Warisan Usang Banjir Tiada Akhir
Setidaknya sejak 40 tahun lalu, kisah di Kabupaten Bandung terus berulang. Ribuan rumah terendam dan puluhan ribu warga mengungsi akibat banjir. Berkali-kali ganti bupati, banjir tak berakhir dan justru kian menyiksa.
Setidaknya sejak 40 tahun lalu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, mulai akrab dengan banjir setiap musim hujan. Dampaknya berulang dan masih saja menyakitkan. Ribuan rumah terendam dan puluhan ribu warga terpaksa mengungsi. Berkali-kali ganti pemimpin, banjir masih terasa menyiksa bagi sebagian warga. Warisan usang ini kembali menjadi duri dalam Pilkada 2020.
Setiap musim hujan, banjir selalu singgah di Kabupaten Bandung. Hujan lebat membuat Sungai Citarum dan anak-anak sungainya meluap menggenangi permukiman warga. Namun, hujan bukan faktor tunggal. Alih fungsi lahan tak terkendali membuat resapan air tak optimal. Sampah rumah tangga juga ikut menyumbat aliran sungai sehingga gampang meluap.
Di hulu Citarum, misalnya, lahan kritis mencapai lebih dari 8.000 hektar. Sebagian besar ditanami sayuran sehingga kemampuan lahan menahan air rendah. Sejak dua tahun lalu, melalui program Citarum Harum, lahan kritis itu mulai dihijaukan dengan menanam pohon, di antaranya manglid, damar, rasamala, ekaliptus, dan buah-buahan. Namun, pohon-pohon itu butuh waktu. Setidaknya perlu beberapa tahun untuk tumbuh sehingga dapat memperbaiki daya dukung lingkungan.
Sementara di kawasan Bandung utara, hulu Sungai Cikapundung, anak Citarum, sekitar 40.000 hektar lahan berstatus kritis dan sangat kritis. Selain difungsikan menjadi kebun sayur, kawasan ini juga menjadi ”hutan beton” dengan pembangunan hotel, perumahan, dan kafe.
Kondisi di hilir juga tidak lebih baik. Lahan persawahan yang saat musim hujan berfungsi menampung air justru secara masif dikonversi menjadi perumahan. Imbasnya, risiko banjir semakin tinggi.
Baca juga: Banjir Bandung di Tengah Pandemi Covid-19
Akibatnya tidak sederhana. Awal 2020, sedikitnya 10.000 rumah di sembilan kecamatan di Kabupaten Bandung terendam banjir dengan ketinggian hingga 3 meter. Kesembilan kecamatan itu adalah Bojongsoang, Baleendah, Dayeuhkolot, Kutawaringin, Solokanjeruk, Ciparay, Cangkuang, Majalaya, dan Rancaekek. Terjadi saat pandemi Covid-19, penyintas banjir diliputi kekhawatiran penularan di pengungsian.
Kejadian ini bukanlah yang terparah. Maret 2016, banjir luapan Citarum merendam sekitar 24.000 rumah di 15 kecamatan. Banjir menyebabkan dua warga tewas akibat terseret aliran sungai dan tersengat aliran listrik.
Citarum juga menyimpan bahaya bagi anak-anak di sekitarnya. Mereka rentan tenggelam dan terbawa arus saat bermain di sungai. Teranyar, Cepi (13), warga Desa Pangauban, Kecamatan Katapang, tewas tenggelam saat berenang di Citarum bersama 11 temannya, Rabu (21/10/2020) pagi.
Ironis, meskipun sudah puluhan tahun hidup berteman banjir, warga tetap waswas saat musim hujan tiba. Nyawa masih jadi taruhannya.
Bingung memilih
Meski pasrah, Pilkada 2020 sedikit mengembuskan harapan pengendalian banjir lebih baik. Komitmen pasangan calon dalam menanggulangi banjir akan menjadi pertimbangan warga dalam menentukan pilihan.
Bambang Supriyanto (55), warga Kelurahan Andir, Baleendah, mengatakan belum melihat komitmen kuat pada ketiga pasangan calon. Hal itu membuatnya masih bingung menentukan pilihan politiknya.
”Saya akan memilih yang punya rencana dan langkah konkret dalam mengatasi banjir. Namun, hal itu belum terlihat pada tiga pasangan calon,” ujarnya, Senin (19/10/2020).
Untuk meraup dukungan masyarakat, pasangan calon perlu membuktikan keberpihakannya kepada warga korban banjir. Jika gagal, hal ini dapat menimbulkan apatisme politik. Ketiga pasangan itu adalah Kurnia Agustina-Usman Sayogi, Yena Iskandar Masoem-Atep, dan Dadang Supriatna-Sahrul Gunawan.
Bambang mencontohkan, sejauh ini, kemandirian masih menjadi milik masyarakat. Dalam menghadapi musim hujan akhir tahun ini, misalnya, warga secara gotong royong membangun rumah panggung milik seorang warga lainnya. Rumah itu sudah selesai dibangun dan kini dapat dijadikan lokasi pengungsian saat banjir datang.
Menurut dia, jika peduli terhadap warga korban banjir, seharusnya pasangan calon mendatangi rumah-rumah warga dengan menerapkan protokol kesehatan Covid-19. Bukan untuk memberikan bantuan, melainkan menyerap aspirasi warga dalam menanggulangi banjir.
”Kami belum melihat keseriusan mereka. Hal itu dapat dilihat dari kepedulian terhadap warga korban banjir,” ujarnya.
