Bara Konflik Mendidih di Perairan Pulau Tujuh
Sepanjang 2020, warga di gugusan Pulau Tujuh menanggung keprihatinan yang sama. Periuk nasi mereka diporakporandakan kapal pukat dari luar ataupun dalam negeri.
Sebelum Kepulauan Riau ditetapkan menjadi provinsi, Anambas, Natuna, dan Tambelan merupakan satu wilayah yang dikenal sebagai gugusan Pulau Tujuh. Setelah 18 tahun dipisahkan batas kabupaten, tahun ini mereka kembali disatukan keprihatinan yang sama. Periuk nasi mereka diporakporandakan kapal pukat dari luar ataupun dalam negeri.
Ketua Aliansi Nelayan Kabupaten Natuna Hendri tidak menyangka tahun 2020 akan menjadi periode terberat dalam kehidupan nelayan setempat. Sinyal bahaya yang pertama mereka tangkap pada pengujung 2019 saat kapal pukat asing membanjiri Laut Natuna Utara.
”Kami merasakan ada pembiaran terhadap kapal ikan asing. Memang beberapa kali ada operasi penangkapan, tetapi intensitasnya jauh berkurang dibandingkan dulu. Nelayan melihat, semakin lama kapal asing semakin banyak,” kata Hendri, Senin (26/10/2020).
Pada Februari lalu, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan memobilisasi kapal cantrang dari pantai utara Jawa untuk mengisi kekosongan di zona ekonomi eksklusif (ZEE). Awalnya, kehadiran kapal dari Jawa itu diharapkan bisa menghalau kapal ikan asing di Laut Natuna Utara.
Namun, jauh dari yang diharapkan, kehadiran kapal cantrang dari pantura Jawa itu justru melahirkan konflik baru zona tangkap perikanan. Pada 12 April, nelayan di Pulau Subi, Natuna, melihat sejumlah kapal cantrang dari Pati, Jawa Tengah, menangkap ikan di perairan yang kurang dari 19 kilometer dari garis pantai saat surut terendah.
Menurut Hendri, ratusan kapal pukat berbagai jenis, terutama purse seine dari pantai timur Sumatera ataupun cantrang dari pantai utara Jawa, sudah lama beroperasi di sana. Diperkirakan terdapat 830 kapal pukat dari sejumlah daerah di Laut Natuna.
”Ini memicu ketidakadilan pemanfaatan sumber daya ikan. Coba bayangkan nelayan lokal dengan kapal berukuran 3-5 gros ton (GT) dengan alat tangkap yang sangat tradisional dipaksa bersaing dengan armada perikanan berskala besar dengan alat tangkap modern,” ujar Hendri.
Ia menjelaskan, alat tangkap yang digunakan nelayan Natuna sebatas pancing ulur untuk menangkap ikan karang dan pancing tonda untuk menangkap ikan tongkol. Penggunaan pukat harimau oleh kapal asing dan cantrang oleh kapal pantura Jawa membuat nelayan sulit menangkap dua jenis ikan itu.
Hendri ragu bila puluhan kapal cantrang yang dimobilisasi dari pantura Jawa patuh beroperasi di ZEE yang merupakan laut lepas. Cantrang tidak efektif digunakan di perairan dengan kedalaman lebih dari 50 meter.
”Cantrang itu menyapu laut sampai ke dasar. Kalau terumbu karang rusak, belum tentu satu minggu kemudian ikannya sudah mau kembali lagi,” ujar Hendri.
Konflik zona tangkap juga terjadi di Kabupaten Kepulauan Anambas. Pada 3 September, sekitar 800 nelayan berunjuk rasa di depan Gedung DPRD setempat menuntut pemerintah daerah agar bertandang ke Jakarta untuk menyampaikan keresahan warga tersebut.
Pada 15 September, warga menangkap sebuah kapal purse seine yang beroperasi di perairan yang berjarak 7 kilometer dari garis pantai Pulau Matak. Sehari berselang, sekitar 80 kapal berbagai ukuran 70-150 GT mendatangi perairan Tarempa, pusat Kabupaten Kepulauan Anambas.
”Sekitar 150 nelayan Anambas menjemput mereka pakai 70 kapal. Kami sudah bawa bensin dan botol untuk bakar-bakaran,” kata Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kepulauan Anambas Dedi Syahputra.
Ia memperkirakan, saat ini ada 300 kapal pukat berbagai jenis yang beroperasi di wilayah perairan Anambas. Nelayan setempat kecewa dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang mengklaim memiliki peralatan canggih untuk memantau kapal dari Jakarta, tetapi tidak berbuat apa pun saat ada pelanggaran zona tangkap.
”Kalau malam, perairan Anambas seperti kota, terang sekali. Jumlah kapal pukat yang menggiling laut sudah terlalu banyak. Kami khawatir terjadi overfishing,” kata Dedi.
