Ketika Komisioner KPU Sulut Marah-marah di Bandara
Seorang pria hampir terlibat perkelahian dengan petugas bandara ketika mengantre di depan terminal keberangkatan Bandara Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara. Ia memprotes longgarnya penerapan protokol kesehatan.
”Nyanda (tidak) sesuai protokol Covid ini!” teriak seorang pria di ekor antrean panjang. Ia mengenakan topi flat cap, kacamata, dan masker bedah hingga wajahnya tak terlihat jelas. Pria itu berseru lagi, ”Antrean berdempetan! Bagaimana kalau penumpang kena Covid? Pihak bandara mau tanggung jawab?”
Suara pria itu memecah suasana muram dan cemas yang melingkupi ratusan manusia yang mengantre pagi itu, Selasa (27/10/2020) pukul 06.45 Wita, di depan terminal keberangkatan Bandara Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara. ”Kami ini jadi korban! Bagaimana pertanggungjawaban bandara?” Ia berteriak, mengundang lebih banyak kepala menoleh.
Seorang petugas bandara yang mengenakan tanda pengenal berkalung rantai tetapi tak berseragam, dengan lengan baju melingkar ketat di ototnya, naik pitam. Sedari tadi ia sibuk mencari penumpang pesawat yang jadwal keberangkatannya sudah dekat. ”Sini kamu! Sini!” serunya sambil mengisyaratkan tantangan dengan lambaian tangan.
Sontak pria itu buru-buru menyibak barisan manusia, merunduk melewati garis pembatas antrean untuk menghampiri petugas itu. Seorang rekan perjalanannya menahan dari belakang, menarik ransel besar di punggung sambil meredakan bara amarahnya. ”Pak, sudah Pak! Sudah!”
Bujukan tak mempan. ”Dari mana kamu? Hah?!” pria itu berseru lagi, menudingkan jarinya sambil terus berupaya melepaskan diri. Petugas bandara itu meraih kartu nama yang menggantung di dadanya lalu mengacungkannya pada sang pria. Matanya melotot seperti penari Kabasaran. Rupanya dari salah satu markas komando militer.
Sebelum perkelahian pecah, petugas bandara lain, kali ini berseragam, muncul sebagai mediator. Pria yang mengeluhkan protokol kesehatan itu ditenangkan, diminta menunjukkan bukti non-reaktif tes cepat atau negatif tes usap Covid-19 kepada petugas Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Manado, lalu masuk ke terminal tanpa antre.
Situasi mereda. Perhatian calon penumpang kembali tertuju pada petugas KKP Manado yang memeriksa satu per satu lembar bukti bebas Covid-19 milik calon penumpang pesawat. Pemegang tiket penerbangan paling awal hari itu jadi yang paling cemas karena harus naik ke pesawat antara pukul 07.00-07.30 Wita.
Masalahnya, antrean pagi itu panjang mengular. Calon penumpang membeludak karena keesokan harinya adalah pelaksanaan cuti bersama hingga akhir pekan. Walhasil, butuh sekitar 30-40 menit untuk sampai di loket tempat para petugas dari ekor antrean.
Covid-19, yang per Jumat (6/11/2020) sudah menjangkit 425.796 orang di Indonesia, 5.527 di antaranya di Sulut, telah menambah prasyarat menumpang pesawat. Para pemegang tiket harus terbukti tidak mengidap Covid-19 dengan hasil tes cepat atau usap, serta mengisi kartu kewaspadaan perjalanan elektronik (e-HAC) sebelum menuju konter check in.
Di tengah kerumunan yang cemas itu, garis-garis penanda di lantai untuk membantu saling menjaga jarak setidaknya satu langkah tak lagi dihiraukan. Orang yang tak saling kenal berdempetan, sedangkan yang saling kenal bergerombol. Sebagian tak mengenakan maskernya dengan baik. Calon penumpang tidak saling mengingatkan. Ketinggalan pesawat lebih mengkhawatirkan.
Komisioner KPU
Identitas pria yang menyerukan buruknya protokol kesehatan itu terungkap di lorong menuju garbarata. Ia adalah Salman Saelangi, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulut Divisi Sosialisasi, Partisipasi Masyarakat, dan Sumber Daya Manusia. Ia hendak menumpang pesawat ke Surabaya via Makassar.
”Coba tulis itu di berita, bandara tidak menerapkan protokol kesehatan. Apa (PT) Angkasa Pura (I) mau tanggung jawab kalau ada yang kena Covid-19? Kami sebagai penyelenggara (pemilu) jadi kesusahan juga,” katanya.
Baca juga: Tangkal Covid-19, Sulawesi Utara Terus Dorong Perubahan Perilaku Warga
Salman tak ingin dirinya atau empat komisioner KPU Sulut lainnya terinfeksi virus korona baru menjelang Pilkada 2020, yang kini tinggal sebulan lagi. Sebelumnya, komisioner KPU pusat dan beberapa daerah lain terbukti terkena Covid-19 pasca-perjalanan dinas, seperti ketua dan anggota KPU Arief Budiman dan Pramono Ubaid Tanthowi setelah perjalanan ke Makassar.