Berbagai upaya sebenarnya sudah dilakukan untuk mengatasi banjir di Kabupaten Bandung. Dalam pembangunan infrastruktur, misalnya, pemerintah telah mengoperasikan kolam retensi Cieunteung seluas 8,7 hektar di Baleendah pada Desember 2018. Ratusan rumah tangga di Kampung Cieunteung direlokasi demi pembangunan kolam retensi itu.
Baca juga: Sistem Pengendalian Banjir Ditargetkan Rampung 2020
Presiden Joko Widodo juga meresmikan pembangunan terowongan air Nanjung pada Januari 2020. Dua terowongan sepanjang 230 meter dengan diameter 8 meter tersebut diyakini meningkatkan kapasitas debit Citarum di kawasan itu, dari 570 meter kubik per detik menjadi 700 meter kubik per detik. Pembangunan infrastruktur itu melengkapi program revitalisasi Citarum Harum yang dimulai 2018 dan ditargetkan selesai tujuh tahun kemudian.
Akan tetapi, harapan sering kali tidak seindah kenyataan. Hingga dua tahun berselang, Cieunteung belum signifikan mengurangi banjir. Efektivitas Terowongan Nanjung juga terus diuji. Di sebagian kawasan, tetap butuh waktu berhari-hari agar banjir surut.
Dalam dokumen visi, misi, dan program yang dirilis Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bandung, ketiga pasangan calon juga tak menjelaskan secara detail upaya menanggulangi banjir. Selain itu, tidak ada target dalam skala waktu tertentu.
Kami belum melihat keseriusan mereka. Hal itu dapat dilihat dari kepedulian terhadap warga korban banjir.
Dalam dokumen itu, pasangan Kurnia-Usman menjabarkan 19 misi. Dua misi terakhir menyinggung persoalan lingkungan dan mitigasi bencana. Untuk mencapai misi tersebut, pasangan ini merencanakan beberapa program, di antaranya mengaktifkan forum jaga sungai, menyusun rencana induk drainase permukiman, gerakan kampung menanam, dan mengedukasi masyarakat dalam tanggap bencana.
Pasangan Kurnia-Usman diusung dua partai politik (parpol), Golkar dan Gerindra, dengan 18 kursi di DPRD. Pasangan ini menjadi simbol kekuatan petahana.
Kurnia merupakan istri Bupati Bandung 2010-2015 dan 2016-2021 Dadang M Naser. Kurnia juga anak dari Bupati Bandung 2000-2005 dan 2005-2010 Obar Sobarna. Sementara Usman berlatar belakang aparatur sipil negara. Ia merupakan mantan Kepala Badan Pendapatan Daerah Kabupaten Bandung.
Pasangan Yena-Atep menjabarkan program kerja prioritas pengembangan potensi daerah berwawasan lingkungan yang berkesinambungan. Hal itu diwujudkan dengan pengelolaan ruang terbuka hijau, pengendalian pemanfaatan lahan aset daerah, dan meningkatkan daya dukung tata ruang.
Yena-Atep diusung PDI-P dan PAN yang memiliki 11 kursi di DPRD. Yena adalah anak dari tokoh pengusaha asal Bandung, Nanang Mas’oem. Yena berlatar belakang di bidang farmasi serta mengelola sejumlah apotek dan klinik di Bandung.
Pasangannya, Atep, merupakan mantan kapten Persib, klub sepak bola asal Jawa Barat. Atep populer di kalangan pendukung Persib karena berpengalaman 10 tahun membela klub itu.
Sedangkan pasangan Dadang-Sahrul menyebutkan pembangunan fisik dan nonfisik memperhatikan kaidah wawasan lingkungan, tata ruang, dan keseimbangan alam. Sementara dalam rencana aksi bidang infrastruktur dijelaskan program revitalisasi anak-anak sungai untuk menunjang program Citarum Harum.
Dadang-Sahrul diusung PKB, Nasdem, Demokrat, dan PKS dengan total 26 kursi di DPRD. Dadang adalah mantan anggota DPRD Jabar dari Golkar. Sementara Sahrul merupakan bintang layar kaca yang berkarier sejak pertengahan 1990-an.
Belum terlihat
Seperti yang sudah-sudah, visi-misi pasti dibuat dengan tujuan mulia. Tak terkecuali dengan pilihan yang diambil para pasangan calon.
Akan tetapi, Manajer Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jabar Wahyudin Iwang mengatakan, langkah konkret yang terangkum dalam visi, misi, dan rencana kerja pasangan calon sangat minim. Rencana mengatasi banjir sering hanya dijadikan kampanye politik pasangan calon untuk meraih simpati masyarakat dalam pilkada.
”Kami belum melihat konsep-konsep yang terukur dari setiap calon untuk menyelesaikan masalah banjir,” ujarnya.
Menurut Iwang, jika pasangan calon berkomitmen menanggulangi banjir, mereka harus mempunyai perencanaan matang, mulai dari alokasi anggaran, rehabilitasi lahan, pembangunan infrastruktur, hingga pemberdayaan masyarakat. Selain itu, juga berkolaborasi bersama pemerintah pusat dan provinsi.
Kami belum melihat konsep-konsep yang terukur dari setiap calon untuk menyelesaikan masalah banjir. (Wahyudin Iwang)
”Harus jelas program dan capaian di tahun pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Jika sebatas program formalitas, rentan menjadi proyek ’bancakan’,” ujarnya.
Pilkada Kabupaten Bandung 2020 jelas tidak hanya untuk ribuan penyintas banjir. Masih ada banyak warga lain yang punya keinginan dan masalah lainnya. Namun, bukan perkara mudah bagi para penyintas banjir untuk bertahan hidup sembari menanggung luka dan malu yang sama selama puluhan tahun.