Berlomba Meniup ”Balon” Batam
Kota Batam lahir dengan cita-cita menjadi ujung tombak pembangunan ekonomi nasional. Kepala daerah yang terpilih dalam Pilkada Kota Batam 9 Desember 2020 harus mampu mewujudkan cita-cita terpendam empat dekade tersebut.

Sejumlah warga terlihat mulai kembali berwisata di Jembatan Batam-Rempang-Galang atau Barelang I yang menjadi ikon di Kota Batam, Kepulauan Riau, Kamis (28/5/2020).
Pada suatu hari tahun 1978, Menteri Riset dan Teknologi Bacharuddin Jusuf Habibie menemui Presiden Soeharto. Ia meminta Pulau Batam dimanfaatkan sebagai ujung tombak pembangunan. Ia ingin Batam disiapkan menjadi penghubung Indonesia dengan dunia.
Habibie meyakini teori balon dalam pengembangan Batam. Ia mengibaratkan Singapura seperti balon yang diisi udara. Jika balon udara pertama, Singapura, telah penuh, harus ada balon kedua, Batam, karena jika tidak, balon pertama akan meletus.
Namun, empat dekade kemudian, balon yang dicintai Habibie itu belum juga mengembang segendut yang dibayangkan. Batam kalah saing dengan kawasan industri di Malaysia dan Vietnam. Pemodal enggan datang karena pemerintah teramat sering ingkar janji.
Abidin Fan, Presiden Direktur PT Sat Nusapersada Tbk, perakit sejumlah merek ponsel pintar, mengatakan, yang paling memberatkan pengusaha adalah biaya pengiriman kontainer. Ini sangat memberatkan industri yang menghasilkan produk ekspor.
”Bagaimana bisa biaya pengiriman dari Batam ke Hong Kong lebih tinggi dua kali lipat daripada Jakarta ke Hong Kong? Itu tak masuk di akal, tidak bisa diterima siapa pun,” kata Abidin, Jumat (30/10/2020).
Ia mengatakan, pengiriman kontainer ukuran 20 kaki dari Pelabuhan Batu Ampar, Batam, dengan transit Singapura lalu ke Hong Kong yang memakan waktu tiga hari biayanya 800 dollar AS. Sementara pengiriman dari Tanjung Priok, Jakarta, ke Hong Kong yang membutuhkan waktu tujuh hari biayanya hanya 450 dollar AS.
Persoalan yang dikeluhkan Abidin itu sudah puluhan tahun dialami pengusaha. Berulang kali pula pemerintah pusat dan daerah berjanji akan menyelesaikannya, tetapi tak satu pun jadi kenyataan.
Pada Februari 2019, misalnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta agar masalah di pelabuhan itu dituntaskan dalam jangka waktu sebulan. Namun, hingga 20 bulan kemudian, Batu Ampar tetap tidak banyak berubah.
Keunggulan kondisi geografis Batam yang terletak di jalur laut tersibuk dunia selama ini terbuang percuma karena fasilitas pelabuhan tidak memadai. Kapasitas Batu Ampar hanya 500.000 TEUs per tahun. Bandingkan dengan Pelabuhan Singapura yang bisa menampung lebih dari 30 juta TEUs per tahun.

