Nelayan Aceh dan Imigran Jadi Tersangka Penyelundupan Etnis Rohingya
Proses hukum terhadap tersangka jangan sampai memberi efek jera bagi nelayan lain untuk membantu dalam kasus yang sama. Proses hukum harus transparan dan pemerintah harus memfasilitasi pengacara untuk tersangka.
Oleh
ZULKARNAINI
·2 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Kepolisian Daerah Aceh menetapkan empat tersangka dugaan penyelundupan etnis Rohingya ke Provinsi Aceh. Mereka terdiri dari dua nelayan Aceh dan dua imigran Rohingya. Proses hukum harus transparan dan pemerintah harus memfasilitasi pengacara untuk tersangka.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Aceh Komisaris Besar Sony Sanjaya, Selasa (27/10/2020), mengatakan, dua tersangka warga Aceh adalah FA (47) dan AS (37), sedangkan dua imigran Rohingya adalah R (32) dan SB (42).
Pada Kamis, 25 Juni 2020, pagi, sebuah kapal yang ditumpangi oleh 99 warga etnis Rohingya mendarat di Pantai Seunuddon, Kabupaten Aceh Utara. Saat itu kapal tersebut dalam kondisi rusak. Kapal tersebut ditarik oleh kapal nelayan hingga kandas di pantai kemudian dievakuasi petugas ke lokasi penampungan.
Ada upaya sengaja menjemput (imigran Rohingya) yang berada di laut. (Sony Sanjaya)
Sony mengatakan para tersangka itu diduga sengaja menjemput kapal nelayan Rohingya saat berada di lautan lepas. ”Ada upaya sengaja menjemput (imigran Rohingya) yang berada di laut,” kata Sony.
FA diduga telah melakukan kesepakatan menyewakan kapalnya untuk menjemput kapal Rohingya. FA dibantu oleh AS, AJ, dan AR. Dua orang terakhir kini ditetapkan dalam daftar pencarian orang. FA dihubungkan dengan R dan SB, imigran Rohingya di Medan, Sumatera Utara, untuk mendeteksi lokasi kapal Rohingya.
R dan SB merupakan imigran Rohingya yang ditampung di Medan. Mereka terdampar di Aceh pada 2011. R dan SB diduga telah membantu para imigran Rohingya yang lain untuk berlayar ke Aceh.
Polisi menyita alat deteksi lokasi atau GPS dan surat sewa kapal yang dipakai untuk menjemput kapal Rohingya.
Dalam kasus ini, tersangka dijerat dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Ancaman pidana minimal 5 tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara. Para tersangka kini ditahan di Markas Polda Aceh.
Kedatangan kapal Rohingya pada 25 Juni 2020 mendapat perhatian banyak kalangan. Pasalnya, warga di Aceh Utara mengevakuasi warga Rohingya meski belum mendapatkan izin dari pemegang otoritas. Peristiwa itu menjadi topik populer di media sosial. Para pengguna media sosial menyampaikan apresiasi kepada warga Aceh Utara karena telah membantu mengevakuasi warga Rohingya.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh Hendra Saputra menuturkan, proses hukum terhadap tersangka jangan sampai memberi efek jera bagi nelayan lain untuk membantu dalam kasus yang sama. ”Proses hukum harus transparan dan pemerintah harus memfasilitasi pengacara untuk tersangka,” kata Hendra.
Proses hukum harus transparan dan pemerintah harus memfasilitasi pengacara untuk tersangka. (Hendra Saputra)
Menurut Hendra, Kontras Aceh dan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam isu kemanusiaan akan mengawal proses hukum terhadap nelayan tersebut. ”Sementara perlindungan terhadap imigran Rohingya harus tetap dilakukan meski korban perdagangan orang,” kata Hendra.