Traged tsunami Aceh 2004 merenggut orang tua dan tiga adik Azwir Nazar. Namun hidup harus terus berjalan dan ia membuktikan bisa bangkit kembali bahkan melanjutkan studi S3 di Turki. Kini Azwir pulang untuk berbagi ilmu.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
Bencana gempa dan tsunami 2004 menjadi masa paling berat dalam hidup Azwir Nazar (37). Orang tua dan tiga saudara kandung menjadi korban yang hingga kini tak ditemukan jasadnya. Dia menyadari apa pun bisa hilang dalam sekejap. Hanya kebaikan yang abadi.
Suara anak-anak melantunkan ayat-ayat Alquran dari sebuah balai di Desa Lambada Lhok, Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar, terdengar hingga ke jalan desa. Mereka terlihat antusias mengikuti setiap bacaan yang diajarkan oleh guru pengajian, Azwir Nazar.
“Ingat ya, bacaan qa dalam kerongkongan, sedangkan ka bunyinya datar,” kata Azwir, Rabu (14/9/2020).
Hari itu sekitar 30 orang anak ikut pengajian. Mereka belajar mengenal huruf hijaiyah, membaca Alquran, baca buku, hingga kesenian daerah. Pengajian baru selesai saat sebagian matahari ditelan laut. Desa Lambada Lhok berada dekat pantai, di tepi jalan nasional Banda Aceh – Krueng Raya. Saban sore anak-anak di desa tersebut dan sekitarnya belajar bersama di balai itu.
Saya ingin mereka berani bermimpi dan punya keinginan kuat untuk belajar. Sebab, pendidikan gerbang keluar dari kemiskinan.
Balai pengajian itu diberi nama Balai Edukasi dan Taman Baca Cahaya Aceh. Pendirinya adalah Azwir Nazar, mantan presiden Persatuan Pelajar Indonesia Turki periode 2016-2017. Meski kakinya telah melangkah hingga ke Turki, Azwir selalu menyimpan kerinduan pada kampung halaman, pada tanah kelahiran.
Pada 2017, di tengah perkuliahan di Turki, sesekali dia pulang ke Aceh. Azwir melihat kondisi anak-anak di desanya kekurangan motivasi untuk belajar. Sebagian besar warga di Desa Lambada Lhok adalah nelayan dengan kelas ekonomi menengah ke bawah. Hanya beberapa saja yang mampu membiayai anak-anak ikut belajar privat.
Dari sana Azwir berpikir ilmu yang dia peroleh sejak di Pesantren Darul Ulum Banda Aceh, S1 di Universitas Islam Negeri Ar Raniry, S2 di Universitas Indonesia, dan S3 yang masih dijalani di Turki harus ditebar kepada anak-anak di desanya. “Saya ingin mereka berani bermimpi dan punya keinginan kuat untuk belajar. Sebab, pendidikan gerbang keluar dari kemiskinan,” ujar Azwir.
Bangun balai
Azwir berpikir untuk membangun balai edukasi dan taman baca. Aktivitas di balai bukan hanya belajar ilmu agama, tetapi juga memiliki kelas kelas peminatan seperti bahasa Arab, Inggris, dan Turki. Ada pula kelas melukis, menari, memanah, dan literasi. Azwir bersama para relawan muda mengajar anak-anak di sana secara gratis.
Sebagai mahasiswa yang punya jaringan internasional tidak sukar bagi Azwir untuk mendapatkan dukungan. Banyak kawannya di dalam dan luar negeri mendonasi buku bacaan, Al-Quran, mukena, maupun menjadi pengajar secara sukarela.
Sebuah balai berkontruksi kayu ukuran 10 meter kali 6 meter dibangun di atas sepetak tanah warisan orangtua di Lambada Lhok. Di balai itulah Azwir mengajarkan anak-anak. Jumlah anak yang mengaji di Cahaya Aceh mencapai 100 orang dan Azwir dibantu oleh 40 relawan yang masuk secara bergantian dan sudah berlangsung selama 3 tahun ini.
Di bawah balai terdapat perpustakaan berisi buku-buku sumbangan dari donatur. Pada akhir pekan anak-anak diajarkan seni budaya. Pada akhir tahun diadakan malam apresiasi. Anak didik berlomba menampilkan kemampuan pidato, baca puisi, hingga tari daerah.
“Saya bahagia, mereka kini sudah berani tampil. Orangtua mereka sangat mendukung balai ini,” kata Azwir. Sepekan sekali dia juga menggelar pengajian untuk orang dewasa.
Azwir menjelaskan mengapa harus bangun balai. Di dalam kebudayaan warga Aceh balai adalah tempat melakukan segala hal seperti mengaji, ibadah, musyawarah, kenduri, hingga tempat anak-anak bermain. Balai adalah bangunan multifungsi tanpa sekat. “Dulu para ulama di Aceh semua punya balai, tempat mereka menyebar ilmu,” kata Azwir.
Tanah tempat balai itu berdiri adalah bekas rumah orangtuanya. Saat tsunami 2004, rumah itu lenyap disapu gelombang laut. Orang tua dan tiga adiknya meninggal dalam musibah tsunami. Hanya Azwir dan adiknya yang bungsu selamat.
Dulu para ulama di Aceh semua punya balai, tempat mereka menyebar ilmu.
Azwir sangat terpukul, namun hidup harus tetap berjalan. Azwir bangkit dan bertekad melanjutkan pendidikan setinggi mungkin. Dalam perjalanannya, Azwir kemudian mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah S3 di Hacettepe University, Ankara.
Kini, dari balai yang sederhana di kampung, Azwir punya cita cita mengembangkan sekolah karakter untuk masyarakat pesisir dan nelayan. Kemiskinan tidak boleh meruntuhkan semangat anak-anak nelayan untuk meraih cita-cita. Azwir telah membuktikan dirinya sebagai anak kampung yang bisa kuliah hingga ke Turki.
Studi S3 itu masih ia selesaikan, tetapi ia belum bisa kembali ke Turki karena pandemi Covid-19. Kini, sembari mengajar anak-anak di balai Cahaya Aceh, Azwir mengelola travel membawa wisatawan dari Turki ke Aceh.
Azwir punya impian besar menjadikan Cahaya Aceh sebagai tempat anak-anak pesisir membangun potensi diri sehingga kehidupan mereka jauh lebih baik. Cahaya Aceh membuka pintu bagi para donatur yang ingin berbagi dengan anak-anak nelayan. Aktivitas belajar-mengajar dibiayai sumbangan donatur dan tabungan sendiri. "Kami kekurangan buku bacaan yang bagus. Buku yang ada saat ini tidak sesuai dengan usia anak-anak," kata Azwir.
Azwir Nazar
Lahir : Aceh Besar, 4 Januari 1983
Nama istri : Makhfira Nuryanti
Aktivitas :
Mahasiswa S3 Hacettepe University, Ankara, Turki
Direktur Yayasan Cahaya AcehAlamat : Desa Lambada Lhok, Kec Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar