD. Ia juga berencana akan bertemu dengan Panglima TNI dan Kapolri. ”Yang harus diingat pemerintah pusat dan aparat keamanan, masyarakat Papua harus dihargai. Jangan rendahkan dan jangan perdayai mereka,” ucapnya.
Anggota DPR Papua, Thomas Sondegau, di Jayapura berharap Mandagi tidak hanya melaksanakan tugas gereja. Dia diminta memprioritaskan kepentingan masyarakat.
”Kami berharap Uskup Mandagi menjadi mediator mengatasi masalah, salah satunya di selatan Papua. Misalnya, peranan masyarakat setempat yang semakin terpinggirkan di bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan politik,” kata Thomas. Di selatan Papua, konflik sosial rawan terjadi antara pemilik hak ulayat dengan pemodal perkebunan dan tambang.
Ketua Komisariat Daerah Pemuda Katolik Provinsi Papua Alfonsa Wayap berharap Uskup Agung Merauke yang baru dapat melihat segala persoalan sosial di selatan Papua. Sebab, masyarakat setempat sering mengeluhkan tidak mendapatkan akses ekonomi dan kehidupan yang layak.
”Mudah-mudahan Uskup Mandagi dapat memberi solusi dan keadilan yang selama ini dinantikan masyarakat asli Papua di Merauke hingga Boven Digoel,” kata Alfonsa.
Ketua Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Wakol Yelipele optimistis Mandagi akan selalu mengedepankan penyelesaian masalah dengan adil dan damai. Selama menjadi Administrator Keuskupan Agung Merauke, Mandagi beberapa kali mendampingi dan mengadvokasi umat katolik yang menjadi korban pelanggaran HAM.
Salah satunya saat terjadi kasus pemukulan yang diduga dilakukan oknum polisi terhadap Marius Betera, seorang warga, di kantor perkebunan sawit di Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel, Papua, 16 Mei 2020. Beberapa jam setelah peristiwa tersebut, Marius meninggal.