Plastik Insektisida dalam Perut Anak Gajah
Konflik hingga perburuan satwa liar berujung pada ancaman kepunahan. Penanganan cepat dan tuntas kian mendesak.
Bungkus plastik insektisida ditemukan tim gabungan dokter hewan dalam perut seekor anak gajah yang mati di usulan Kawasan Ekosistem Esensial Bukit Tigapuluh, Jambi, mengindikasikan satu fakta. Kematian itu terkait konflik antara satwa dan manusia yang belum tuntas tertangani di lanskap tersebut.
Dua pekan lalu, seekor gajah muda berusia tujuh tahun ditemukan mati di usulan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) Koridor Hidupan Liar, Bentang Alam Bukit Tigapuluh di Kabupaten Tebo, Jambi. Gajah jantan berusia tujuh tahun tersebut memiliki gading sepanjang 20 sentimeter. Darah keluar dari mulutnya.
Hasil nekropsi oleh tim dokter menunjukkan bungkus plastik insektisida dalam perut gajah. Di sekitar bangkai gajah itu ditemukan pondok penggarap lahan. Kondisinya rusak. Begitu pula berbagai perlengkapan dalam pondok itu rusak. Selain itu, ditemukan ada pupuk TSP (triple super phosphate) di sana.
Baca juga: Kawasan Ekosistem Esensial Atasi Konflik Satwa
Berdasarkan pantauan pergerakan gajah berkalung GPS oleh Tim Mitigasi Konflik Gajah dari Frankfurt Zoological Society, kelompok gajah setempat dan manusia mengalami konflik. Koordinator ECMU FZS, Alber Tetanus, menyebutkan hasil penelusuran timnya terkait kerusakan pondok serta rusaknya alat-alat masak dan temuan pupuk.
”Kematian gajah sangat terkait dengan kerusakan pondok penggarap lahan,” ujarnya, Jumat (16/10/2020).
Padahal, tempat gajah muda itu mati dialokasikan masuk dalam KEE. Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jambi juga telah membentuk forum yang bertugas menyusun rencana aksi. Selanjutnya, akan diikuti dengan pemasangan pagar listrik, pembangunan pusat pelatihan dan pendidikan gajah, serta pengembangan pariwisata berbasis alam.
Kematian gajah sangat terkait dengan kerusakan pondok penggarap lahan. (Alber Tetanus)
FZS mendata eskalasi konflik antara gajah sumatera dan manusia di ekosistem itu terjadi seiring meningkatnya okupasi dalam hutan. Pada 2010, terdata ada 96 konflik. Tahun 2011, naik menjadi 130 kasus. Pada 2017, naik lagi menjadi 271 konflik. Puncaknya, tahun 2018, terpantau 346 konflik. Konflik terjadi di kawasan hutan yang belakangan digarap pendatang untuk kebun.
Dibandingkan dengan 1985, gajah kehilangan 15 juta hektar atau 70 persen habitatnya di Sumatera yang berubah menjadi monokultur akasia dan karet, tambang, kebun sawit liar, permukiman, serta jalan.
Gajah sumatera tersebar mulai dari Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, hingga Lampung. Lebih dari 85 persen satwa ini menjelajah di luar kawasan konservasi. Tingginya alih fungsi hutan akhirnya memicu konflik gajah-manusia sekaligus memicu perburuan liar yang menekan populasi satwa itu.
Baca juga: Konflik Gajah Dispersal Butuh Penanganan Cepat
Hingga 2007, populasi gajah mencapai sekitar 2.400 ekor, susut drastis dari 15 tahun sebelumnya. Saat ini diperkirakan semakin parah, tersisa sekitar 1.400 ekor. Penyusutan itu membawanya ke dalam status terancam punah.
Gajah sumatera berstatus kritis menurut IUCN sejak 2012. Sedangkan gajah Kalimantan terancam punah. Konvensi tentang Perdagangan International Satwa dan Tumbuhan (CITES) memasukkan gajah sumatera dan gajah kalimantan dalam kelompok Appendix I di Indonesia sejak 1990. Kedua spesies tidak boleh diperdagangkan, termasuk gading dan organ tubuh lainnya.
Trenggiling
Selain gajah, ancaman kematian tak kalah dahsyat dihadapi trenggiling sunda (Manis javanicus). Bedanya, trenggiling diburu untuk diperjualbelikan sisiknya.
Seorang pedagang satwa liar dilindungi tertangkap tangan saat menjual 24,5 kilogram susuk di Jalan Lintas Sumatera, Desa Bukit Tigo, Kecamatan Singkut, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi. Hingga Jumat (16/10/2020), penyidik masih menelusuri jaringan besar di balik si pedagang satwa.
