Selama ini, kerap terjadi penyimpangan dalam pengelolaan ekowisata yang berdampak merusak alam. Ekowisata selayaknya mengedepankan konservasi, bukan eksploitasi.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
Kekayaan alam berpadu kopi telah membawa Jambi kian dikenal. Beragam jenis kopi hadir dan bahkan mendunia dengan keistimewaan yang berbeda. Mulai dari arabika di dataran tinggi Kerinci, robusta di hamparan kaki Gunung Masurai, hingga kawasan pesisir yang menghasilkan liberika.
Seluruh kekayaan itu memerlukan pengelolaan terpadu agar memberi nilai tambah. Caranya lewat pengembangan agrobisnis dan ekowisata.
”Jika dikelola dengan baik, manfaatnya akan sangat besar bagi masyarakat maupun daerah itu sendiri,” kata Sutrisno, Rektor Universitas Jambi, dalam Webinar bertajuk ”Integrasi Pengembangan Agroindustri Pedesaan Berbasis Kopi dan Mangrove”, Rabu (28/10/2020). Acara ini menghadirkan peneliti, akademisi, pelaku usaha kopi, pelaku wisata, dan pengembang agrobisnis.
Ekowisata dan agrobisnis kopi liberika saat ini dikembangkan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Pengembangan itu, lanjut Sutrisno, melibatkan integrasi hulu hingga hilir kopi. ”Ada pengolahan pascapanen hingga wisata di kebun kopi,” tambahnya.
Liberika merupakan jenis kopi yang tumbuh di dataran rendah Jambi pada ketinggian 0 hingga 10 meter di atas permukaan laut. Potensi liberika selama ini belum maksimal dikelola. Malahan, hasil produksi liberika lebih banyak dibawa dalam bentuk biji beras kopi ke Malaysia dan Singapura.
Baru belakangan, sejumlah pelaku usaha mulai serius mengelola liberika hingga menjadi bubuk dan sejumlah jenis produk makanan, seperti dodol nipah kopi dan keripik kopi liberika. Selain itu, kampus pun turut serta dalam pengembangannya. Dalam dua hingga tiga tahun terakhir telah dibuka ekowisata kopi liberika.
Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Tanjung Jabung Barat Otto Riadi menambahkan pengelolaan pariwisata digerakkan dengan perspektif non-konvensional. Ekowisata yang dikemas lebih kreatif memberi nilai tambah yang lebih besar. Wisatawan dibawa berinteraksi langsung dengan alam. Misalnya turut memanen buah kopi merah dengan cara memetik yang benar.
Hal serupa lebih dahulu dikemas pelaku kopi di Kerinci. Kolaborasi dengan pegiat wisata alam membawa ekowisata kopi sangat digemari. Sebab, hamparan kopi tumbuh di sekeliling kaki Gunung Kerinci yang juga diperkaya pemandangan sekitar berupa hamparan kebun teh Kayu Aro.
Keindahan alam, udara yang sejuk, serta keramahan penduduknya menyatu bersama potensi wisata alam lainnya, mulai dari Rawa Bento, Air Terjun Telun Berasap, hingga Danau Kerinci.
Uniknya, pengelolaan itu digarap kalangan anak muda yang pulang kampung untuk membangun desa. ”Kami bergabung dan mengelola berbagai usaha bersama yang menyatu dengan alam Kerinci,” kata Suryono, salah satu pendiri usaha Alam Korintji (ALKO).
Keindahan alam, udara yang sejuk, serta keramahan penduduknya menyatu bersama potensi wisata alam lainnya, mulai dari Rawa Bento, Air Terjun Telun Berasap, hingga Danau Kerinci.
Yang membuat ekowisata kopi Kerinci makin lengkap adalah keterampilan para petaninya dalam mengolah biji kopi yang benar. Hasilnya menjadi seduhan yang bercita rasa istimewa. Kopi setempat telah diekspor ke Asia, Eropa, dan Australia. Usaha produksi kopi setempat kerap pula menjadi tempat praktik dan studi banding pegiat kopi ataupun mahasiswa dan peneliti.
Perkebunan kopi dari ke tiga jenis kopi di Provinsi Jambi menyebar pada areal seluas 26.286 hektar (data Dinas Perkebunan Provinsi Jambi Tahun 2019). Produksinya mencapai 13.447 ton biji kering per tahun. Saat itu, kopi arabika Kerinci dan liberika Jambi telah mengatongi sertifikat Indikasi Geografis. Kopi arabika Kerinci ataupun robusta dari kaki Gunung Masurai di Merangin kerap memenangi sejumlah kontes nasional ataupun dunia soal cita rasa kopi.
Menurut peneliti Konservasi dan Ekowisata Perikanan Institut Pertanian Bogor, Fredinan Yulianda, pengelolaan ekowisata berbasis agroindustri harus seimbang melibatkan tiga hal, yakni konservasi, ekonomi, dan wisata. Jika ada salah satu yang terlalu dominan berpotensi merusak atau melemahkan lainnya.
Ia menjelaskan, ekowisata perlu mengedepankan konservasi, bukan eksploitasi. Selama ini, tambah Fredinan, banyak terjadi penyimpangan dalam pengelolaan ekowisata yang malah berdampak merusak alam. ”Ketika yang dimaksud wisata alam, manusia dan sumber daya alamnya harus menjadi prioritas,” katanya.
Ia kerap mendapati pengelolaan berat sebelah dengan menempatkan porsi industri pariwisata terlalu besar dengan alasan memenuhi kebutuhan pasar. Namun, mereka kurang mempertimbangkan daya dukung alamnya.
”Akibatnya sering kali pengelola meletakkan masyarakat dan alamnya di tempat kedua sehingga terabaikan karena lebih mengedepankan kebutuhan pengunjung. Padahal, masyarakat dan kelestarian alamnya dikedepankan, kepuasan pelanggan juga akan diperoleh,” ujarnya.
Ekowisata yang dikelola dengan seimbang akan menularkan semangat konservasi dan kepedulian lingkungan yang lebih kuat pada pengunjungnya. Kunjungan tidak semata rekreasi tetapi juga bernilai edukasi.