Pemprov NTT Surati Bupati dan Wali Kota untuk Mengantisipasi Ancaman Bencana Musim Hujan
Pemprov NTT menyurati para bupati dan wali kota di provinsi untuk mengantisipasi sejumlah ancaman bencana alam selama musim hujan berupa persiapan serta pengadaan sarana dan prasarana di daerah.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur menyurati para bupati dan wali kota di provinsi untuk mengantisipasi sejumlah ancaman bencana alam selama musim hujan berupa persiapan serta pengadaan sarana dan prasarana di daerah-daerah rawan bencana. Pos komando rawan bencana dibuka 24 jam dengan nomor kontak yang mudah dihubungi. Perlu identifikasi bencana sejak dini agar mudah diantisipasi.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTT Thomas Bangke di Kupang, Senin (2/11/2020), mengatakan, Provinsi NTT adalah daerah dengan karakteristik bencana yang hampir lengkap. Hujan secara sporadis dengan intensitas ringan dan sedang sudah terjadi hampir di semua daerah. Hujan juga sering diiringi puting beliung seperti terjadi di Kecamatan Reinhat Belu, Sabtu (31/10/2020), yang merusak tujuh rumah warga.
Musim hujan hanya berlangsung empat bulan, tetapi dampaknya cukup besar, termasuk korban jiwa. Pada musim hujan 2019/2020, di Manggarai Barat terjadi longsor dan banjir di sejumlah tempat dan menewaskan empat warga.
Pemprov NTT, kata Thomas Bangke, telah menyurati 22 kabupaten/kota untuk mempersiapkan segala yang diperlukan menghadapi ancaman bencana musim hujan yang bakal dimulai awal Desember 2020 sampai Maret 2021.
”Musim hujan hanya berlangsung empat bulan, tetapi dampaknya cukup besar, termasuk korban jiwa. Pada musim hujan 2019/2020, di Manggarai Barat terjadi longsor dan banjir di sejumlah tempat dan menewaskan empat warga,” katanya.
Ia mengatakan, bencana yang sering melanda NTT selama musim hujan adalah longsor. Wilayah NTT yang rawan longsor yaitu Manggarai Barat, Manggarai, Manggarai Timur, Ngada, dan Ende. Longsor di wilayah ini sering menewaskan penduduk sekitar.
Sungai meluap
Selain itu, jumlah 3.000 sungai kering di NTT pun bakal meluap sampai menyebabkan banjir dan longsor saat memasuki musim hujan. Paling dikhawatirkan, sungai kering di wilayah pedalaman, dekat perkampungan, dan aktivitas warga. Sungai-sungai semacam ini sering membawa korban jiwa karena saat hujan di bagian hulu terjadi banjir yang membawa bahan sedimentasi ke hilir.
”Biasanya warga yang berada di bagian hilir sering melakukan sejumlah aktivitas di dalam sungai. Secara mendadak, mereka diterjang banjir sampai menyebabkan kematian,” ujarnya.
Peristiwa seperti itu sering terjadi di daratan Pulau Timor, terutama wilayah Kabupaten Kupang, seperti Amarasi dan Amfoang. Belasan orang meninggal setiap musim hujan akibat diterjang air sungai yang datang mendadak dari hulu.
Banjir sering terjadi di Malaka akibat Daerah Aliran Sungai (DAS) Benanain, Timor Tengah Selatan dengan DAS Noelmina-Noemuke, Nagekeo dengan DAS Aesesa, dan Sumba Timur dengan DAS Kambaniru.
Saat musim kemarau, debit air empat DAS itu menurun drastis. Namun, pada musim hujan, air sungai sampai meluap, bahkan merusak permukiman penduduk setempat, seperti DAS Benanain, Malaka, DAS Aesesa, dan DAS Noelmina-Noemuke. Luapan banjir dari tiga DAS ini sering menyebabkan luapan banjir ke pemukiman penduduk dan lahan pertanian warga.
Puting beliung juga merata terjadi di seluruh wilayah NTT, tetapi lebih sering terjadi di Kota Kupang, Lembata, Timor Tengah Utara, dan Rote Ndao. Petir yang menyebabkan kematian sering terjadi di Manggarai Barat, Manggarai, dan bagian selatan Timor Tengah Selatan, dan bagian utara Timor Tengah Utara. Biasanya ada hamparan sawah yang cukup luas, petir tidak dapat terhindarkan.
Gelombang tinggi yang sering menyebabkan kecelakaan yakni di perairan Laut Timor, Laut Sumba, Selat Rote, dan Laut Utara Flores. Pada saat itu sebagian besar pelayaran di perairan NTT dihentikan sementara waktu, terutama jenis feri dan kapal perintis yang berbobot di bawah 1.000 gros ton.
Semua kabupaten/kota menyediakan alat berat di lokasi rawan bencana. Di situ pula dibangun posko bencana dan early warning system selama 24 jam. Di posko itu ditempatkan petugas jaga dengan nomor ponsel yang mudah dihubungi.
Kepala Desa Favoe, Kecamatan Malaka Barat, Kabupaten Malaka, Yoseph Seran Klau, mengatakan, DAS Benanain di Malaka sejak 2017 tidak lagi meluap ke permukiman warga seperti tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah telah membangun tanggul penahan banjir sepanjang 5 kilometer dengan ketinggian 4 meter.
”Meski sudah ada tanggul penghalang, sistem drainase umumnya di Malaka belum dibangun sehingga tetap terjadi genangan air di sejumlah lokasi bila hujan deras beberapa hari berturut-turut. Rumah warga tetap tergenang, kecuali rumah panggung atau dibangun di atas ketinggian,” ujarnya.
Ketua Yayasan Tukelakang NTT Marianus Minggo mengatakan, setiap kepala desa dan camat sejak dini wajib mengidentifikasi ancaman bencana di desa dan kecamatan masing-masing, kemudian dilaporkan ke bupati atau wali kota. Pemerintah daerah kemudian mempelajari ancaman itu kemudian membuat keputusan, apakah perlu diadakan sarana dan prasarana, serta posko kedaruratan di wilayah itu.
Identifikasi ancaman bencana ini tidak sulit. Dari tahun ke tahun, aparat desa, camat, dan masyarakat setempat sudah paham soal itu. Namun, jauh lebih baik kalau identifikasi ancaman bencana itu dibahas bersama masyarakat desa kemudian ditetapkan sebagai ancaman. ”Sekaligus masyarakat desa sendiri mengantisipasi menjaga keselamatan jika terjadi bencana di wilayah itu,” kata Minggo.
Ia mengatakan, antisipasi dini jauh lebih baik. Jika pemkab/pemkot kesulitan anggaran, mereka bisa mengajukan bantuan ke provinsi. Namun, di tengah pandemi Covid-19 ini, jangan terlalu berharap pada bantuan. Manfaatkan semua potensi sarana dan prasarana yang ada di daerah itu dengan melibatkan masyarakat lokal.