Warga Pun Berebut Air dengan Ternak di Sungai Babeko, Malaka
Sejumlah warga di Desa Manulea, Kecamatan Sasitamean, Kabupaten Malaka, NTT, menggunakan air kotor untuk mandi dan cuci. Mereka kerap berebut tempat dengan kawanan sapi yang hendak minum di tempat itu.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Kaki keriput Lusia Luruk Tae gemetar saat menuruni jalanan setapak terjal berbatuan dengan kemiringan sekitar 60 derajat. Sesekali ia berhenti menghela napas panjang, kemudian melangkah lagi. Dibantu tongkat, nenek yang kini berusia 63 tahun itu berjalan perlahan, sangat hati-hati menuju Sungai Babeko, tempat ia hendak mandi dan mencuci pakaian.
Rabu (21/10/2020) sore itu, beberapa ibu sudah lebih dulu tiba. Mereka duduk di atas hamparan batu yang dialiri air perlahan. Air yang debitnya terus menyusut. Aliran air kini hanya mengisi tidak sampai seperempat badan sungai yang lebarnya sekitar 10 meter. Air menyusut dikuras kamarau panjang sejak Mei lalu. Kemarau biasanya berakhir Desember, tetapi terkadang bisa meleset hingga awal tahun depan.
Cuaca setempat cukup panas, menembus suhu 38 derajat celsius. Tanaman di pinggir sungai, seperti pohon jati pun meranggas. Jika kondisi ini berlanjut, air Babeko akan benar-benar kering. Lusia dan sebagian warga di Desa Manulea, Kecamatan Sasitamean, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, itu kini diliputi kecemasan. Mereka bergantung pada air itu kendati tidak memenuhi standar kesehatan.
Air tak bening, tak jernih seperti yang biasa digunakan untuk mandi dan cuci. Air berwarna agak kecoklatan. Di dalam aliran itu mereka mencelupkan pakaian, mengucek dengan sabun atau deterjen, kemudian membilasnya. Di tempat yang sama, mereka berendam, menyiram tubuh dari kepala, menggosokkan sabun, kemudian membilas tubuh mereka.
Bahkan, di titik itu pula, mereka mencelupkan sikat gigi kemudian menggosok gigi dan berkumur seperti yang dilakukan seorang bocah sore itu. Memang air terus mengalir, tetapi kecepatan yang lambat tak mampu menjernihkan jejak deterjen dan sabun. Belum lagi posisi duduk mereka dari hulu ke hilir menyebabkan yang di hilir tak bisa mengelak limbah yang dilepas dari hulu.
Selepas cuci dan mandi, mereka kembali ke perkampungan. Mereka bersiap menjunjung ember berisi pakaian. Ada yang sambil menggendong anak, ada pula yang menjinjing jeriken berisi air. Mereka kembali melewati jalur yang sama, kali ini berjalan mendaki. ”Hampir setiap sore begini terus. Bertahun-tahun,” ujar Lusia sambil berjalan pulang.
Setiap petang sekitar pukul 15.30 WITA, mereka sudah harus tiba di sungai. Secepatnya mencuci dan mandi, sebelum datang gembala membawa kawanan sapi. Air Sungai Babeko juga jadi tempat minum sapi.
Jejak kaki dan kotoran sapi terlihat di samping aliran air. Daerah itu merupakan salah satu sentra ternak sapi. Hampir setiap keluarga memilki sapi. Pada saat musim kemarau, gembala kesulitan mencari rumput dan air.
”Jadi, kami seperti rebutan air dengan sapi, siapa cepat. Terkadang kami datang sudah ada sapi di atas sana (hulu). Sapi buang kotoran di air dan kami terima di bawah (hilir). Kami tidak punya pilihan lain lagi,” ujar Lusia. Ia berharap pemerintah mencari solusi atas krisis air bersih di kampung tersebut. Mereka kerap menyuarakan.
