Menteri Desa PDTT: Desa Ramah Perempuan Mulai 2021
Selama ini banyak prestasi dan posisi luar biasa di tangan perempuan. Namun, di sisi lain masih banyak pula permasalahan yang mereka hadapi.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·4 menit baca
BATU, KOMPAS — Mulai 2021, Desa Ramah Perempuan menjadi salah satu target pembangunan oleh Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Selama ini, telah banyak prestasi dan posisi luar biasa di tangan perempuan, tetapi di sisi lain masih banyak pula permasalahan yang mereka hadapi.
Hal itu disampaikan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar, pada acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) dan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Muslimat Nahdlatul Ulama (Muslimat NU) 2020 di Batu, Jawa Timur, Jumat (30/10/2020).
Hadir pada kesempatan ini, antara lain Menteri Agama Fachrul Razi (yang memberikan amanat secara virtual), Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa, Wali Kota Batu Dewanti Rumpoko, dan peserta Rakernas dan Mukernas baik yang datang secara fisik maupun virtual.
”Pada posisi pemberdayaan perempuan, akhirnya kami mengubah sedikit paradigma di mana paradigma pembangunan desa mulai 2021 sudah memiliki satu tipologi jelas ke arah mana, termasuk di dalamnya Desa Ramah Perempuan,” ujarnya.
Menurut Abdul Halim pembangunan di desa selama ini memang lebih banyak bertumpu pada infrastruktur ketimbang pemberdayaan. Dia mencontohkan dari Rp 20 triliun-Rp 71,190 triliun Dana Desa pada 2020 sebagian besar untuk pembangunan infrastruktur.
Hal ini bisa dimaklumi karena setiap ada peluang dalam proses pembangunan—yang dibahas bersama masyarakat—aspirasi pertama yang muncul adalah usulan pembangunan infrastruktur. Hal itu tidak hanya dihadapi oleh pihak Kemendes PDTT melainkan juga pemerintah daerah.
Ada beberapa kriteria dalam Desa Ramah Perempuan, antara lain adanya peraturan desa yang responsif jender mendukung pemberdayaan perempuan minimal 30 persen dan menjamin perempuan mendapatkan pelayanan, informasi, pendidikan soal keluarga berencana dan kesehatan reproduksi.
Selain itu angka partisipasi kasar SMA sederajat 100 persen, prevalensi kekerasan terhadap anak perempuan nol persen, kasus kekerasan terhadap perempuan yang mendapat layanan komprehensif 100 persen, dan median usia nikah di atas 18 tahun serta angka kelahiran pada remaja usia 15-19 tahun mencapai nol persen.
Selama ini banyak prestasi dan posisi luar biasa di tangan perempuan. Namun, di sisi lain masih banyak pula permasalahan yang mereka hadapi.
Sejauh ini, menurut Abdul Halim, ada dua kategori masalah yang dihadapi perempuan. Pertama, kasus bersifat struktural. Kedua, kasus yang bersifat personal. Kasus struktural butuh kebijakan menyeluruh, butuh kekuatan politik untuk menyelesaikan. Menteri, gubernur, bupati/wali kota bertanggung jawab terhadap masalah bersifat struktural.
”Sedangkan kasus bersifat personal butuh penelusuran mendalam, pendampingan berkelanjutan mulai dari rumah tangga, dasawisma, hingga antardesa,” katanya. Abdul Halim menambahkan ada empat desa, setiap dua desa di Jawa Timur dan Jawa Tengah, yang menjadi pilot project Desa Ramah Perempuan.
Modernisasi beragama
Sementara itu, Fachrul Razi mengajak semua pihak menerapkan moderasi beragama. Modernisasi beragama merupakan komitmen bersama untuk menjaga keseimbangan, di mana setiap warga, apa pun suku, etnis, budaya, agama, dan pilihan politik, harus mau saling mendengarkan satu sama lain. Mereka saling belajar melatih kemampuan dalam mengelola dan mengatasi perbedaan.
Menurut Fachrul, pada era disrupsi saat ini, menjadi meniscayakan setiap orang menggunakan media sosial (medsos) untuk berinteraksi dengan orang lain. Melalui medsos mereka mencari informasi tentang persoalan hidup, termasuk yang terkait dengan agama.
Pada era disrupsi, pembelajaran agama yang tadinya diberikan oleh otoritas keagamaan tradisional—yang sebelumnya disampaikan di tempat ibadah dan majelis keagamaan—beralih ke media digital.
Fenomena ini, menurut Fachrul, punya sisi positif, utamanya dari faktor kecepatan dan kemudahan mendapatkan referensi yang dicari. Juga terkait referensi banding terhadap ilmu yang mereka terima dari forum ceramah atau pengajian—yang diduga bias karena kepentingan subyektif penceramah yang bersangkutan.
”Fenomena ini jelas menciptakan krisis otoritas keagamaan yang memperuncing perbedaan di masyarakat, baik keyakinan agama ataupun pilihan politik. Saya kira ini peluang sekaligus tantangan bagi Kementerian Agama (Kemenag) dan kita semua untuk mencari kebijakan yang tepat dalam memahami fenomena-fenomena sosial di masyarakat,” katanya.
Dari latar belakang kondisi yang terjadi, menurut Fachrul, pemerintah perlu mengembangkan strategi komunikasi, terutama kepada generasi milenial yang lebih rentan terhadap ideologi ekstrem. Agar mampu membangun gerakan kebudayaan dan memperkuat akal sehat kolektif.
”Untuk itu pemerintah dan masyarakat sipil penyiar Islam, seperti Muslimat NU perlu menerjemahkan setiap materi yang akan disampaikan menjadi konten dan sajian yang menarik, lebih mudah dipahami tanpa kehilangan bobot isi dan bebas bias,”ucapnya.
Pemerintah, dalam hal ini Kemenag, lanjut Fachrul akan terus mengambil langkah konkret untuk memimpin gerakan literasi keagamaan di kalangan masyarakat. Agar lebih melek agama serta memperkuat cara pandang keagamaan yang moderat dan tawassul.