Harga Kelapa di Sumsel Membaik, Saatnya Perkuat Hilirisasi Produk
Dalam dua bulan terakhir, harga kelapa bulat di Sumatera Selatan berada posisi cukup baik, yakni berkisar Rp 2.500-Rp 2.800 per butir. Kenaikan harga ini terjadi seiring peningkatan permintaan.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Dalam dua bulan terakhir, harga kelapa bulat di Sumatera Selatan, berkisar Rp 2.500-Rp 2.800 per butir. Harga tinggi ini dipengaruhi kenaikan permintaan domestik maupun ekspor. Peningkatan harga ini saatnya dibarengi upaya mendorong hilirisasi kelapa agar petani mendapatkan nilai tambah yang lebih.
Wakil Ketua Dewan Pengurus Nasional (DPN) Perhimpunan Petani Kelapa Indonesia (Perpekindo) Muhammad Asri, Selasa (10/11/2020), di Palembang, menuturkan, saat ini petani di Sumsel sedang memperoleh harga yang cukup baik saat kelapa dihargai Rp 2.500-Rp 2.800 per butir. Peningkatan ini terjadi lantaran lonjakan permintaan kelapa di pasar ekspor.
”Saat ini di beberapa negara sedang memasuki musim dingin. Kelapa berupa santan dan minyak kelapa dibutuhkan untuk penghangat tubuh,” kata Asri. Permintaan kelapa tertinggi bersal dari China, Thailand, dan Vietnam.
Asri mengemukakan, kini, harga kelapa di tingkat petani sudah melebihi angka psikologis yakni sekitar Rp 2.500 per butir. ”Dengan harga saat ini, petani sudah bisa menghidupi dirinya sendiri,” ujarnya.
Hal ini jauh lebih baik dibandingkan dengan harga pada 2018 saat pernah menyentuh Rp 500-Rp 700 per butir. Dengan harga itu, petani hanya cukup untuk membiayai perawatan kebun saja.
Namun, yang terpenting saat ini, menurut Asri, adalah meningkatkan penyerapan permintaan dalam negeri agar petani tidak terlalu bergantung pada pasar luar negeri. Saat ini sekitar 40 persen dari total produksi kelapa di Indonesia sebesar 3 juta ton kelapa per tahun diserap pasar ekspor dalam bentuk kelapa bulat. Adapun 30 persen diserap industri untuk kemudian diolah dan diekspor, sedangkan 30 persen sisanya diserap untuk kebutuhan masyarakat.
Saat ini, petani juga lebih suka mengekspor kelapa bulat tanpa mengolahnya terlebih dahulu sehingga nilai tambah yang diperoleh pun tak optimal. Padahal, dengan memproduksi produk turunan kelapa, seperti minyak kelapa, arang, atau sabut kelapa, pendapatan yang diperoleh petani akan jauh lebih besar.
Petani juga lebih suka mengekspor kelapa bulat tanpa mengolahnya terlebih dahulu sehingga nilai tambah yang diperoleh pun tak optimal.
Namun, menurut Asri, petani di Sumsel sudah mulai melakukan sistem tumpang sari untuk mendapatkan hasil komoditas sampingan selain kelapa. Beberapa tanaman yang ditanam sebagai tanaman sela, yakni kakao dan pinang. ”Ini menjadi sumber penghasilan sampingan sembari menunggu kelapa panen,” kata Asri.
Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Dinas Perkebunan Sumatera Selatan Rudi Arpian mengungkapkan, saat ini pemerintah terus mendorong dibentuknya Unit Pemasaran dan Pengolahan Kelapa (UPPK). Hal ini bertujuan memangkas rantai distribusi antara petani dan eksportir. ”Dengan begitu, harga kelapa di tingkat petani bisa lebih baik. Setidaknya bisa ada selisih Rp 200 per butir dibandingkan dengan petani menjual produknya kepada tengkulak,” ucapnya.
Di sisi lain, ungkap Rudi, UPPK juga diharapkan melatih petani untuk mengolah kelapa ke sejumlah produk turunan agar tidak hanya menjual dalam bentuk kelapa bulat. Kini, pihaknya sedang berusaha mengusulkan agar dibuat payung hukum oleh Kementerian Pertanian agar UPPK dapat segera dibentuk di sentra produksi kelapa di Sumsel.
”Nantinya, Kabupaten Banyuasin akan menjadi daerah percontohan pembentukan UPPK sehingga bisa menjadi stimulan bagi daerah lain membentuk hal serupa,” kata Rudi.
Munadjiah, anggota pakar Dewan Koperasi Indonesia, berpendapat, tidak sulit untuk membina petani untuk berkelompok. ”Mereka pasti akan senang jika itu berdampak pada meningkatnya pendapatan mereka,” katanya.
Munadjiah, misalnya, telah merangkul sekitar 800 petani kelapa di Desa Muara Sungsang dan Desa Makarti Jaya, Kabupaten Banyuasin. Mereka sudah dilatih untuk membuat virgin coconut oil (minyak kelapa murni) yang nantinya akan digunakan untuk pasar ekspor. ”Saat ini, kami sedang mencari eksportir untuk memasarkan produk yang kami hasilkan, negara yang sedang kami sasar adalah Jepang,” ungkap Munadjiah.
Hal serupa dilakukan oleh sekelompok anak muda yang telah memproduksi produk turunan kelapa seperti minyak kelapa murni, arang, nata de coco, susu kelapa, air kelapa, dan asap cair kelapa dengan merek Kulaku. ”Saat ini, kami sedang mencoba beberapa produk turunan kelapa lain dan secara bertahap akan memasuki pasar ekspor,” ucap Chief Executive Officer Kulaku Mustopa Patapa.
Mustopa, yang merupakan anak dari petani kelapa di Banyuasin, mengatakan, sangat disayangkan jika kelapa hanya dijual dalam bentuk kelapa bulat. ”Ada 1.000 produk turunan yang dapat dihasilkan dari sebutir kelapa,” ucapnya.
Saat ini, beberapa produk turunan itu sudah dipasarkan ke beberapa daerah di Indonesia, seperti DKI Jakarta, Tangerang, dan Yogyakarta. Tahun depan, produk Kulaku diharapkan dapat merambah ke pasar internasional, seperti Malaysia Myanmar, dan Brasil.
”Saat ini, kami baru merangkul 10 petani dengan mengolah 30.000 butir kelapa per bulan di Kabupaten Banyuasin. Semoga dengan berkembangnya pasar, akan lebih banyak lagi petani yang dilibatkan,” ungkap Mustopa. Dia pun berencana membangun tempat pengolahan terpusat di Banyuasin dengan melibatkan akademisi dari Universitas Sriwijaya dan Institut Teknologi Bandung.