Presiden ketiga RI Bacharuddin Jusuf Habibie saat berkunjung ke Batam, Kepulauan Riau, Senin (29/4/2019), untuk memantau pembangunan Erleseen Tower.
Menurut ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, kapasitas pelabuhan merupakan infrastruktur dasar yang menentukan daya saing Batam di semenanjung Malaka. Batam tak lagi menarik di mata pemodal karena wilayah sekitarnya, seperti Johor dan Singapura, memiliki pelabuhan yang jauh lebih memadai.
”Fokus perencanaan anggaran BP (Badan Pengusahaan) Batam justru untuk memperluas bandara kargo di Hang Nadim. Padahal, yang pembangunannya harus diprioritaskan itu Batu Ampar, kapasitas dan kedalamannya perlu ditambah,” ujar Bhima.
Pemerintah sudah menyadari persoalan pelabuhan di Batam sejak 47 tahun lalu. Kompas mencatat, pada Agustus 1973, Presiden Soeharto memanggil 35 anggota Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia.
Soeharto tidak ingin barang ekspor dari Indonesia harus transit di Singapura. Ia minta pelabuhan Batam dikembangkan menjadi pelabuhan pengumpul barang-barang ekspor dari seluruh Indonesia. Semua fasilitas yang diperlukan akan disiapkan sehingga kapal asing pun tak akan punya alasan untuk tidak singgah ke Batam.
Namun, hal itu hanya pepesan kosong. Sampai kini, pengiriman kontainer masih harus transit di Singapura. Kapal-kapal niaga juga tak berminat singgah ke Batam. Persatuan Pengusaha Pelayaran Niaga Nasional Indonesia mencatat, sejak 2017, jumlah kunjungan kapal niaga di Batam hanya sekitar 4.000 call.
Padahal, setiap tahun, diperkirakan ada lebih dari 100.000 kapal niaga melintas di Selat Malaka. Sayangnya, sebagian besar lebih memilih merapat ke Pelabuhan Jurong, Singapura, dan Pelabuhan Klang, Malaysia.
Menurut Bhima, komitmen pemerintah yang rendah dalam membangun infrastruktur ekonomi maritim menyebabkan persoalan pelabuhan Batam tak kunjung rampung. Pembangunan di Batam dan daerah lain di Sumatera masih berorientasi ke Jawa.
”FSumatera lebih perlu jalan tol atau pelabuhan? Jalan tol bukan solusi untuk menurunkan biaya pengiriman logistik di Sumatera. Pola pembangunan di Sumatera masih menjiplak Jawa, itu biang masalahnya,” ucap Bhima.
Sedikit angin segar mulai berembus pada September lalu. Abidin mengatakan, biaya pengiriman kontainer sekarang turun 15-18 persen. Namun, itu belum cukup dan ia berharap BP Batam bisa segera mencari solusi agar tarif dapat turun hingga 50 persen.

Pekerja memindahkan peti kemas dari kapal angkut ke atas truk yang telah menunggu di Pelabuhan Kargo Batu Ampar, Kota Batam, Kepulauan Riau, Rabu (11/3/2020).
Pariwisata
Menurut Bhima, kebijakan pengelolaan Batam sudah banyak berubah. Secara bertahap, Batam mulai meninggalkan industri dan lebih banyak menaruh harapan kepada pariwisata. Tahun lalu, wisatawan mancanegara (wisman) di Batam jumlahnya lebih dari 1,94 juta kunjungan.
Mayoritas wisman itu adalah warga Singapura atau wisatawan negara lain yang transit di Singapura. Pandemi Covid-19 menyibak rapuhnya perekonomian Batam yang sangat bergantung pada Singapura itu. Pada Agustus 2020, dilaporkan lebih dari 15.000 warga kehilangan pekerjaan.
Salah satu dari ribuan orang yang kehilangan pekerjaan itu adalah Ogi (26). Sejak 2015, ia bekerja sebagai pemandu wisata di Hanita Tour and Travel. Sepinya wisatawan saat masa pandemi menyebabkan perusahaan itu gulung tikar pada Mei 2020.
Beragam cara ia lakukan untuk bertahan hidup, mulai dari menjual barang-barang berharga sampai berjualan makanan. Sebagian besar rekannya, sesama pemandu wisata yang lain, lebih memilih untuk menyerah dan pulang kampung.
”FAwalnya hanya makan dari tabungan sambil menunggu keadaan membaik. Namun, lama-lama saya sadar harus cari pekerjaan lain secepatnya karena tidak ada yang tahu akan berapa lama pandemi ini berlangsung,” ujar Ogi.
Baca juga: Mencari Figur Nakhoda ”Bumi Segantang Lada” Kepulauan Riau

