Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang perlu penyempurnaan terus-menerus agar mampu mengantisipasi perkembangan zaman.
Oleh
ANGGER PUTRANTO
·3 menit baca
BANYUWANGI, KOMPAS — Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang perlu penyempurnaan terus-menerus agar mampu mengantisipasi perkembangan zaman. Salah satu penyempurnaan dilakukan guna menanggapi perekembangan keuangan digital.
UU No 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) berlaku 10 tahun terakhir. Sesuai dengan prinsip hukum, produk perundang-undangan hendaknya dapat mengikuti dinamika perkembangan kehidupan sosial yang ada.
Hal itu mengemuka dalam Webinar bertema ”Reorientasi Satu Dekade Undang-Undang Nomor 8/2010 dalam Mengimplementasikan Anti Pencucian Uang”. Kegiatan tersebut digelar oleh Fakultas Hukum Universitas Jember bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam rangka peringatan Dies Natalis ke-56 Universitas Jember di Jember, Jawa Timur, Rabu (4/11/2020).
Hadir sebagai pembicara Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jember sekaligus Pakar Ilmu Pidana Arief Amrullah serta Pelaksana Tugas Direktur Pemeriksaan, Riset, dan Pengembangan PPATK Beren R Ginting. Hadir pula sebagai pemateri I Gede Widhiana Suarda, dosen Fakultas Hukum Universitas Jember; Heni Nugraheni, Kepala Grup Penanganan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APUPPT) Otoritas Jasa Keuangan; dan Go Lisanawati, dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya.
Dalam paparannya, Arief Amrullah menyebut, UU No 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU perlu disempurkan untuk menghadapi perkembangan zaman. Menurut dia, salah satu perkembangan yang perlu diantisipasi di antaranya dengan muncul dan berkembangnya mata uang digital yang berpotensi menjadi media TPPU.
”Inovasi dalam teknologi informasi dan komunikasi menghadirkan uang digital yang mempermudah banyak segi kehidupan. Namun, di sisi lain, kondisi ini berpotensi menjadi sarana baru tindak pidana pencucian uang,” ujarnya.
Arief mengatakan, alasan lain perlunya penyempurnaan UU No 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU ialah untuk menanggapi tindak pidana perdagangan narkoba yang skalanya makin besar. Hasil transaksi perdagangan narkoba umumnya disamarkan dalam berbagai usaha dan dirupakan dalam berbagai aset lainnya.
Hal senada disampaikan Pelaksana Tugas Direktur Pemeriksaan, Riset, dan Pengembangan PPATK Beren R Ginting. Ia mengungkapkan, Selama 2016 hingga 2018, terdapat 159 putusan pengadilan yang terkait TPPU. Sebanyak 70 persen kasus di antaranya berupa tindak pidana narkoba, kemudian disusul tindak pidana korupsi, tindak pidana perbankan, dan tindak pidana ekonomi lainnya.
Inovasi dalam teknologi informasi dan komunikasi menghadirkan uang digital yang mempermudah banyak segi kehidupan. Namun, di sisi lain, kondisi ini berpotensi menjadi sarana baru tindak pidana pencucian uang.
Beren mengakui tidak mudah membongkar pratik TPPU saat ini. Ia menyebut setidaknya ada empat kendala utama dalam upaya pemberantasan TPPU.
”Beberapa kendala yang kami temukan, antara lain, masih tingginya tindak pidana, seperti korupsi, narkoba, dan perbankan. Selain itu, kalangan aparat penegak hukum masih lebih fokus pada penanganan tindak pidana asal,” ujarnya.
Beren mengatakan, penanganan TPPU juga kerap terkendala jumlah kerugian tindak pidana yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah aset yang dikembalikan. Kendala lainnya ialah penerapan TPPU yang masih rendah.
”Oleh karena itu, PPATK terus mendorong sinergi di antara aparat penegak hukum agar penanganan sebuah tindak pidana tidak hanya dengan penerapan pidana asal, tetapi juga harus diikuti oleh penerapan TPPU,” ujarnya.