Baca juga: Konflik Gajah Dispersal Butuh Penanganan
Pedagang satwa tersebut, S (33), ditangkap tim gabungan Satuan Polisi Hutan Reaksi Cepat (SPORC) Brigade Harimau Jambi, Seksi Wilayah II, Balai Penegakan Hukum Kemeterian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sumatera, saat mengantar sisik trenggiling itu kepada pembelinya, Rabu (14/10/2020) pukul 23.00. Trenggiling dikemas dalam karung dan kotak karton dengan berat masing-masing 16,9 kg dan 7,6 kg.
Kepada penyidik, S mengaku telah membuat janji untuk bertemu dengan pembeli yang dikenalnya dari media sosial. Transaksi itu menyepakati harga sisik trenggiling Rp 3,7 juta per kilogram atau bernilai total hampir Rp 100 juta. Pembeli sudah mentransfer uang muka dan sisanya akan diberikan saat transaksi.
”Kami akan terus memantau aktivitas perdagangan satwa dilindungi, baik secara langsung maupun daring demi mengungkap jaringan perdagangan hingga akar,” ujar Eduward Hutapea, Kepala Balai Gakkum KLHK Wilayah Sumatera.
Menurut S, trenggiling kerap berkeliaran di kebun-kebun sekitar rumahnya di wilayah Sungai Kudis dan DAM Kutur. Sesekali ia bahkan mengolah daging trenggiling untuk dimasak. Karena mengetahui harga sisik trenggiling cukup menggiurkan lewat media sosial, ia pun memanfaatkannya.
Menurut Eduward, penyidik akan mengenakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya untuk menjerat pelaku. Ancaman hukumannya 5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta.
Penelusuran tidak berhenti pada S. Eduward melanjutkan, pihaknya akan menelusuri jaringan perdagangannya terus ke hilir.
Ia pun mengapresiasi masyarakat yang aktif mengamati serta melaporkan perdagangan ilegal tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi tersebut. Menurut dia, kondisi trenggiling kini semakin terancam. Trenggiling telah masuk ke dalam daftar Appendix II CITES, daftar spesies dilindungi yang terancam punah. Daftar satwa di dalamnya tidak boleh diperdagangan antarnegara.
Di Indonesia, trenggiling hidup di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Hasil penelitian Traffic International menyebut Indonesia sebagai habitat spesies endemik trenggiling sunda. Namun, statusnya telah Sangat Terancam Punah dalam daftar merah IUCN. Trenggiling merupakan yang paling masif diburu untuk diperdagangkan dengan tujuan akhir ke China dan Vietnam.
Evaluasi 10 tahun perdagangan ilegal satwa dilindungi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Wildlife Conservation Society (WCS) menunjukkan, terjadi peningkatan kasus perdagangan setiap tahun. Semakin tingginya angka kasus didorong oleh upaya pengungkapan.
Namun, yang makin mengkhawatirkan adalah soal maraknya perdagangan lewat pasar daring. Akses informasi dan teknologi menjadi pintu masuk para pedagang satwa untuk menjual, membeli, dan bertukar. Termasuk pula melakukan transaksi keuangan untuk menutupi, mempermudah, dan mempercepat jalannya transaksi ilegal tersebut.
Yang paling digemari belakangan adalah Facebook dan Instagram. Keduanya memiliki daya tarik iklan yang tinggi. Data Hootsuite, Indonesian Digital Report Januari 2019, tercatat 130 juta pengguna akun di Facebook dan 62 juta pengguna Instagram yang melihat iklan.
Kecepatan memperoleh informasi inilah yang dimanfaatkan untuk berdagang satwa lewat media sosial. Apalagi tidak diperlukan biaya tambahan untuk menggelar lapak.
Yang makin mengkhawatirkan adalah soal maraknya perdagangan lewat pasar daring. Akses informasi dan teknologi menjadi pintu masuk para pedagang satwa untuk menjual, membeli, dan bertukar. Termasuk pula melakukan transaksi keuangan untuk menutupi, mempermudah, dan mempercepat jalannya transaksi ilegal tersebut.
Hootsuite juga menyebut sepanjang 2017, terdata ada 61 lapak penjualan satwa per bulan di media sosial. Naik menjadi 86 iklan per bulan pada 2018.
Demi menghindari endusan aparat, para pedagang satwa daring menyamarkan identitas barang dagangannya. Misalnya, dengan mengganti kata kunci untuk setiap unggahan dan dibuat menjadi lebih umum istilahnya, seolah-olah bukan satwa dilindungi.