Kekurangan air bersih dialami penyintas gempa yang telah menghuni hunian tetap di Kota Palu, Sulteng.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·4 menit baca
PALU, KOMPAS - Tak lancarnya pasokan air bersih dialami harian para penyintas gempa yang telah menempati hunian tetap di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Pemerintah berjanji segera menyelesaikan masalah tersebut. Perampungan pembangunan hunian tetap untuk penyintas bencana masih menjadi pekerjaan besar pemerintah.
Sekitar 1.300 penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi telah menempati hunian tetap (huntap) di Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore. Huntap tersebut mulai ditempati secara bertahap pada pertengahan Mei 2020. Total huntap yang telah dibangun di daerah itu sebanyak 1.500 unit. Penyintas lainnya masih menunggu undian untuk menempati huntap. Huntap tersebut dibangun pemerintah bekerja sama dengan Yayasan Buddha Tzu Chi.
Husain (36), penghuni huntap, Selasa (10/11/2020), menyatakan air menjadi masalah utama selama empat bulan ia menempati huntap. “Kadang dua hari baru airnya keluar. Ada kalanya empat hari baru ada,” ujar Husain.
Untuk menanggulangi masalah itu, penyintas likuefaksi di Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, itu membeli tangki agar bisa menampung air. Selain untuk menampung air saat mengalir, tangki itu juga untuk menampung air dari mobil tangki yang dibeli Rp 40.000 sekali pengisian saat air tak ada sama sekali.
Ia berharap pemerintah segera mengatasi masalah kekurangan air tersebut. “Bayangan saya dulu, ya, di huntap ini tak ada lagi masalah penting ini. Ternyata tidak juga. Kami meminta masalah ini diselesaikan segera agar kami fokus untuk membangun kehidupan ekonomi yang lebih baik,” kata pria tiga anak yang sehari-hari bekerja sebagai tukang bangunan itu.
Berdasarkan pantauan Kompas,hampir di semua rumah yang sudah ditempati ada tangki air berbahan fiber. Tangki ditempatkan di samping huntap dan halaman depan. Bahkan, ada yang memiliki dua tangki. Sejumlah keran di blok huntap yang berbeda memang tak keluar airnya ketika dibuka.
Marwan P Angku (46), penghuni huntap lainnya, menyatakan air memang tak jalan setiap saat. Di kompleksnya, dalam sehari, air hanya keluar paling lama 4 jam. Siasatnya menyiapkan penampung (tangki). Bahkan, ada yang menggali untuk menampung air di dalam tanah.
Ini bagian dari kewajiban kami untuk melakukan sinkronisasi dengan lembaga atau pemangku kepentingan lain.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo, yang bersama sejumlah pejabat meninjau huntap Tondo, Selasa (10/11), mengakui masalah kekurangan air tersebut. “Ini bagian dari kewajiban kami untuk melakukan sinkronisasi dengan lembaga atau pemangku kepentingan lain,” katanya.
Air di huntap disediakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Balai Prasarana Permukiman Wilayah Sulteng. Kepala Balai Prasarana Permukiman Wilayah Sulteng Ferdinan Kana Lo beberapa waktu lalu menyatakan, untuk sementara kebutuhan air di huntap Tondo dipasok dari jaringan PDAM sekitar. Pasokan ditambah dengan penyediaan sumur suntik. Penyediaan air bersih secara permanen masih dikerjakan.
Secara umum, Doni menilai huntap yang dilengkapi dengan sarana pendidikan dan sarana sosial di Tondo tersebut bagus. Huntap dibangun dengan model rumah tumbuh. Penyintas bisa menambah ruang lainnya karena lahan yang tersedia masih memungkinkan.
Luas bangunan huntap 36 meter persegi atau tipe 36 yang dibangun di lahan seluas 150 meter persegi. Huntap terdiri dari dua kamar, satu kamar keluarga yang digabung dengan ruang tamu, satu kamar kecil, dan dapur di bagian belakang. Setiap rumah memiliki halaman depan dan belakang serta masih tersisa lahan di samping rumah.
Secara keseluruhan, Sulteng membutuhkan 11.800 huntap yang dibangun di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala, dan Parigi Moutong. Tiga daerah itu terdampak gempa, tsunami, dan likuefaksi pada 28 September 2018. Saat ini telah terbangun sekitar 2.500 huntap di Palu dan Sigi.
Huntap dibangun untuk penyintas yang rumah lamanya terdampak parah bencana, seperti sekitar garis sesar Palu Koro (pemicu gempa), bekas landaan tsunami, dan bekas likuefaksi. Titik tersebut ditetapkan zona merah yang terlarang untuk pembangunan hunian baru. Huntap itu bagian dari relokasi para penyintas untuk mengurangi risiko bencana serupa di kemudian hari.
Wakil Gubernur Sulteng Rusli Baco Daeng Palabbi menyatakan, berdasarkan koordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan untuk rekonstruksi dan rehabilitasi pascabencana, pihaknya akan menyurati Presiden Joko Widodo agar memperpanjang masa pemulihan tersebut. Hal ini terutama terkait dengan percepatan pembangunan huntap.
Presiden Jokowi menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 10 tahun 2018 yang mengatur percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana Sulteng dan daerah lainnya. Dalam inpres tersebut ditetapkan proses tersebut berakhir pada 31 Desember 2020, termasuk pembangunan hunian tetap. Namun, faktanya, baru sebagian kecil huntap yang terbangun dan ditempati.
Doni menyatakan, penyediaan lahan menjadi salah satu kendala dalam penyediaan huntap. Ia memastikan masalah tersebut sedang ditangani oleh instansi terkait. “Semoga masalah itu selesai dalam waktu dekat,” katanya.
Pengadaan lahan untuk huntap di Kota Palu pada umumnya bermasalah. Di Tondo, yang telah dibangun huntap, pada awalnya juga bermasalah karena adanya klaim warga. Yang masih diselesaikan saat ini yakni lahan huntap di Kelurahan Talise Valangguni. Pembersihan lahan beberapa kali dihentikan karena adanya klaim warga atas lahan tersebut.