155 Anak Buah Kapal dan 2 Jenazah di Kapal Ikan China Direpatriasi lewat Bitung
Sebanyak 155 orang dan 2 jenazah anak buah kapal dari Indonesia direpatriasi dari 12 kapal ikan China melalui Bitung. Belum ada laporan pelanggaran hak asasi manusia selama mereka bekerja.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
BITUNG, KOMPAS — Sedikitnya 155 orang dan 2 jenazah anak buah kapal dari Indonesia direpatriasi ke Tanah Air dari 12 kapal perikanan China, Sabtu (7/11/2020), melalui Pelabuhan Samudera Bitung, Sulawesi Utara. Sebagian disebut berangkat tanpa prosedur ketenagakerjaan resmi. Belum ada laporan pelanggaran hak ataupun penyiksaan selama mereka bekerja.
Para anak buah kapal (ABK) itu dipulangkan dengan kapal Long Xing 601 dan Long Xing 610 berbendera China melalui perairan Pasifik dan sempat singgah di Filipina. Mereka telah memasuki perairan Selat Lembeh, Bitung, pada Jumat (6/11/2020) malam, tetapi masih harus menjalani tes cepat Covid-19 pada Sabtu pagi.
Dua kapal tidak berlabuh di dermaga. Petugas kesehatan diantar dengan perahu motor untuk melaksanakan tes cepat. Setelah semuanya dinyatakan nonreaktif, 155 ABK itu dipindahkan ke dua kapal pendarat tank (landing craft tank/LCT) yang membawa mereka ke dermaga. Para ABK bersorak bahagia ketika berlabuh.
Setelah disemprot disinfektan, mereka langsung diminta masuk ke 10 bus yang kemudian mengantar mereka ke rumah singgah khusus Covid-19 di Maumbi, Minahasa Utara, untuk isolasi dan mengikuti pengambilan sampel usap untuk tes molekuler. Dua jenazah ABK dilabuhkan dengan kapal Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP), lalu dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara Manado untuk otopsi.
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia (BHI) Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha mengatakan, mayoritas ABK yang dipulangkan telah melaut selama 1-2 tahun. Namun, kontrak kerja mereka berakhir bertepatan dengan merebaknya pandemi Covid-19.
Akibatnya, banyak negara yang yang menutup pelabuhan lautnya dan melarang penurunan awal kapal. Mereka pun terkatung-katung di berbagai wilayah perairan di dunia dan tak bisa pulang. ”Karena itu, kami kerja samakan dengan Pemerintah China agar bisa memulangkan mereka langsung ke Indonesia,” kata Judha.
Para ABK tersebut berasal dari 16 provinsi, paling banyak berasal dari Jawa Barat (56) dan Jawa Tengah (45). Hanya 8 orang yang berasal dari Sulut. Judha mengatakan, mereka bisa langsung pulang ke daerah masing-masing jika sudah dipastikan negatif Covid-19 melalui tes molekuler (PCR).
Dua jenazah ABK juga akan dipulangkan ke Cianjur, Jabar, dan Maluku Tengah, Maluku. Judha mengatakan belum ada laporan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami para ABK selama bekerja, seperti penyiksaan atau penahanan upah dan dokumen.
”Kami belum bisa memastikan (adanya pelanggaran HAM terhadap ABK). Terkait dua jenazah, informasi yang kami terima, mereka meninggal karena sakit. Namun, untuk menyelidiki lebih lanjut, akan diotopsi sebelum kita serahkan kepada keluarga,” katanya.
Menurut daftar nama 155 ABK dan 2 jenazah yang dipulangkan, hanya 94 yang tercatat diberangkatkan oleh agen penyaluran tenaga kerja. ”Ada yang sudah 30 bulan belum pulang, ada yang 19 bulan, macam-macam,” kata Kepala Polres Bitung Ajun Komisaris Besar FX Winardi Prabowo.
Judha mengatakan, perlindungan WNI harus dilihat secara komprehensif, yaitu sebelum keberangkatan, selama berada di luar negeri, dan saat kembali ke Indonesia. Ke depan, pemerintah akan membenahi tata kelola penempatan ABK di luar negeri agar selalu mengikuti prosedur resmi. Perlindungan pun bisa jadi lebih baik.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia, M Abdi Suhufan, mengatakan, pihaknya akan mewawancarai para ABK yang dipulangkan untuk mendapatkan informasi adanya hak yang dilanggar selama bekerja. Dugaan sementara, kontrak sebagian ABK sudah habis, tetapi sebagian lagi tidak mendapat upah karena perusahaan bangkrut.
Kami belum bisa memastikan (adanya pelanggaran HAM terhadap ABK).
DFW Indonesia juga siap memberikan pendampingan hukum, psikologis, dan sosial untuk menghadapi persoalan yang mereka hadapi. Ini dilakukan dengan forum daerah perlindungan awak kapal yang dibentuk di Provinsi Sulut.
Abdi juga mengapresiasi keberhasilan pemerintah memulangkan para ABK. ”Kemenlu kerap kali hanya ketiban sial, harus berupaya memulangkan akibat buruknya prosedur pemberangkatan ABK. Jika nanti kami temukan ada hak-hak yang belum terpenuhi, kami akan dorong Kemenlu untuk berkoordinasi dengan pihak terkait di negara asal perusahaan.”
Buah diplomasi
Repatriasi ini, kata Judha, adalah hasil rangkaian pertemuan bilateral antara Menlu Retno LP Marsudi dan Menlu China Wang Yi selama Juli-Agustus 2020. Ini juga adalah pertama kalinya pemerintah merepatriasi WNI secara langsung ke Tanah Air dengan kapal. Pemerintah Indonesia meminta Pemerintah China untuk mendesak perusahaan agar mau memulangkan para ABK.
”Kita akan lanjutkan kerja sama yang baik ini, termasuk untuk mengivestigasi dan menyelesaikan kasus-kasus ketenagakerjaan sebelumnya melalui kerja sama penegakan hukum di dua negara melalui mekanisme mutual legal assistance (timbal balik masalah pidana),” ujarnya.
Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Bitung Mursidi mengatakan, Bitung dipilih sebagai tempat berlabuh karena letaknya berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik. Pelabuhan Samudera Bitung juga telah ditugaskan Kementerian Perhubungan menjadi salah satu pelabuhan yang melayani repatriasi ABK semasa pandemi Covid-19.
”Dari kedalaman perairan dermaga cocok, begitu juga lokasi geografisnya. Kami kerja sama dengan Kantor Kesehatan Pelabuhan Bitung untuk melaksanakan semua prosedur sesuai protokol kesehatan pencegah Covid-19, misalnya menggunakan alat pelindung diri dan menyemprotkan disinfektan di kapal dan dermaga,” kata Mursidi.
Mursidi menambahkan, dalam repatriasi ini, dua kapal China yang mengantar ABK tidak merapat, digantikan dengan penjemputan oleh dua kapal LCT. ”Alasannya adalah protokol kesehatan. Kapal asing tidak harus merapat ke pelabuhan sehingga kita tidak harus kontak langsung dengan awak kapal asing,” katanya.