Angka ”Stunting” di Kota Surabaya Menurun
Pemerintah Kota Surabaya, Jawa Timur, mengklaim berhasil menurunkan kasus ”stunting” atau gagal tumbuh akibat kurang gizi kronis pada anak usia kurang dari lima tahun.
SURABAYA, KOMPAS — Pemerintah Kota Surabaya, Jawa Timur, mengklaim berhasil menurunkan kasus stunting (tengkes) atau gagal tumbuh akibat kurang gizi kronis pada anak usia kurang dari lima tahun. Meski demikian, di Surabaya masih ada lebih dari 7.000 anak tengkes.
”Penurunan kasus stunting tetap menjadi konsern program kami,” kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya Febria Rachmanita, Rabu (11/11/2020).
Penanganan stunting atau tengkes menjadi salah satu program utama kesehatan di Surabaya karena anak penyandang akan kesulitan pada masa depan. Tingkat kecerdasan tidak akan maksimal. Anak rentan sakit. Produktivitas kerja tidak akan pernah tinggi.
Stunting merupakan gagal tumbuh fisik dan otak sehingga anak penyandang kerdil dan mudah sakit. Situasi ini karena kurang gizi kronis dan infeksi berulang, terutama ketika anak berada dalam 1.000 hari pertama kehidupan atau sejak janin sampai 24 bulan.
Baca juga: Surabaya Gunakan Aplikasi Pantau Pertumbuhan Anak Balita untuk Cegah Tengkes
Meski merupakan kota metropolitan berpopulasi di atas 3,1 juta jiwa dan indeks pembangunan manusia 82,22 atau tertinggi se-Jatim, Surabaya masih menanggung persoalan stunting. Meski demikian, pemerintah telah menempuh berbagai intervensi dan mengklaim menurunkan jumlah kasus stunting kurun lima tahun terakhir.
Febria mengungkapkan, pada 2016, di Surabaya tercatat 29.608 anak atau 17,4 persen dari jumlah anak ternyata tengkes. Tahun berikutnya, jumlah anak yang tengkes bisa diturunkan menjadi 19.362 anak atau 10,7 persen. Pada 2018, angka kasus kembali bisa turun menjadi 16.220 anak atau mencakup 8,9 persen populasi anak. Tahun lalu, tercatat 15.391 anak tengkes atau 8,5 persen.
Untuk tahun ini, menurut catatan Febria, sampai dengan September lalu, ada 7.040 anak tengkes dari populasi 178.043 anak bawah lima tahun (balita) atau setara 3,9 persen. Dalam lima tahun, ada penanganan 22.568 anak tengkes atau rerata 4.514 anak per tahun.
”Kami berpedoman dan melaksanakan strategi nasional percepatan pencegahan stunting 2018-2024,” kata Febria. Strategi mencakup lima pilar, yakni komitmen dan visi kepemimpinan nasional dan daerah, kampanye nasional dan komunikasi perubahan perilaku, konvergensi program pusat daerah dan desa, ketahanan pangan dan gizi, serta pemantauan dan evaluasi.
Selain itu, delapan aksi wajib telah ditempuh oleh Surabaya, yakni analisis situasi, rencana kegiatan, rembuk stunting, peraturan bupati/wali kota tentang peran desa/kelurahan, pembinaan kader pembangunan manusia, sistem manajemen data, pengukuran dan publikasi stunting, dan review kinerja tahunan.
Penanganan dan pencegahan tengkes dilaksanakan melalui program intervensi spesifik kesehatan dan intervensi sensitif non-kesehatan. Untuk intervensi spesifik, antara lain, adalah pemberian makanan tambahan dan tablet tambah darah untuk ibu hamil, menyusui, dan calon pengantin, serta tablet tambah darah bagi remaja putri.
Intervensi spesifik kesehatan berkontribusi lebih dari 30 persen terhadap percepatan penanganan dan pencegahan stunting.
Selain itu, imunisasi, pemberian obat cacing, taburia dan vitamin A pada anak balita, multivitamin bagi peserta pendidikan anak usia dini, pemberian makanan tambahan bagi anak balita, penyulihan di posyandu, dan pendampingan anak balita.
Febria melanjutkan, Surabaya juga terus melaksanakan program pendampingan 1.000 hari pertama kehidupan, pengembangan Kampung ASI, Pos Gizi, Kelompok Ibu Pintar Balita Sehat, Kelas Ibu Hamil, audit gizi buruk, monitoring garam beryodium, Therapeutic Feeding Center (TFC) dan Community Feeding Center (CFC), pelacakan kasus gizi buruk, survei keluarga sadar gizi, posyandu anak balita, penyediaan pojok laktasi di tempat kerja dan fasilitas umum, manajemen terpadu anak balita sakit, serta penyediaan ambulans NETSS dan METS.
Baca juga: Pemerintah Targetkan Angka ”Stunting” di Bawah 20 Persen pada 2024
”Intervensi spesifik kesehatan berkontribusi lebih dari 30 persen terhadap percepatan penanganan dan pencegahan stunting,” ujar Febria.
Untuk intervensi sensitif ditempuh melalui koordinasi erat dengan semua badan, dinas, dan kantor dalam lingkungan pemerintah. Para aparatur sipil negara menjadi sosok vital yang harus terus memperhatikan kasus stunting dan berkoordinasi dalam penanganan dan pencegahan. Pertengahan bulan lalu, semua perangkat daerah di Surabaya telah mengadakan rembuk stunting untuk menentukan strategi penanganan mendatang.
Pendampingan
Masih terkait dengan tengkes, program pengabdian masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga melaksanakan pendampingan penanganan tengkes di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah, Surabaya. Dalam masa wabah Covid-19 ini, pelaksanaan acara ditempuh dengan penerapan protokol kesehatan.
Peserta dari kalangan santri, pengajar, dan pengasuh telah terlebih dulu menjalani tes cepat dan tes usap serta karantina. Selama kegiatan, mereka memakai pelindung diri dan rutin mencuci tangan untuk menekan risiko penularan virus korona.
Kegiatan berupa pemaparan tengkes dan pendampingan kader dakwah sehat. Peserta mendapat perlengkapan, antara lain, buku saku kader dakwah sehat, buku catatan, alat tulis, dan kelengkapan lain yang berisi pesan-pesan tentang tengkes yang telah disesuaikan dengan karakteristik Al-Fithrah. Setelah ini, kader dakwah sehat akan berperan sebagai fasilitator melalui program-program yang telah disusun untuk meneruskan pemaparan tengkes di internal hingga luar pondok.
Baca juga: Mencegah ”Stunting” di Desa
Ketua Program Pengabdian Masyarakat FKM Unair Bagus Qomaruddin mengatakan, kegiatan kesehatan seperti ini telah berlangsung sejak 2011, di mana kampus merespons kebutuhan masyarakat akan isu-isu kesehatan. Perguruan tinggi harus terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan, terutama turut membantu percepatan penanganan berbagai persoalan sesuai dengan kompetensinya.
Pimpinan Al-Fithrah, Musyafa’, mengatakan, kegiatan pengabdian masyarakat sangat bermanfaat. Pondok turut bertanggung jawab membantu penanganan masalah di masyarakat yang dalam konteks ini adalah stunting. Kader dakwah sehat harus berkembang menjadi fasilitator yang juga dapat mengidentifikasi persoalan, memfasilitasi program kesehatan, dan advokasi. Kesehatan pondok tidak sekadar tanggung jawab pos pesantren, tetapi semua penghuni dan pengurus.