Sebanyak 1.200 WNI di Kamp Timur Tengah Perlu Diverifikasi
Lebih dari 1.200 warga negara Indonesia pergi meninggalkan Indonesia dengan alasan ingin berjuang di Timur Tengah. Mereka saat ini berada di kamp-kamp penahanan serta pengungsian perempuan dan anak.
Oleh
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
BATU, KOMPAS — Setelah pandemi Covid-19 berakhir, perlu ada langkah verifikasi terhadap sekitar 1.200 warga negara Indonesia yang saat ini menempati kamp-kamp penahanan serta kamp pengungsian perempuan dan anak di beberapa negara di Timur Tengah. Mereka pergi meninggalkan Indonesia dan mendapat stempel dari komunitas dunia sebagai ”pejuang teroris asing”.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar mengatakan, dengan verifikasi, akan bisa diketahui dengan pasti berapa banyak dari mereka yang masih tinggal di tempat dan berapa yang sudah direlokasi. Sebab, faktanya, banyak di antara mereka yang sudah direlokasi ke daerah konflik lain.
”Ada yang sudah relokasi, kan, pindah ke Yaman, Afghanistan, dan Filipina selatan. Itu adalah orang-orang yang gambarannya melakukan sebuah kondisi kesia-siaan,” ujar Boy Rafli pada acara Deklarasi Kesiapsiagaan Nasional Penanggulangan Terorisme 2020 di Batu, Jawa Timur, Selasa (27/10/2020).
Setelah rangkaian verifikasi, bukan berarti mereka bisa langsung pulang ke Indonesia. Menurut dia, setelah verifikasi, masih dibutuhkan pembahasan oleh BNPT bersama unsur kementerian dan pihak terkait guna merumuskan langkah selanjutnya. Pasalnya, masalah ini terkait dengan banyak aspek, seperti hukum, hubungan luar negeri, dan sosial.
Terkait langkah verifikasi BNPT bekerja sama dengan lembaga internasional, seperti Komite Internasional Palang Merah (ICRC) yang banyak mengurus kamp-kamp di wilayah Irak utara. Adapun tim verifikasi berasal dari perwakilan satuan tugas dari semua kementerian.
Kendati hidup memprihatinkan, menurut Boy Rafli, mereka masih melakukan propanganda, terutama melalui media sosial, dengan mengajak bergabung dan melakukan provokasi. Mereka tetap berharap ada yang memberikan dukungan dari Indonesia. Tujuan propaganda bukan hanya Indonesia, melainkan juga dunia.
Disinggung apakah mereka masih merupakan warga negara Indonesia (WNI), Boy Rafli mengatakan dari sisi status masih WNI. Meski demikian, mereka mungkin sudah tidak lagi merasa sebagai WNI dan menjual semua harta bendanya di Indonesia. ”Kita harap ke depan anak-anak muda, pemuda kita, jangan melakukan hal yang sia-sia. Berbuatlah yang terbaik untuk bangsa dan negara,” ucapnya.
Kita harap ke depan anak-anak muda, pemuda kita, jangan melakukan hal yang sia-sia. Berbuatlah yang terbaik untuk bangsa dan negara.
Deklarasi
Deklarasi Kesiapsiagaan Nasional Penanggulangan Terorisme 2020 ini dilakukan untukmembangun kesadaran kolektif anak bangsa bahwa kita mesti memiliki kepedulian dan kepekaan akan ancaman terorisme dan penyebaran paham radikalisme yang mengarah pada intoleransi.
”Deklarasi ini murni difokuskan untuk mengingatkan segenap elemen bangsa karena ancaman terorisme hadir menimpa siapa saja dan berpotensi melibatkan generasi muda Indonesia,” ujarnya. Selain TNI dan Polri, hadir pada kegiatan ini tokoh pemerintahan, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh perempuan, dan tokoh pelajar.
Boy Rafli menuturkan, pihaknya berupaya mengingatkan kembali generasi muda agar mereka siaga menghadapi potensi ancaman. Kesiapsiagaan tersebut melibatkan berbagai elemen bangsa, profesi, agama, dan generasi. Harapannya, kesiapsiagaan ini bisa berkembang mulai dari tingkat terkecil, desa, hingga skala yang lebih luas.
Sementara itu, pengurus Pesantren Al Islahiyah Singosari, Malang, KH Imron Rosyadi Hamid, yang turut hadir pada acara tersebut mengatakan, bibit paham radikalisme menjadi embrio bagi persoalan yang lebih serius, termasuk terorisme. Tokoh agama berperan memberikan pemahamanan keagamaan yang benar terhadap masyarakat agar mereka tidak terinflitrasi oleh paham intoleransi dan radikalisme.
”Kalau kita lihat sumber terjadinya terorisme di Indonesia, rata-rata dari teman-teman yang punya pemahaman agama yang salah. Ada persoalan transnasional ideologi yang menyusup ke beberapa unsur masyarakat dan itu menumbuhkan gerakan-gerakan lebih serius, termasuk terorisme,” ujar pria yang juga Rois Syuriah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama China ini.