Ketua dan anggota KPU Sulawesi Selatan, Faisal Amir dan Misna Attas, juga positif Covid-19 setelah bertemu Arief, begitu pula komisioner KPU Makassar M Farid Wajdi dan Endang Sari. Anggota KPU Kepulauan Riau Priyo Handoko juga positif Covid-19 setelah perjalanan dinas ke Jakarta, lalu diduga menularkannya kepada dua komisioner lainnya.
Communication and Legal Manager PT Angkasa Pura I Bandara Sam Ratulangi Rendy Anindito Permana, Kamis (5/11), mengatakan, kemarahan Salman sudah ia dengar. Menurut dia, pengelola bandara berkomitmen menegakkan disiplin protokol kesehatan dengan memasang rambu-rambu di bandara serta mengumumkan imbauan.
Namun, kesadaran para penumpang pesawat untuk menerapkan protokol kesehatan tetap memainkan peran penting. ”Ketaatan pasti terjamin jika penumpang sudah beradaptasi dengan kebiasaan baru mengenakan masker, menjaga jarak, dan rajin mencuci tangan dalam situasi apa pun setiap hari,” kata Rendy.
Lalu, apakah KPU Sulut bisa menjamin tidak akan ada yang lantang memprotes lemahnya penerapan protokol kesehatan pencegah Covid-19 ketika 1.831.867 pemilih datang ke tempat pemungutan suara (TPS) untuk memilih gubernur dan wakil gubernur Sulut? Salman yakin bisa dengan strategi yang diterapkan KPU secara nasional.
Baca juga: Tiga Komisioner KPU Kepri Positif Covid-19, Pilkada Jalan Terus
KPU Sulut menyiapkan 5.809 TPS, masing-masing hanya dapat didatangi maksimal 500 orang, bukan lagi 800. Para pemilih dianjurkan datang pada waktu tertentu demi menghindari kerumunan, meski tetap akan dilayani jika datang sebelum atau setelahnya. TPS juga akan dilengkapi tempat mencuci tangan.
Para petugas di TPS dipastikan nonreaktif dalam tes cepat Covid-19 dan dilengkapi alat pelindung diri seperti masker, pelindung wajah, sarung tangan, hand sanitizer, hingga baju hazmat. Mereka akan memastikan pemilih yang datang bersuhu tubuh tak lebih dari 37,3 derajat celsius. Ada bilik khusus bagi pemilih yang suhu tubuhnya di atas ambang itu.
Para pemilih akan diberi sarung tangan plastik sekali pakai ketika mencoblos di bilik suara. Setelah itu, jari mereka akan ditetesi tinta sebagai tanda telah memilih, bukan lagi mencelupkan ke tinta. Fasilitas di TPS juga akan disemprot disinfektan secara berkala.
Kiat-kiat ini telah diterapkan dalam simulasi pemilihan yang berlangsung lancar di Benteng Moraya, Kabupaten Minahasa, Senin (2/11) lalu. Acara tersebut diikuti 200 warga yang berperan sebagai pemilih. Dengan ini, Salman pun berharap pemilih tak khawatir datang ke TPS. Target pengguna hak pilih sebesar 77,5 persen pun ia yakini akan tercapai.
Namun, apakah kiat-kiat itu cukup jika tak dibarengi kepatuhan setiap pemilih? Masalahnya, jajak pendapat Badan Pusat Statistik pada pekan kedua September lalu menunjukkan, 27 persen penduduk Sulut yakin dan sangat yakin tak akan tertular Covid-19.
Protokol kesehatan pun terabaikan. Buktinya, sekitar 21.000 warga Sulut mendapatkan sanksi dan teguran karena tak mengenakan masker selama Operasi Yustisi oleh Polda Sulut, 14-28 September lalu.
Menurut pengajar Sosiologi Universitas Manado, Profesor Ferdinand Kerebungu, persoalan yang menghadang pencegahan penularan Covid-19 berada di tingkat akar rumput. Keakraban dan kekeluargaan dalam masyarakat, yang terbentuk dari ikatan marga dan intensitas pertemuan di rumah ibadah, lebih kuat daripada imbauan saling jaga jarak 1 meter.
Perhelatan Pilkada 2020 yang harus mengumpulkan orang banyak dalam satu waktu pun berpotensi menimbulkan kluster baru, kecuali KPU punya aturan yang bisa menjamin 200-300 orang tidak akan berkumpul dalam satu waktu. Karena itu, inisiatif untuk taat pada protokol kesehatan harus ditumbuhkan dari setiap warga.
Baca juga: Lebih dari Seperempat Penduduk Sulut Yakin Tak Akan Tertular Covid-19
”KPU bisa bekerja sama dengan pemerintah kota/kabupaten untuk mendekati tokoh agama dan tokoh masyarakat. Tidak bisa dimungkiri, tokoh-tokoh ini punya peran penting, mengingat mayoritas warga Sulut religius, selalu datang ke rumah ibadah, dan menghormati tokoh agama,” kata Ferdinand.
Jika kerja sama telah terjalin dengan tokoh agama dan masyarakat, imbauan pasti akan terdengar oleh keluarga. Lalu, keluarga akan menjadi media sosialisasi yang lebih efektif. ”Imbauan dari KPU saja tidak efektif karena hanya bisa menjangkau segelintir. Tapi, tokoh agama dan masyarakat pasti bisa menjangkau keluarga,” kata Ferdinand.