Ikan-ikan lokal di Waduk Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat, kembali menemukan rumahnya. Kualitas air di Sungai Citarum, sumber air utama Jatiluhur, menunjukkan hasil yang menggembirakan sejauh ini.
Oleh
Melati Mewangi
·5 menit baca
Sungai Citarum telah lama dibekap derita. Tahun ini, harapan masa depan lebih baik muncul lagi. Kualitas air di Waduk Jatiluhur terpantau membaik. Ekonomi diharapkan terus berjalan sembari menuntun ikan-ikan lokal pulang menuju rumahnya lagi.
Perjumpaan Ari (31), warga Desa Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat, dengan ikan lalawak di kawasan Istora Waduk Jatiluhur, seperti nostalgia. Setelah lama tak terlihat, ikan mirip tawes berujung ekor merah itu terjerat jaring yang dipasangnya beberapa waktu sebelumnya.
Ari mengatakan sudah lama lalawak tidak mengisi ember bututnya. Dia lebih sering menangkap patin, nila, dan mas, yang kebetulan lepas dari keramba jaring apung (KJA) di Jatiluhur. ”Meski ukurannya kecil, lalawak ini lebih gurih enak disantap,” katanya semringah, Kamis (22/20/2020).
Lalawak (Barbonymus balleroides) adalah salah satu ikan lokal Sungai Citarum, pemasok utama air Jatiluhur. Panjang tubuh pemakan tumbuhan dan fitoplankton ini bisa mencapai 25 sentimeter. Keberadaannya dirindukan karena menjadi indikator kualitas lingkungan yang ideal.
Kegembiraan menemukan lalawak juga dirasakan tim peneliti Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan (BRPSDI), Kamis, tak jauh dari tempat Ari menjerat ikan. Lebih dari sekadar rasa yang nikmat, pertemuan itu mengapungkan harapan besar bagi masa depan Citarum.
Citarum, sungai sepanjang 269 kilometer ini, punya peran penting. Airnya menjadi sumber air baku untuk Jakarta, menopang ketahanan pangan nasional, hingga listrik Jawa-Bali. Namun, Citarum juga sudah terlalu lama terluka. Pencemaran limbah pabrik dan rumah tangga terjadi di sepanjang tubuh besarnya.
Ikan-ikan lokal yang hidup di sana juga terkena dampaknya. Pembendungan Citarum seiring dibangunnya Waduk Ir H Djuanda atau Jatiluhur (1967), Saguling (1985), dan Cirata (1987), ikut memicunya. Hal itu mengubah ekosistem perairan dari mengalir menjadi tergenang.
Ketua Kelompok Peneliti BRPSDI Profesor Krismono mengatakan, beragam ikan lokal kini bisa ditemui setidaknya di delapan titik pemantauan sekitar Jatiluhur. Titik itu adalah pertemuan antara Cibadak dan Cihuni, Cikanyayan, Ciririp, Cihonje, Tanggul 5, Istora, Pasir Canar, serta Cilalawi.
Di Istora, misalnya, selain lalawak siap kawin, ditemukan juga lempuk dan kebogerang. ”Beberapa tahun lalu hanya terlihat di beberapa titik. Bahkan sering kali tidak ditemukan sama sekali,” kata dia.
Beberapa tahun lalu hanya terlihat di beberapa titik. Bahkan sering kali tidak ditemukan sama sekali.
Tempat ideal
Dalam Ekspedisi Citarum Harian Kompas tahun 2011, nasib ikan lokal Citarum disebut merana. Endi Setiadi Kartamihardja, peneliti Pusat Riset Perikanan Tangkap, dalam Jurnal Iktiologi Indonesia Volume 8 Tahun 2008 menyebutkan, kurun 1968-1977 terdapat 31 jenis ikan hidup di di Jatiluhur. Sebanyak 23 jenis di antaranya adalah ikan asli dan delapan jenis sisanya adalah ikan tebaran.
Akan tetapi, pada penelitian tahun 1998-2007, dari 23 jenis ikan asli, tinggal ditemukan sembilan jenis, yakni hampal, lalawak, beunteur, tagih, kebogerang, lais, lele, lempuk, dan gabus. Sementara ikan tebaran, seperti mas dan mujair, cenderung bertahan. Adapun ikan-ikan yang sudah tidak ditemukan antara lain julung-julung, tilan, tawes, genggehek, arengan, kancra, nilem, dan paray.
