Jadi Cagar Biosfer UNESCO, Benahi Pengelolaan Dua Bentang Alam di Jateng
Tiga cagar biosfer UNESCO yang baru ditetapkan yakni Karimunjawa Jepara Muria; Merapi Merbabu Menoreh; dan Bunaken Tangkoko. Total, ada 19 cagar biosfer di Indonesia yang masuk jaringan cagar biosfer dunia.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JEPARA, KOMPAS - Dua bentang alam di Jawa Tengah, yakni Karimunjawa Jepara Muria dan Merapi Merbabu Menoreh, ditetapkan sebagai UNESCO Biosphere Reserves. Selanjutnya, perlu dicari keseimbangan antara konservasi dan ekonomi, dengan berpegang pada prinsip keberlanjutan.
Dikutip dari laman Kementerian Luar Negeri, dua bentang alam di Jawa Tnegah tesrebut, serta kawasan Bunaken Tangkoko (Sulawesi Utara) ditetapkan cagar biosfer UNESCO oleh sidang International Co-ordinating Council of the Man and the Biosphere Programme (ICC MAB) sesi ke-32 pada 27-28 Oktober 2020.
Adapun cagar biosfer digagas oleh UNESCO sejak 1971. Cagar biosfer yakni konsep pengelolaan kawasan yang bertujuan untuk melakukan harmonisasi antara kebutuhan konservasi keanekaragaman hayati, sosial, dan ekonomi yang berkelanjutan.
Dosen Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Katolik Soegijapranata, Yohanes Budi Widianarko, saat dihubungi di Semarang, Jumat (6/11/2020), mengatakan, cagar biosfer merupakan konservasi di wilayah yang tingkat kehidupan manusianya masih intens.
"Dengan diakui UNESCO, konsekuensinya sederhana, yakni mengurangi aktivitas manusia yang secara langsung mengganggu ekosistem alam. Solusinya, dipilih kegiatan-kegiatan yang sifatnya tidak ekstraktif atau destruktif seperti penambangan pasir atau pertanian yang invasif," ujarnya.
Budi, yang juga Guru Besar Fakultas Teknologi Pangan Unika Soegijapranata, menambahkan, opsi kegiatan yang dapat dikembangkan yakni pariwisata. Namun, pengembangan pariwisata pun jangan sampai mengubah bentang alam dan mengancam keanekaragaman hayati.
Oleh karena itu, perlu benar-benar dicari keseimbangan antara konservasi dan kegiatan ekonomi. "Setelah ditetapkan ini tentu akan ada rencana induk, agar semua berada di bawah satu payung. Nantinya pasti digunakan secara aktif, seperti kajian lingkungan hidup strategis," kata Rektor Unika Soegijapranata periode 2009-2013 dan 2013-2017 itu.
Ia menambahkan, pengakuan UNESCO juga akan membuka peluang bagi lembaga-lembaga penelitian maupun perguruan tinggi untuk riset yang arahnya bukan sekadar konservasi, tetapi juga menggali potensi alam. Diiharapkan nantinya ada satu model yang keberlanjutan.
Dosen Oseanografi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Anindya Wirasatriya menuturkan, laut memiliki peran sebagai penyerap atau penyimpan karbon. Namun, karena berbagai faktor, laut justru menjadi sumber karbon seperti di Laut Jawa.
Dengan pengakuan UNESCO, Kepulauan Karimunjawa diharapkan bisa lebih berperan melalui karbon biru atau karbon yang diserap dan disimpan pada ekosistem pesisir dan laut. "Di Karimunjawa komplet, karena ada karang, mangrove dan lainnya, sehingga bisa menjadi kontributor penyerap karbon," katanya.
Zonasi
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Jepara, Farikhah Elida, mengatakan, pengusulan kawasan Karimunjawa Jepara Muria sebagai cagar biosfer UNESCO dilakukan sejak 2018. Hal itu digagas bersama Kabupaten Pati dan Kudus, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Jateng, tim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Cagar Biosfer sendiri memiliki tiga fungsi utama yakni konservasi keanekaragaman hayati (genetik, spesies dan ekosistem), pembangunan ekonomi berkelanjutan, dan dukungan logistik seperti penelitian, pendidikan, monitoring, serta evaluasi.
Untuk mengimplementasikan ketiga fungsi itu, pengelolaan dilakukan dalam sistem zonasi. "Zona inti sebagai area konservasi sumber daya hayati dan ekosistem, zona penyangga sebagai wilayah penyangga kehidupan area inti, serta zona transisi sebagai area pengembangan, untuk kepentingan pembangunan ekonomi berkelanjutan," kata Farikhah.
Dengan penetapan tiga cagar biosfer tersebut, saat ini, Indonesia telah memiliki total 19 UNESCO Biosphere Reserves yang tergabung dalam World Network of Biosphere Reserve (WNBR). Peluang Indonesia untuk menjalin kerja sama ilmiah dan sekaligus kerja sama sosio-ekonomi dengan sesama negara anggota UNESCO yang lain kian terbuka.