Kota Batam, Kepulauan Riau, Sabtu (14/9/2019).
Dua jabatan
Badan Otorita Batam, kini BP Batam, dibentuk pada 1971 dan Pemkot Batam pada 1983. Banyak tumpang tindih kewenangan dan wilayah cakupan di antara dua lembaga itu. Pemerintah daerah gamang menghadapi situasi itu. Dampaknya, pemodal asing banyak yang bingung dengan status Batam.
Guru Besar Ilmu Administrasi Universitas Indonesia Irfan Ridwan Maksum dalam tulisan ”Darurat Desentralisasi Fungsional” (Kompas, 7/6/2016), menilai, pola kebijakan nasional di Batam memiliki cacat bawaan. Batam lahir dalam suasana Indonesia yang sentralistik di bawah rezim otoriter.
Pemkot Batam saat itu hanya administratif belaka. Wali kota hanya berfungsi sebagai wakil pemerintah, bukan sebagai kepala daerah. Akibatnya, Batam menjadi wilayah abu-abu. Begitu demokrasi lokal dianut pecahlah konflik antara Pemkot Batam dan BP Batam.
Namun, dualisme antara BP Batam dan Pemkot Batam sudah diakhiri. Pada 27 September 2019, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution melantik Wali Kota Batam Muhammad Rudi sebagai Pejabat Ex-officio Kepala BP Batam di Jakarta.
Dalam Pemilihan Kepala Daerah Kota Batam pada 9 Desember nanti, Rudi, petahana, menggandeng Wakil Wali Kota Amsakar Achmad. Pasangan calon nomor 2 ini didukung delapan partai, yakni Nasdem, Golkar, Demokrat, Hanura, PKS, PAN, PSI, dan PPP.
Rudi-Amsakar berjanji akan mendorong perekonomian Batam tumbuh di atas 6 persen. Mereka berencana meningkatkan infrastruktur dengan memperbaiki fasilitas di Pelabuhan Batu Ampar serta mengembangkan Pelabuhan Kabil sebagai pusat logistik dan labuh jangkar.
Baca juga: Tugas Berat Menanti Pejabat Ex-officio Kepala BP Batam

Kepala BP Batam Edy Putra Irawady (kiri) menyerahkan jabatan kepada Wali Kota Batam Muhammad Rudi sebagai Ex-officio Kepala BP Batam di Aula Balairungsari, Batam, Rabu (2/10/2019).
Lawan Rudi-Amsakar dalam pilkada kali ini adalah pasangan Lukita Dinarsyah Tuwo-Abdul Basyid Has. Lukita pernah menjabat sebagai Kepala BP Batam periode 2017-2019, sementara Abdul adalah Ketua Dewan Perwakilan Wilayah PKB Kepri. Mereka didukung oleh Partai Gerindra, PDI-P, dan PKB.
Secara khusus, Lukita-Abdul menyoroti pertumbuhan perekonomian Batam yang selama dipimpin oleh Rudi-Amsakar sering berada di bawah nasional. Mereka menargetkan bisa mengungkit perekonomian Batam agar tumbuh hingga sekitar 7 persen pada 2024.
Pasangan calon yang terpilih dalam pemilihan Wali Kota Batan nanti secara otomatis juga akan menduduki jabatan sebagai Kepala BP Batam. Bhima mengingatkan, hal itu berpotensi membuat pengambilan kebijakan BP Batam sedikit banyak akan dipengaruhi kepentingan politik tertentu.
Saat terakhir kali berkunjung ke Batam pada 29 April 2020, Habibie menyampaikan pesannya agar pembangunan Batam berorientasi pada industri yang menghasilkan produk berteknologi tinggi. Ia mau Batam menjadi ujung tombak pembangunan nasional.
Tahun 1970-an, saat pertama kali Habibie datang, penduduk Batam jumlahnya hanya sekitar 6.000 jiwa. Sekarang, penduduk pulau ini lebih dari 1,1 juta jiwa. Namun, berbanding terbalik dengan pertumbuhan penduduknya, perekonomian Batam kini justru berjalan mundur. Semakin hari, semakin redup.
Habibie menaruh mimpinya di Batam karena ia percaya dengan teori balon. Tugas pemimpin masa sekarang adalah meniup si balon agar mimpi itu segera terwujud. Jangan biarkan ujung tombak pembangunan nasional ini semakin kempis, sementara negeri tetangga di semenanjung seberang semakin gagah.
Baca juga: Kebijakan Ekonomi Habibie Jadi Salah Satu Warisan Terpenting