Krismono mengatakan, perbaikan kualitas lingkungan ini tidak bisa dipisahkan dari program Citarum Harum. Program rehabilitasi itu sejauh ini efektif mencegah degradasi Citarum.
Lewat Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan DAS Citarum, program ini ditargetkan rampung tujuh tahun kemudian. Beberapa langkah pentingnya, seperti menindak pembuang limbah, penghijauan, dan pengurangan KJA di Jatiluhur.
Hasil penelitian Lismining Pujiyani Astuti, peneliti BRPSDI lainnya, menguatkannya. Dari hasil pemantauan terbaru, ada lapisan oksigen < 3 mg/L dimulai pada kedalaman sekitar 5- 10 meter di Jatiluhur. Artinya, oksigen terlarut (DO) sampai kedalaman 5 meter pun masih lebih besar atau sama dengan 3 mg/L, konsentrasi minimum DO agar biota air bisa hidup.
Kondisi itu berbeda dibandingkan tahun 2017. Lapisan yang mengandung oksigen < 3 mg/L dimulai pada kedalaman 2-6 meter. Menurut Lismining, semakin luas wilayah yang beroksigen tinggi berdampak baik pada biota air tawar.
”Oksigen merupakan salah satu parameter kunci kehidupan biota air. Oksigen terlarut berpengaruh terhadap ikan agar dapat bertahan hidup, biasanya di kedalaman 3-4 meter,” ucap Lismining.
Guru Besar Etnobiologi di Universitas Padjajaran, Profesor Johan Iskandar, menyampaikan, membaiknya mutu air juga bisa menjadi kabar gembira bagi usaha budidaya ikan di KJA. Saat kualitas air membaik, hasil panen ikan harusnya lebih ideal.
”Buruknya kualitas air rentan memicu kematian massal ikan yang ujungnya menurunkan produktivitas. Hal itu ikut diperburuk endapan kotoran dan sisa pakan KJA berlebihan yang naik ke permukaan,” katanya.
Tidak dapat dimungkiri, KJA terpengaruh dengan revitalisasi di Jatiluhur. Di satu sisi, upaya itu bisa menekan kematian ikan massal yang kerap terjadi di sana. Namun, pengetatan KJA membuat produksi ikan turun.
Data Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Purwakarta menyebutkan, produksi ikan KJA Jatiluhur turun periode 2016-2018. Tahun 2016, produksi ikan mencapai 63.290 ton. Namun, produksinya turun menjadi 58.599 ton pada 2017 dan 53.396 ton setahun kemudian.
Buruknya kualitas air rentan memicu kematian massal ikan yang ujungnya menurunkan produktivitas. Hal itu ikut diperburuk endapan kotoran dan sisa pakan KJA berlebihan yang naik ke permukaan.
Ketua Paguyuban Pembudidaya Ikan di Waduk Jatiluhur Yana Setiawan mengatakan, sebelum Citarum Harum, jumlah KJA di Waduk Jatiluhur sekitar 48.000 petak. Saat ini, jumlahnya berkurang menjadi 25.000 petak.
Dulu dalam sehari, rata-rata seluruh pembudidaya di Jatiluhur menghasilkan 150-200 ton ikan dengan harga jual Rp 18.000 per kilogram. Kini produksinya menjadi 80-100 ton per hari.
Yana antusias dengan membaiknya mutu air Jatiluhur. Kualitas air yang ideal bagus untuk pertumbuhan ikan budidaya. Ikan akan cepat berkembang sehingga perputaran ekonomi bakal semakin cepat dari sebelumnya.
Akan tetapi, Yana tidak mau berpangku tangan. Dia mengatakan ingin berperan lewat rencana penerapan KJA Smart, hasil penelitian BRPSDI. Ada enam KJA Smart yang bakal menjadi percontohan di enam zonasi.
Perbedaan KJA SMART dan konvensional ada pada tambahan lapisan penghambat penguraian dan penampung sisa pakan di bagian bawah. Kolam KJA konvensional hanya berupa jaring yang tak ideal menampung sisa pakan. ”Semoga segala perbaikan ini membuat kami bisa lebih fokus menjaga mutu air dan produksi ikan,” katanya.
Usaha pelestarian alam dan motif ekonomi kerap kali sulit berjodoh. Dari Citarum, mimpi keduanya saling menghidupi semoga jadi kenyataan.