Kota Magelang, sejak masa kolonial, adalah salah satu pusat garnisun Tanah Air. Posisi strategis dan iklim sejuk jadi keunggulan kawasan. Atribut militer tak hanya jadi penanda kota, tapi merasuk dalam ruang peradaban.
Oleh
REGINA RUKMORINI/NINO CITRA ANUGRAHANTO
·5 menit baca
Kota Magelang, sejak masa kolonial, merupakan salah satu pusat garnisun Pulau Jawa. Posisi strategis dan iklim sejuk jadi keunggulan kawasan. Atribut militer tak hanya jadi penanda kota, tapi merasuk dalam ruang peradaban warga.
Tepat pukul 06.00, kompleks Rindam IV/Diponegoro di Kota Magelang, Jawa Tengah yang semula riuh dengan aktivitas olahraga dan lainnya, Senin (26/10/2020), sejenak senyap. Lantang terdengar melalui pengeras suara, pengumuman yang meminta warga menghentikan aktivitas sekejap, untuk menghormati pengibaran bendera.
Stefani Yanti (50), yang baru saja memarkir kendaraan dan bersiap menata meja lapak dagangan di sekitar lapangan Rindam, pun berhenti. Demikian halnya dengan warga yang tengah berlari di lintasan jogging sekeliling lapangan sepakbola. Beberapa orang mengambil sikap hormat ke arah bendera Merah Putih yang berkibar di tengah lapangan.
“Entah mencuci piring, makan-minum, atau sedang olahraga, setiap hari, semuanya berhenti sejenak tepat pukul 06.00. Hanya 1-2 menit saja,” ujar Yanti, warga Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang, yang setiap hari berdagang lontong sayur di depan Markas Komando Pendidikan (Dodik) Bela Negara Rindam IV/Diponegoro.
Yanti mulai berdagang di kompleks militer yang dibangun kolonial Belanda pada 1885 tersebut setahun terakhir. Saat itu, ia butuh membuka warung untuk memenuhi ekonomi keluarga. Ia tertarik membuka lapak di kompleks Rindam karena aktivitas warga yang berolahraga setiap pagi di areal tersebut terbilang ramai.
Urusan administrasi sama sekali tak menyulitkan Yanti. Meski ada iuran uang kebersihan Rp 10.000 per hari, tetapi jika pedagang sedang sepi pembeli, beban itu ditangguhkan. Kebijakan ini sangat membantu, terutama di tengah pandemi saat roda ekonomi belum pulih. Pendapatan Yanti yang biasanya lebih dari Rp 300.000 per hari, anjlok menjadi Rp 50.000-Rp 100.000 sejak kembali membuka warung pada bulan Juli.
Meski ada iuran uang kebersihan Rp 10.000 per hari, tetapi jika pedagang sedang sepi pembeli, beban itu ditangguhkan.
Kopral Kepala Agustinus Henukh, anggota Provost sekaligus koordinator lapak Dodik Bela Negara Rindam IV/Dipoengoro, mengatakan, pihaknya juga membebaskan uang kebersihan selama dua bulan pertama bagi pedagang agar mereka bisa mengembangkan usaha. Pihaknya juga menata kawasan sekitar lapak agar pengunjung nyaman. Kompleks sejauh 1,5 kilometer timur laut Alun-alun Magelang ini, sebelum pandemi, rutin menggelar kegiatan hari bebas kendaraan yang biasanya dipenuhi UMKM.
Sumbangan lain militer bagi ruang peradaban Kota Magelang dilakukan Kodim 0705/Magelang. Komandan Kodim 0705/Magelang Letkol Czi Anto Indrianto, menuturkan, selain program TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD), Kodim Magelang juga memiliki program karya bakti dan bakti sosial, mulai dari renovasi rumah tak layak huni hingga khitanan massal menggandeng lembaga lain.
Lanskap Kota Magelang tak bisa dipisahkan dari dunia militer. Luas kawasan militer terdata mencapai 147,3 hektar (ha) dengan 998 bangunan. Ini menjadi kawasan nomor tiga terluas setelah permukiman dan perdagangan/jasa.
Koordinator Komunitas Kota Toea Magelang Bagus Priyana, mengatakan, peran dan kedudukan militer di Kota Magelang, dimulai sejak Perang Diponegoro. Berkisar tahun 1826-1827, Belanda memindahkan pasukannya dari Solo ke Magelang, demi mengamankan wilayah itu dari penguasaan Diponegoro. “Bagi Belanda, Magelang penting untuk diamankan karena daerah ini penyuplai beras bagi pasukan mereka,” ujarnya.
