Laboratorium PCR BNPB Tak Beroperasi, Penanganan Covid-19 di Sidoarjo Terhambat
Laboratorium pemeriksaan spesimen Covid-19 di Sidoarjo berhenti beroperasi. Akibatnya, pengetesan, penelusuran kontak erat, bahkan perawatan pasien Covid-19 menjadi terhambat.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·3 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Laboratorium pemeriksaan spesimen Covid-19 dengan metode reaksi berantai polimerase milik Badan Nasional Penanggulangan Bencana di Gelora Delta Sidoarjo sudah 10 hari tak beroperasi. Akibatnya, pengetesan, penelusuran kontak erat, bahkan perawatan pasien Covid-19 menjadi terhambat.
Dinas Kesehatan Sidoarjo meminta BNBP segera mengoperasikan kembali laboratorium tersebut karena menjadi tulang punggung pemeriksaan spesimen di wilayahnya. Pengetesan secara masif yang diikuti penelusuran kontak erat secara agresif dan perawatan yang maksimal menjadi kunci pengendalian sebaran Covid-19.
Pada Selasa (10/11/2020), sejumlah petugas laboratorium berkumpul di dekat kontainer yang di dalamnya berisi mesin pemeriksa spesimen Covid-19 dengan metode reaksi berantai polimerase (PCR). Tepatnya sejak 1 November lalu, laboratorium lapangan tersebut tak mau lagi menerima spesimen.
Kepala Subdirektorat Pemulihan Prasarana Vital BNPB Roslina Lamtarida saat ditemui di Sidoarjo mengatakan, penghentian operasional laboratorium PCR tersebut bukan kebijakan dari pemerintah pusat. Penghentian operasional laboratorium itu merupakan keputusan dari pihak ketiga yang menjadi mitra kerja BNPB.
”Perusahaan rekanan BNPB ini berkirim surat yang isinya kurang lebih menyatakan terkait pengiriman sampel uji usap, mereka hanya bisa menerima sampel terakhir pada 30 Oktober 2020. Alasannya apa tidak disebutkan dalam surat itu,” ujar Roslina.
Menindaklanjuti surat tersebut, Roslina langsung berkomunikasi dengan pimpinan BNPB. Tujuannya supaya segera ada jalan keluar. Laboratorium PCR tersebut sangat dibutuhkan oleh masyarakat Sidoarjo untuk mempercepat penanganan Covid-19 di kota satelit Surabaya ini.
Kepala Dinas Kesehatan Sidoarjo Syaf Satriawarman berharap laboratorium PCR BNPB itu secepatnya beroperasi lagi. Sebelumnya, rata-rata setiap hari ada 500 spesimen yang dikirim oleh dinas kesehatan. Spesimen itu berasal dari 26 puskesmas di Sidoarjo dengan jumlah rata-rata 300 spesimen per hari dan sisanya merupakan spesimen dari pemeriksaan langsung di GOR.
Perusahaan rekanan BNPB ini berkirim surat yang isinya kurang lebih menyatakan terkait pengiriman sampel uji usap, mereka hanya bisa menerima sampel terakhir pada 30 Oktober 2020.
Pemeriksaan langsung di GOR ini merupakan program terencana oleh dinas kesehatan. Contohnya pemeriksaan untuk guru-guru sekolah dasar negeri dan sekolah menengah pertama negeri dalam rangka menyiapkan pembelajaran tatap muka. Pemerintah Kabupaten Sidoarjo menargetkan pemeriksaan terhadap 1.500 guru.
”Namun, program pemeriksaan guru ini terhambat karena sudah 10 hari laboratorium tidak beroperasi. Selain pemeriksaan guru, dinas kesehatan juga memprogramkan pemeriksaan Covid-19 untuk ibu hamil,” kata Syaf.
Syaf menambahkan, keunggulan dari pemeriksaan uji usap di laboratorium PCR BNPB adalah hasilnya bisa diketahui secara cepat. Hasil pemeriksaan itu paling lama dua hari. Kondisi itu berbeda apabila dinas kesehatan harus mengirimkan spesimen ke RSUD dr Soetomo, Surabaya. Butuh waktu sampai tujuh hari untuk mengetahui hasilnya.
Keterlambatan hasil pemeriksaan uji usap menghambat upaya penelusuran terhadap kontak erat pasien terkonfirmasi positif. Akibatnya, saat ditemukan, kondisi kontak erat tersebut sudah parah atau bahkan sudah menyebarkan virus korona galur baru penyebab Covid-19 lebih luas lagi.
Keterlambatan untuk mengetahui hasil pemeriksaan uji usap juga berdampak pada perawatan pasien. Pasien yang mendapat perawatan sejak dini peluang sembuhnya jauh lebih besar. Tingkat kesembuhan yang tinggi menjadi salah satu indikator keberhasilan penanganan Covid-19 di suatu daerah.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Sidoarjo, jumlah akumulasi kasus terkonfirmasi positif sampai Selasa ini sebanyak 7.327 orang dengan rincian, antara lain, 6.720 orang di antaranya sembuh dan 474 orang meninggal. Akumulasi jumlah kasus tersebut menempatkan Sidoarjo sebagai daerah nomor dua tertinggi setelah Surabaya.
Namun, kerja keras berbagai pihak, terutama meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap Covid-19, menjadi kunci sukses mengendalikan sebaran penyakit. Salah satu indikasinya, risiko sebaran menurun yang ditandai dengan perubahan zonasi dari zona merah menjadi zona oranye.
Penjabat Bupati Sidoarjo Hudiyono menambahkan, selain strategi optimalisasi pengetesan massal, pelacakan kontak erat, dan perawatan pasien, pihaknya juga meningkatkan pendisiplinan penerapan protokol kesehatan. Setiap hari penegakan hukum dilakukan terhadap para pelanggar protokol kesehatan.
Sebagai gambaran, sebanyak 1.056 pelanggar protokol kesehatan menjalani sidang tindak pidana ringan di GOR Sidoarjo, Kamis (5/11/2020). Jumlah tersebut merupakan hasil razia protokol kesehatan selama dua pekan. Angka tersebut masih tinggi meski dibandingkan dengan hasil razia pekan sebelumnya ada penurunan sebanyak 300 orang.