Curah Hujan Tinggi, Pergerakan Tanah di Jawa Barat Berpotensi Meningkat
Peningkatan curah hujan akibat fenomena La Nina memicu terjadinya gerakan tanah di beberapa wilayah Jawa Barat. Penguatan peringatan dini dan kesiapsiagaan warga sangat dibutuhkan untuk mitigasi sejak awal.
Oleh
MELATI MEWANGI
·3 menit baca
PURWAKARTA, KOMPAS — Peningkatan curah hujan akibat La Nina memicu terjadinya gerakan tanah di beberapa wilayah Jawa Barat. Penguatan upaya peringatan dini dan kesiapsiagaan warga sangat dibutuhkan sejak dini.
Anomali iklim kategori La Nina di Samudra Pasifik telah dipantau Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sejak awal Oktober 2020. Hal ini berdampak pada peningkatan curah hujan di Indonesia hingga 40 persen di atas normal. Diskusi kesiapsiagaan menghadapi La Nina, dampak, dan potensi ancaman bencana gerakan tanah dan banjir bandang ini dibahas dalam webinar daring oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Selasa (10/11/2020).
Pelaksana Tugas Kepala Subbidang Mitigasi Gerakan Tanah Wilayah Timur PVMBG Yunara Dasa Triana mengatakan, La Nina berdampak terhadap bencana hidrometeorologi di beberapa daerah di Indonesia. Di Jawa Barat, curah hujan yang tinggi menyebabkan banyak daerah mengalami bencana gerakan tanah dengan tipe cepat sehingga dibutuhkan pemantauan dan pencatatan curah hujan berkala.
Beberapa daerah rawan di Jabar yang pernah mengalami gerakan tanah, antara lain Kabupaten Bogor, Kuningan, Tasikmalaya, dan Kabupaten Garut. Mayoritas daerah ini berada di zona risiko bencana menengah hingga tinggi. Tak sedikit kasus gerakan tanah yang menimbulkan banjir bandang dan longsor.
Daerah perbukitan perlu memperhatikan sistem aliran sungai agar bisa digunakan sebagai jalan mengalirnya bahan rombakan. Kerap kali, material rombakan dari atas menggerus sungai dan meluap sehingga membuat kerusakan di hilir kian besar.
Yunara menambahkan, gerakan tanah dipicu beberapa faktor lain, yakni pengontrol (kondisi litologi, morfologi, keairan, tektonisme, serta vulkanisme) dan pemicu (curah hujan serta aktivitas manusia/tata guna lahan).
Peningkatan curah hujan juga dapat memengaruhi kondisi geologis sehingga menyebabkan pelunakan lapisan, tekanan air pori, bidang gelincir, dan erosi. Aktivitas manusia juga berpengaruh terhadap penataan drainase dan vegetasi.
Oleh karena itu, dia mengatakan, masyarakat di sekitar rawan ini perlu meningkatkan kesiapsiagaan. Sosialisasi yang memadukan data zona kerentanan dan karakter pergerakan tanah menjadi bekal penting bagi mereka.
Yunara mencontohkan, warga bersama petugas bisa mencatat rutin jumlah curah hujan di lokasi setempat (pencatat curah hujan). Kemudian, data tersebut menjadi bahan pembanding dengan data sebelumnya terkait ambang batas (threshold) curah hujan dari BMKG. Perbandingan data terkini dan kejadian sebelumnya bisa menjadi informasi awal untuk peringatan dini.
Kepala Subdirektorat Integrasi dan Pengolahan Pemantauan Direktorat Peringatan Dini Badan Nasional Penanggulangan Bencana Linda Lestari mengatakan, penguatan sistem peringatan dini merupakan salah satu upaya menghadapi La Nina. Sekitar 95 persen bencana di Indonesia didominasi bencana hidrometeorologi. Pada peringkat atas adalah banjir, tanah longsor, dan puting beliung.
”Masyarakat berisiko kehilangan nyawa dan harta benda, maka perkuat rantai peringatan dini dan fokus pada kesiapsiagaan,” kata dia.
Komponen sistem peringatan dini meliputi pemahaman risiko bencana, pemantauan dan analisis data, diseminasi informasi, dan penguatan respons masyarakat. Pada penguatan respons masyarakat, BNPB membentuk desa tangguh bencana, keluarga tangguh bencana, membangun sistem peringatan dini berbasis komunitas, dan melakukan latihan evakuasi diri secara rutin.
Banjir juga kerap terjadi di bagian tengah dan hilir Sungai Citarum, yakni Bandung, Bekasi, dan Karawang. Sungai yang melintasi 12 kabupaten dan kota di Jabar ini mendapatkan perhatian khusus melalui program Citarum Harum.
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Citarum Anang Muchlis menambahkan, pihaknya mengantisipasi banjir yang terjadi di daerah aliran sungai dengan beberapa cara, antara lain simulasi, normalisasi, peralatan pendukung bahan banjiran, dan pembangunan sejumlah infrastruktur.
Penurunan kondisi genangan banjir pada hasil kasus simulasi tahun 2010 dan 2019 sekitar 1.200 hektar. ”Sebagian besar daerah genangan berupa sawah. Apabila berubah fungsi menjadi permukiman, daerah banjir akan bertambah,” kata Anang.