Kapal Ikan Filipina Tanpa Awak Ditemukan di Perairan Talaud
Sebuah kapal ikan dari Filipina ditemukan terombang-ambing tanpa awak di perairan Kepulauan Talaud. Dua dari sembilan awak kapal jenis ”pump boat” itu dinyatakan hilang.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Sebuah kapal ikan dari Filipina ditemukan terombang-ambing tanpa awak di perairan Kecamatan Beo Utara, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, setelah mengalami kecelakaan akibat badai. Tujuh awak kapal dilaporkan selamat dan telah berada di Filipina, sedangkan dua lainnya masih hilang.
Penemuan kapal ikan asing ini diumumkan Pangkalan TNI AL (Lanal) Melonguane, Selasa (10/11/2020), setelah mendapat laporan dari warga Kampung Bahunian, Kelurahan Makatara, Beo Utara, sehari sebelumnya. Kapal nyaris tenggelam ketika ditemukan. Warga dan aparat pun menariknya dan mengandaskannya di pantai kampung.
Kapal ikan asing sederhana jenis pump boat bernama Temple of the Sea itu terbuat dari kayu dengan ukuran diperkirakan 1-5 gros ton (GT). Kapal itu bercat biru, merah, dan putih dengan tulisan ”Gov. Generoso” di lambungnya, mengindikasikan Governor Generoso, nama sebuah kota di Provinsi Davao Timur, Filipina.
Tiga tiang kapal menjadi poros ikatan bagi tali-tali yang terhubung pada cadik di kedua sisi kapal. Terdapat sebuah ruang kemudi motor di bagian tengah. Di haluan, ditemukan dua kotak pendingin ikan (cool box). Petugas Pos AL Talaud juga menemukan 10 potong pakaian, sebuah pelampung, dan sebuah batang kemudi.
Komandan Lanal Melonguane Letnan Kolonel Marinir Adi Sucipto mengatakan, kapal diduga mengalami kecelakaan akibat cuaca ekstrem, dilihat dari kondisinya saat ditemukan. ”Kemungkinan kecelakaan saat melakukan aktivitas illegal fishing (perikanan ilegal) di perairan Indonesia,” ujarnya.
Lanal Melonguane telah berkoordinasi dengan Indonesian Liaison Officer TNI di Davao, Filipina. Menurut alasan pemerintah setempat, kata Adi, kapal itu diterjang badai dan kehabisan bahan bakar saat melaut di perairan Filipina. Sembilan awak kapal loncat ke laut untuk menyelamatkan diri.
Akibatnya, tujuh orang selamat dan sudah berada di Filipina, sedangkan dua orang lainnya masih hilang. Adi mengatakan, Lanal Melonguane tidak akan melaksanakan pencarian dua awak kapal yang hilang karena tidak diminta pemerintah Filipina.
Saya mengimbau masyarakat setempat melapor jika menemukan warga negara Filipina yang mungkin adalah ABK kapal ikan itu.
”Kami tinggal menunggu apa yang harus dilakukan terhadap kapal ini. Saya mengimbau masyarakat setempat melapor jika menemukan warga negara Filipina yang mungkin adalah ABK kapal ikan itu,” ujar Adi.
Penemuan kapal ini adalah yang pertama kali sejak Adi ditetapkan menjabat Komandan Lanal Melonguane pada awal tahun. Belum pernah ada laporan penangkapan ikan secara ilegal oleh pelaut Filipina. Hal ini diduga karena penutupan pusat pelintasan batas di Pulau Miangas sejak pandemi Covid-19 merebak hingga September 2021.
Untuk mengantisipasi ancaman kriminalitas di laut, Lanal Melonguane menggelar patroli rutin yang diperkuat dengan kapal angkatan laut, kapal patroli keamanan laut, dan sea rider. Koordinasi antarpos AL dan instansi lain, seperti Polri dan pemerintah kabupaten, juga dipertahankan.
”Kami juga minta tolong kepada masyarakat setempat, siapa tahu mereka ada yang lihat kapal atau perahu ikan asing. Perbedaan cirinya gampang sekali diidentifikasi,” kata Adi.
Sementara itu, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia M Abdi Suhufan mengatakan, penangkapan ikan secara ilegal di wilayah timur Indonesia terjadi di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 716 di Laut Sulawesi dan WPP 717 di Samudra Pasifik. Pelaku yang paling sering ditemukan adalah nelayan Filipina.
Namun, frekuensi pencurian ikan terbilang kecil. Berdasarkan catatan DFW Indonesia, sepanjang paruh pertama 2020, hanya ada tiga kasus pencurian ikan oleh nelayan asing. Pada awal Oktober, dua KIA Filipina juga ditangkap di WPP 717. Dua kapal tersebut berukuran masing-masing 105,9 GT dan 20,62 GT.
WPP 716 di utara Sulut lebih banyak didatangi perahu-perahu nelayan tradisional asal Filipina atau kapal perikanan skala kecil ukuran 1-30 GT. ”Ini karena masih ada hubungan kekerabatan antara warga Kepulauan Sangihe dan Talaud dengan Filipina. Mereka masih sering bertemu sehingga risiko illegal fishing lebih besar,” kata Abdi.
Namun, kata Abdi, Pemerintah Indonesia kekurangan armada untuk mencegah penangkapan ikan secara ilegal. Padahal, potensi perikanan dan kelautan di WPP 716 dan 717 terbilang besar, masing-masing 597.139 ton dan 1.054.695 ton pada 2017.
Sebelumnya, Direktur Pemantauan dan Operasi Armada Kementerian Kelautan dan Perikanan Pung Nugroho Saksono mengatakan, potensi besar ini belum seiring dengan kapasitas pemerintah untuk mengamankan WPP. Dari wilayah Aceh sampai Papua, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP hanya memiliki 28 kapal pengawas.
Di Pangkalan PSDKP Bitung, yang pengawasannya mencakup wilayah timur Indonesia, hanya ada empat kapal patroli. Padahal, WPP 716 dan 717 di utara Sulawesi, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua sangat luas dengan laut terbuka sehingga sulit diatasi.
”Idealnya, kita punya minimal 70 kapal dari Aceh sampai Papua. Tahun depan, kami akan mengadakan satu atau dua kapal lagi untuk memperkuat armada kami,” kata Pung.