Sebetulnya di perkampungan itu pernah dikerjakan proyek air minum. Jaringan perpipaan dan bak penampung masih berdiri di tengah kampung. Kampung itu dilewati jalan nasional yang menghubungkan Jalan Trans-Timor dengan Betun, ibu kota Kabupaten Malaka. Sayangnya proyek tersebut mangkrak. Tak ada setetes air pun yang keluar.
Ternyata tak hanya Manulea, beberapa daerah di dataran tinggi Malaka juga kesulitan air bersih, seperti kampung Harikain, Kateri, serta perkampungan lainnya. Di jalanan kampung itu berjejer jeriken dan ember yang mengular di dekat tempat pengambilan air. Gerobak pengangkut air juga hilir mudik mengangkut ember dan jeriken.
Salah satu solusi adalah membeli air dari mobil tangki. Namun, itu perlu waktu untuk mengambilnya. Gabriel Manek (60), penjual air menuturkan, proses pengambilan air dari mata air ke dalam satu tangki berkapasitas 1.250 liter butuh waktu sekitar 5 jam. Tekanan air tidak deras. Harga satu tangki Rp 60.000.
Menurut Gabriel, di daerah itu terdapat sejumlah mata air yang bisa digunakan untuk kebutuhan warga. Sayang, medannya sulit sehingga butuh anggaran besar untuk membangun jaringan perpipaan. Namun, itu bukan tidak mungkin. Salah satu desa berhasil mengembangkannya, yakni Desa As Manulea, tetangga Desa Manulea. Barangkali bisa jadi contoh desa lain.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Malaka Yohanes Nahak yang ditemui di Betun awal Oktober lalu mengakui krisis air bersih menjadi salah satu persolan prioritas di daerah itu. Menurut dia, sejumlah upaya sudah dilakukan baik oleh kabupaten, provinsi, dan juga pusat. Ia berjanji persoalan itu akan diselesaikan secara bertahap.
Sanitasi masyarakat
Sementara itu, Direktur Yayasan Pijar Timur Indonesia Vinsen Kia Beda mengatakan, krisis air bersih berdampak pada sanitasi masyarakat. Hingga Oktober 2020, sebanyak 114 desa atau sekitar 90 persen dari total 127 desa di Kabupaten Malaka belum memenuhi standar sanitasi total berbasis masyarakat. Desa yang baru memenuhi standar hanya 13 desa. Vinsen terlibat dalam pendampingan desa-desa dimaksud.
Sanitasi sangat berperan besar dalam tumbuh kembang anak dan masyarakat. Anak yang stunting (tengkes/gangguan pertumbuhan), 70 persen disebabkan sanitasi lingkungan. ”Meski makanan itu bergizi, tetapi jika penyajiannya tidak bersih atau dimakan tanpa cuci tangan, hasilnya akan sama saja. Makanan itu terkontaminasi dengan kuman kemudian menimbulkan penyakit," katanya.
Diberitakan sebelumnya, upaya menekan angka stunting merupakan program prioritas Provinsi NTT. Tahun 2018, angka tengkes mencapai 42,6 persen atau sekitar 281.160 anak balita dari total 660.000 anak balita di NTT. Dari jumlah itu, angka tengkes anak balita di Malaka hampir mendekati 5.000 atau hampir mendekati 25 persen dari total balita.
Air bersih menjadi jawaban dari persoalan sanitasi sehingga sudah sepatutnya segera ditangani. Persoalan air bersih itu seharusnya sudah tuntas jika komitmen nyata terealisasi di tengah masyarakat.
Di lapangan, bertahun-tahun sudah krisis air bersih memaksa sejumlah warga Desa Manulea menggunakan air kotor untuk mandi, cuci, dan lainnya. Bahkan, untuk itu, berebut tempat dengan ternak. Sebuah potret miris bertahun-tahun yang mengiris hati.
Jika yang terlihat di depan mata saja tak tertangani, apa yang bisa diharapkan dengan hal lain? Semoga ada aksi nyata di lapangan.