Dalam buku Magelang Middelpunt den Tuin Van Java, disebutkan pada 1818-1819, penguatan militer Belanda di Magelang dilakukan dengan membangun tangsi dari bambu di Pasar Rejowinangun, jalan Ikhlas, dan Cacaban. Satu tangsi berkapasitas 17-20 orang.
Selanjutnya, pada 1880, Magelang ditetapkan sebagai pusat militer Belanda di Jawa bagian tengah. Belanda pun menambah kekuatan. Pada 1883, dimulai pembangunan tangsi baru yang kini jadi kawasan Rindam IV/Diponegoro.
Guru Besar Ilmu Sejarah, Universitas Gadjah Mada (UGM), Djoko Suryo, mengungkapkan, dalam periode itu, sedikitnya 5.000 infanteri Belanda ditempatkan di Magelang. Kota ini dinilai strategis karena terletak di tengah-tengah Jawa Tengah. Iklim sejuk juga membuat para tentara mudah beradaptasi.
“Jadi, seperti menghubungkan kawasan Semarang, di Pantai Utara Jawa, sampai ke Jawa Tengah selatan. Tak kalah penting, Magelang dekat dengan Keraton Yogyakarta. Saat itu, hubungan Belanda dengan keraton cukup penting,” kata Djoko.
Banyak jejak militer lain didapati di Magelang. Salah satunya menjadi ikon kota yakni menara air di Alun-alun Magelang yang dibangun pada 1920 untuk mengatasi krisis air akibat longsor yang menutup saluran di Kali Manggis. Menara berkapasitas 1.705 liter air tersebut, hingga kini masih berfungsi menyuplai air untuk kebutuhan PDAM Kota Magelang.
Citra kota garnisun di Magelang kian lengkap dengan keberadaan Akademi Militer (Akmil), wadah penggemblengan calon perwira Bangsa. Tempat pendidikan militer ini, melahirkan rata-rata 250 perwira remaja Angkatan Darat. Salah satunya, bahkan menjadi presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono.
Sebelum pandemi, setiap akhir pekan dan hari libur, lalu lalang para taruna Akmil yang lokasinya tepat di kaki Bukit Tidar ini, jadi pemandangan biasa di sekeliling kota. Dalam berinteraksi di ruang publik, mereka juga mesti menjaga penampilan, berbaju rapi, dan bersih.
Kepala Urusan Pemasyarakatan Bagian Penerangan dan Humas Akmil Magelang, Nurul Muntaha, menuturkan, setiap taruna juga selalu diingatkan menjaga sikap, ramah, dan sopan. “Mereka diminta membantu siapa saja yang butuh pertolongan, tertib, menghargai, menghormati siapa pun, terutama kaum wanita. Saat ada antrean panjang dan ada wanita yang tertinggal di belakang misalnya, taruna wajib mempersilakan wanita itu maju lebih dahulu,” ujar Nurul.
Akmil bermula dari Militaire Academie (MA) Yogyakarta yang didirikan 31 Oktober 1945 atas prakarsa Kepala Staf Umum Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Letjen TNI Oerip Soemohardjo. Pada 1950, MA Yogyakarta meluluskan dua angkatan. Namun, karena peminat minim, MA ditutup, dan angkatan ketiga merampungkan pendidikan di Belanda. Seiring maraknya sekolah perwira TNI AD, pada 11 November 1957, Presiden RI Ir Soekarno meresmikan pembukaan lagi Akademi Militer Nasional di Magelang.
Tulisan tangan maklumat Soekarno saat meresmikan kembali Akademi Militer Nasional masih tersimpan di Museum Taruna Abdul Jalil Magelang yang merekam jejak perjalanan Akmil.
Tulisan tangan maklumat Soekarno saat meresmikan kembali Akademi Militer Nasional masih tersimpan di Museum Taruna Abdul Jalil Magelang yang merekam jejak perjalanan Akmil. Museum ini juga menyimpan koleksi seragam taruna sejak 1945, sepeda onthel, tempat tidur taruna, hingga beragam seragam drum band Canka Lokananta.
Djoko menilai, peninggalan militer di Magelang perlu terus dijaga. Bahkan, dalam konteks kekinian, potensi wisata kompleks garnisun dan sejarah militer dapat dikembangkan menjadi penjenamaan kota di lembah Bukit Tidar ini.