Selama Pandemi, Selat Singapura Makin Rawan Perompak
Perompakan di Selat Singapura meningkat selama pandemi Covid-19. Pada 8-9 November 2020, dalam enam jam, terjadi tiga kali perompakan di perairan timur Selat Singapura.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
BATAM, KOMPAS — Perompakan di Selat Singapura meningkat selama pandemi Covid-19. Pada 8-9 November 2020, dalam enam jam, terjadi tiga kali perompakan di perairan timur Selat Singapura. Kembali maraknya perompakan di wilayah tersebut mengindikasikan lemahnya kontrol negara-negara di wilayah tersebut.
Komandan Gugus Keamanan Laut Komando Armada I Laksamana Pertama Yayan Sofiyan, Selasa (10/11/2020), mengatakan, tiga kasus perompakan itu terjadi di perairan perbatasan antara Indonesia dan Singapura. Kapal Republik Indonesia (KRI) Krait 821 dan KRI Sigurot 864 dikerahkan untuk menangkap para perompak.
”Sebenarnya sekian lama (perompakan) ini sudah tidak ada. Namun, kami mendapat laporan, dalam dua hari terakhir ini, terjadi gangguan keamanan. Mungkin berupa sea theft, ya, low level sebenarnya bukan suatu masalah yang besar,” kata Yayan.
Laporan mingguan yang disusun Regional Cooperation Agreement Combating Piracy and Armed Robbery Againts Ships in Asia (ReCAAP) Information Sharing Centre (ISC) menunjukkan, pada 8-9 November, terjadi tiga kali perompakan di Selat Singapura. Tiga perompakan itu masuk dalam kategori (CAT) 4 yang artinya pelaku tanpa senjata dan tidak ada awak kapal yang terluka.
Pukul 21.25, Minggu (8/11), tanker Zeno berbendera Liberia dirompak saat melintas di perairan selatan Tanjung Bulat, Johor Timur, Malaysia. Awak kapal itu melihat tiga perompak memasuki ruang mesin. Tidak ada konfrontasi dalam peristiwa itu. Namun, beberapa perlengkapan kapal di ruang mesin hilang dicuri.
Kemudian pada dini hari pukul 02.20, Senin (9/11), kapal bermuatan curah Lefkada, juga berbendera Liberia, dirompak saat melintasi perairan tenggara Tanjung Ramunia, Johor Timur, Malaysia. Dua pelaku terlihat memasuki ruang mesin dan mencuri sejumlah perlengkapan kapal. Tidak ada awak kapal yang terluka dalam peristiwa itu.
Tidak sampai sejam kemudian, pukul 03.08, giliran kapal bermuatan curah Atlantic Diana berbendera Panama dirompak di perairan barat laut Tanjung Pergam, Pulau Bintan. Seorang perompak terlihat di ruang steering gear flat kapal. Tidak ada awak kapal yang terluka maupun barang yang hilang dalam peristiwa itu.
Tiga kejadian beruntun yang terjadi dalam waktu enam jam itu memaksa ReCAAP untuk memperingatkan para awak kapal agar meningkatkan kewaspadaan saat melintas di Selat Singapura. ReCAAP juga mendorong negara-negara di kawasan itu untuk meningkatkan patroli laut dan memperkuat koordinasi dengan saling berbagi informasi terbaru.
Tiga kejadian beruntun yang terjadi dalam waktu enam jam itu memaksa ReCAAP untuk memperingatkan para awak kapal agar meningkatkan kewaspadaan saat melintas di Selat Singapura.
ReCAAP mencatat, sepanjang 2020, terjadi 31 perompakan di Selat Singapura. Jumlah itu meningkat dibandingkan dengan peristiwa perompakan sepanjang 2019, yaitu 29 kasus. Pada 14 April 2020, Channel News Asia menurunkan video berita yang mengingatkan kemungkinan meningkatnya aksi perompakan di Selat Singapura akibat resesi ekonomi yang dipicu pandemi Covid-19.
”Tidak tertutup kemungkinan demikian. Karena (perompakan) ini sebetulnya sudah lama tidak ada, terus kemudian baru dua hari ke belakang ada tiga kejadian. Ini masih kami identifikasi dan komunikasikan,” ujar Yayan.
Secara khusus, menanggapi perompakan yang terjadi di perairan dekat Pulau Bintan, Yayan belum dapat memastikan apakah ada warga negara Indonesia yang terlibat. ”Masih banyak kemungkinan. Kami tidak prejudice (berprasangka) duluan itu masyarakat kita, (nanti) dampaknya kurang baik,” ujarnya.
Yayan menambahkan, penindakan terhadap perompak di Selat Singapura merupakan tugas bersama aparat penegak hukum di Indonesia, Singapura, dan Malaysia. ”Itu kewenangan semua, tidak bisa hanya menjadi kewenangan Indonesia saja,” tuturnya.
Kontrol lemah
Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sigit Riyanto menilai, maraknya perompakan di Selat Singapura mengindikasikan lemahnya kontrol negara-negara di wilayah tersebut. Hal itu patut dipikirkan semua negara di Asia Tenggara karena sangat mungkin perompakan masih akan terjadi pada masa mendatang, bahkan mencakup lokasi yang lebih luas.
Jika negara-negara di Asia Tenggara tidak segera mengambil langkah strategis dan program nyata untuk menangkal pembajakan di laut, Sigit memprediksi situasi ini akan menyuburkan kejahatan lain. Ancaman bagi keamanan laut, seperti terorisme, perikanan ilegal, kejahatan lingkungan, perdagangan manusia, narkoba, barang-barang palsu, serta senjata ilegal bisa terjadi. Bahkan, hal itu bisa memicu kecelakaan laut dan sengketa yurisdiksi.
Karena adanya zona maritim dengan rezim hukum yang berbeda-beda, tidak ada satu pun negara di dunia ini yang dapat memerangi pembajakan sendirian. Pembajakan dan penyanderaan (abduction) yang terjadi di laut umumnya merupakan problematika yang melibatkan yurisdiksi dan pendekatan multinasional. Pendekatan domestik satu negara untuk menangani pembajakan dan penyanderaan di laut, tidak akan memadai.
”Salah satu masalah krusial yang perlu dinegosiasikan dan dirinci lebih lanjut oleh negara-negara di kawasan Asia Tenggara adalah bagaimana menentukan lingkup kerja sama dalam rangka mewujudkan wilayah laut yang aman,” kata Sigit.
Menurut Sigit, beberapa aspek terkait, antara lain, kejelasan posisi setiap negara, termasuk apakah patroli laut secara bersama atau mandiri/terpisah dan pertimbangan isu teritorial yang sangat sensitif mengingat kaitannya dengan kedaulatan dan kemungkinan tumpang tindih yurisdiksi. Selain itu, diperlukan juga kapasitas dan kesiapan setiap negara saat menegakkan hukum.
Ada baiknya, kata dia, negara-negara di Asia Tenggara mencermati tata etika (code of conduct)yang telah dikembangkan dan diterapkan di wilayah lain dalam memerangi pembajakan di laut. Beberapa contohnya diterapkan di Somalia dan Samudra Hindia.
Code of conduct yang berlaku di kawasan lain dapat menjadi rujukan awal dan perbandingan dalam menyusun hal serupa di Asia Tenggara. Hal itu termasuk mengintegrasikan prinsip-prinsip kedaulatan, kesetaraan, nonintervensi dan penghormatan integritas teritorial setiap negara.