Tak hanya konflik dengan kapal pukat dalam negeri, nelayan di sana juga sering bertemu dengan kapal ikan asing, terutamam Vietnam. Dedi mengatakan, ia sering mendapat laporan dari pekerja kilang minyak lepas pantai tentang kehadiran kapal-kapal pukat asing tersebut.
Baca juga: Konflik Zona Tangkap Nelayan Semakin Marak di Kepulauan Riau
Kapal cumi dibakar
Konflik zona tangkap di Kepulauan Riau itu berujung pembakaran sebuah kapal cumi di Kecamatan Tambelan, Kabupaten Bintan. Tambelan terdiri dari 56 pulau kecil dan hanya tujuh di antaranya yang berpenghuni. Lokasinya berjarak 340 kilometer dari Pulau Bintan, lebih dekat dengan Kalimantan Barat.
Ketua HNSI Tambelan Syamsuddin menuturkan, pembakaran kapal cumi berukuran 25 GT itu terjadi pada 2 April dini hari. Sebelumnya, warga melaporkan kapal dari Kabupaten Karimun itu beroperasi di perairan kurang dari 7 kilometer selama seminggu.
Menggunakan lima kapal kayu kecil (pompong), warga menggiring kapal cumi itu ke pelabuhan terdekat.
”Tujuannya sebenarnya untuk diselesaikan secara baik-baik. Namun, setelah sampai di darat, waktu yang jemput sedang tidur, masyarakat lain ramai-ramai membakar kapal itu,” ujar Syamsuddin.
Satu orang yang menjemput dan lima orang yang membakar kapal itu kini mendekam di Polres Bintan. Kuasa hukum mereka, Zefri mengatakan, enam nelayan itu dijerat dengan Pasal 187 KUHP dengan ancaman penjara paling lama 15 tahun karena diduga dengan sengaja menimbulkan kebakaran.
”Itulah susahnya jadi nelayan kecil. Kami bingung, kalau hanya protes, tetap diinjak-injak. Namun, kalau kami terlalu keras, akibatnya dihukum aparat,” kata Syamsuddin.
Menurut dia, pembakaran kapal cumi baru terjadi sekali di Tambelan. Namun, sebelumnya, warga pernah membakar sejumlah kapal dari Kalbar menggunakan bom untuk menangkap ikan.
Pelanggaran zona tangkap dan penggunaan bom oleh kapal-kapal dari luar daerah itu menyulitkan hidup nelayan Tambelan. Mereka kini harus melaut hingga lebih dari 50 kilometer, kadang hingga ke perairan Anambas dan Natuna, karena ikan di pesisir habis.
”Dulu bahan bakar 150 liter saja cukup, sekarang perlu tiga kali lipatnya. Penghasilan juga turun, sekarang paling banyak hanya dapat Rp 1 juta sekali ke laut, padahal dulu bisa dua kali lipatnya atau bahkan lebih,” ujar Syamsuddin.
Baca juga: Nelayan Anambas dan Natuna Tolak Penggunaan Cantrang
Zona khusus
Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Kepulauan Anambas Effi Sjuhairi menyatakan, pemkab setempat telah mengirim surat kepada KKP untuk memohon pemberian zona tangkap khusus bagi nelayan tradisonal. Di sana, ada perairan seluas 1,2 juta hektar yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi nasional dengan Keputusan Menteri KKP No 37/2014.
”Beri kami ruang untuk mempertahankan alat tangkap yang sesuai dengan kearifan lokal. Saya kira tidak salah kalau hal itu dilakukan juga demi menjaga kawasan konservasi yang telah ditetapkan sebelumnya,” kata Effi.
Hendri mengatakan, nelayan di Natuna, Anambas, dan Tambelan memiliki banyak kesamaan dalam penggunaan alat tangkap dan ukuran kapal yang digunakan. Ia berharap kebijakan serupa yang diajukan Pemkab Kepulauan Anambas juga bisa diterapkan di Natuna dan Tambelan.
”Kami khawatir kalau konflik zona tangkap ini semakin meruncing, peristiwa pembakaran di Tambelan akan terjadi juga di Natuna dan Anambas,” ujar Hendri.
Dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan disebutkan, kapal pukat berukuran lebih dari 30 GT hanya boleh beroperasi di jalur penangkapan ikan III atau perairan yang berjarak di atas 20 kilometer dari garis pantai saat surut terendah. Sementara penggunaan cantrang tidak dibolehkan sama sekali di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Indonesia.
Meski demikian, pemerintah berencana segera menerbitkan revisi peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang usaha penangkapan ikan untuk mendorong investasi. Dalam revisi itu, beberapa alat tangkap ikan yang sebelumnya dilarang, termasuk cantrang, akan diizinkan digunakan lagi.
Baca juga: Nelayan Natuna Dukung Ketegasan Aparat Ringkus Kapal Pencuri Ikan