Infrastruktur perikanan di Laut Seram, Maluku, masih minim, padahal perairan itu kaya akan potensi ikan. Nelayan lokal kesulitan memanfaatkan potensi ikan di sana. Kejahatan perikanan pun tinggi.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
AMBON, KOMPAS - Laut Seram yang berada di bagian utara Provinsi Maluku, salah satu perairan yang kaya hasil laut, masih miskin dengan infrastruktur perikanan. Akibatnya, nelayan lokal sangat kesulitan dalam memanfaatkan potensi perikanan tangkap di sana. Kejahatan pada sektor kelautan dan perikanan pun tergolong tinggi sebab minimnya pengawasan.
Menurut data yang dihimpun Kompas pada Jumat (6/11/2020), saat ini di Maluku terdapat dua pelabuhan perikanan nasional, empat pelabuhan perikanan pantai, dan delapan pangkalan pendaratan ikan. Dari jumlah itu, tak ada satu pun yang berada di sisi utara Pulau Seram yang berhadapan langsung dengan Laut Seram itu. Sebagian besar berada di bagian tengah dan tenggara Maluku.
Sisi utara Pulau Seram membentang dari Kabupaten Seram Bagian Barat, Kabupaten Maluku Tengah, hingga Kabupaten Seram Bagian Timur. Laut Seram merupakan bagian dari Wilayah Pengelolaan Perikanan RI 715 dengan potensi ikan lebih kurang 1,2 juta ton per tahun. Di sana terdapat ikan pelagis kecil, pelagis besar, demersal, ikan karang, udang, lobster, dan cumi-cumi.
Yadi Bustan (45), nelayan yang biasa mencari ikan tuna dan cakalang di Laut Seram, mengatakan, di daerahnya tak ada tempat penjualan bahan bakar khusus untuk nelayan dan tidak ada tempat pendinginan ikan. Yadi berasal dari Desa Kawa, Kabupaten Seram Bagian Barat, salah satu kampung nelayan terbesar di Maluku. Di sana terdapat sekitar 200 nelayan.
Yadi menggunakan perahu motor berukuran di bawah 1 gross ton. Panjangnya sekitar 6 meter dan lebar sekitar 1 meter. Setiap kali melaut ia membawa bahan bakar sekitar 70 liter dan es batu sekitar 100 bungkus. Bahan bakar dibeli secara eceran, sedangkan es batu dibeli dari warung. "Es batu cepat cair kalau sudah lebih dari 30 jam. Kualitas ikan pun mulai rusak," ujarnya.
Selesai pulang dari laut, nelayan secepatnya menghubungi pengepul sambil mereka menawarkan kepada warga setempat. Pengepul biasanya membawa ikan ke Ambon dengan perjalanan berganti moda transportasi. Dari Kawa dengan kendaraan darat sekitar 2 jam, kemudian menyeberang menggunakan kapal laut selama 2 jam, kemudian dilanjutkan dengan perjalanan darat sekitar 45 menit.
Amrullah Usemahu, Wakil Sekretaris Jenderal III Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia, menambahkan, minimnya infrastruktur perikanan di utara Pulau Seram menyebabkan pengawasan di perairan setempat juga lemah. Seringkali terjadi penangkapan ikan secara ilegal, tidak terlapor, dan tidak sesuai dengan regulasi. Kejahatan itu bahkan masih berlangsung hingga saat ini.
Dalam catatan Kompas, tahun 2017 masih ada nelayan asing asal Filipina yang beroperasi di sana. Padahal, pemberantasan nelayan asing gencar dilakukan sejak akhir 2014. Kini setelah nelayan asing pergi, kapal berukuran besar milik pengusaha Indonesia beraksi. Mereka menggunakan alat tangkap perusak serta melakukan bongkar muat ikan di tengah laut.
Tak ada tindakan tegas dari pemerintah memaksa nelayan lokal akhirnya main hakim sendiri. September 2020 lalu, mereka memotong tali kapal yang menggunakan alat tangkap cantrang. Sebelumnya, tahun 2017, mereka membakar rumpon ilegal di perairan itu. Nelayan berdalih melindungi sumber daya di perairan yang selama ini menjadi sandaran hidup mereka.
Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Mesudin Sengaji berpendapat, minimnya infrastruktur perikanan berdampak pada kualitas tangkapan. Ikan yang ditangkap dengan susah payah oleh nelayan tidak dapat ditangani dengan baik sehingga tak bisa diekspor. Penanganan pascapenangkapan yang buruk menyebabkan ikan tidak memenuhi standar ekspor.
"Padahal, di Laut Seram itu terdapat jalur tuna yang diincar banyak perusahaan ikan. Seharusnya nelayan lokal bisa menjadi pemain utama di situ," ujarnya. Ia pun mendorong dibangun pelabuhan perikanan yang dapat digunakan untuk menampung hasil tangkapan nelayan. Pemerintah diminta mendatangkan pembeli ke sana.
Jika itu dilakukan, pesisir utara Pulau Seram akan maju dengan sektor perikanan sebagai mesin penggerak. Selain perikanan tangkap, juga perlu didorong perikanan budidaya sebab di sana terdapat banyak teluk. Sebelum Maluku dilanda konflik sosial tahun 1999, banyak kapal asing datang membeli ikan karang di sana. Saat ini tak ada lagi kapal yang datang.
Selama ini, wilayah itu terungkit dengan potensi pariwisatanya, yakni Pantai Ora dan sekitarnya. Namun, sektor itu belum banyak memberi pengaruh pada perekonomian warga. Di pesisir utara itu terdapat satu perusahaan perikanan yang bergerak pada budidaya udang. Dampak kehadiran perusahaan itu juga tidak signifikan bagi nelayan lokal yang fokus pada ikan.
Sementara itu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Abdul Haris dalam pertemuan virtual yang digelar Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia beberapa waktu lalu mengakui, infrastruktur perikanan di Maluku terus diperkuat. Penetapan Maluku sebagai lumbung ikan nasional akan mempercepat penguatan itu sebab semakin banyak dukungan dari pemerintah pusat untuk membangun perikanan di Maluku.
Dalam kunjungan ke Maluku pada akhir Agustus 2020 lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menyatakan bahwa Maluku ditetapkan sebagai lumbung ikan nasional. Saat ini, peta jalan menuju lumbung ikan nasional sedang disiapkan oleh pemerintah daerah dan nantinya akan dikoreksi kemudian disetujui oleh pemerintah pusat.