Islam sejatinya agama yang inklusif, yang terbuka, dan mengajarkan toleransi. Hanya saja, penyederhanaan demokrasi secara berlebihan menjadikan sebagian orang sekarang terjebak dalam mayoritarianisme berbasis agama.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Islam sejatinya agama yang substantif dan inklusif, yang terbuka dan mengajarkan toleransi. Hanya saja, penyederhanaan demokrasi secara berlebihan menjadikan sebagian orang sekarang terjebak dalam mayoritarianisme berbasis agama. Oleh karena itu, tokoh-tokoh bangsa diharapkan menjadi agen yang mereproduksi pemahaman islam inklusif tersebut.
Hal itu menjadi inti dari bedah buku Islam dan Kemerdekaan Beragama karya KH Oesman Mansoer, tokoh Islam sekaligus salah satu pendiri Universitas Islam Malang (Unisma), Senin (26/10/2020), di Unisma. Buku tersebut diterbitkan ulang setelah cetak pertama tahun 1968. Acara bedah buku diselenggarakan oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unisma.
KH Oesman Mansoer pernah mengajar Islamologi di GKJW di Malang sebelum Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dosen, tokoh Islam, sekaligus pensiunan TNI AD tersebut pernah diminta oleh Markas Besar TNI AD menjadi representasi Nahdlatul Ulama (NU) untuk membuat rumusan penafsiran Pancasila dari tinjauan Islam. Pandangan itu dipaparkan dalam seminar AD pada tahun 1958.
Hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut Alissa Wahid (Koordinator Nasional Gusdurian), Airlangga Pribadi (dosen FISIP Universitas Airlangga), M Zainuddin (Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim), dan Pendeta Chrysta Andrea (pengajar di Institut Pendidikan Theologi Balewiyata GKJW Malang). Acara dibuka oleh Dekan FEB Unisma Nur Diana.
”Buku ini mengingatkan kita yang Muslim untuk selalu menyelami apa arti menjadi orang Muslim di Indonesia, yang Bhinneka Tunggal Ika. Menjaga kita di tengah aku. Apalagi di tengah situasi kini yang penuh polarisasi,” kata Alissa Wahid.
Menurut Alissa, saat ini menguat mayoritarianisme berbasis agama. Hal itu tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara lain. Hal itu terjadi karena sentimen agama di dalam politik juga menguat. Sentimen itu berasal dari tumbuhnya praktik beragama yang eksklusif legal formalistik. Berbeda dengan Islam yang substantif inklusif, yang menurut Alissa, menjaga ruang hidup bersama dengan yang berbeda keyakinan.
”KH Oesman Mansoer mengajarkan bahwa Islam hidup di Indonesia sehingga harus inklusif atau menjaga ruang hidup bersama dengan berbagai orang yang berbeda agama, suku, dan lainnya,” kata Alissa.
KH Oesman Mansoer mengajarkan bahwa Islam hidup di Indonesia sehingga harus inklusif atau menjaga ruang hidup bersama dengan berbagai orang yang berbeda agama, suku, dan lainnya. (Alissa Wahid)
Progresif
Airlangga Pribadi, dosen FISIP Universitas Airlangga, mengatakan bahwa dari pikiran KH Oesman Mansoer tersebut membuktikan bahwa Islam progresif sudah ada sejak sebelum Gus Dur. Selama ini orang menilai bahwa pemikiran-pemikiran Islam progresif berkembang di era Gus Dur. Islam progresif adalah gagasan yang mencoba menafsirkan hermeunetik teks Al Quran dalam konteks relevansi sosialnya.
”Islam progresif ini berangkat dari seruan-seruan normatif dari teks agama dengan lebih menekankan pemahaman agama tentang sesuatu hal seperti keadilan, kesetaraan, solidaritas bersama, kemerdekaan, dan seterusnya dan dibumikan dalam proses sosial yang terus berubah dan berlangsung,” kata Airlangga.
Menurut Airlangga, untuk membumikan pemahaman Islam progresif seiring zaman, maka butuh proses dialog dan reproduksi pengetahuan dan penyadaran terus-menerus. ”Butuh agen-agen sosial, butuh bahasa-bahasa yang dipahami masyarakat atau komunitas strategis sasaran, serta membuat nilai-nilai pemahaman itu lebih aktual, yaitu bahwa manifestasi Islam progresif itu sejalan dengan agenda masyarakat Indonesia. Misalnya bagaimana Islam progresif menjawab persoalan buruh, petani, dan lainnya,” katanya.
Menurut Airlangga, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh pendidikan punya peran penting dalam mereproduksi pemikiran dan pemahaman Islam progresif tersebut.
Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim M Zainuddin mengatakan, persoalan agama di Indonesia adalah terjadinya tarik menarik antara Islam ”garis keras” dan Islam moderat. ”Sehingga kemudian, kebijakan pemerintah seperti omnibus law, kemudian ditarik-tarik atau digoreng dengan berbasis agama. Padahal, itu semua harus dipahami dalam konteks yang lebih besar. Di sini, kalau tidak dikelola dengan baik, akan terjadi chaos. Dan itu harapan luar negeri itu,” katanya.
Menurut Zainuddin, sebaiknya organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah sebagai pilar negara harus bersatu dan tidak boleh terpecah-belah. Ini akan menjadi contoh bagi masyarakat luas. ” Bersatu itu bukan pilihan, melainkan keharusan,” katanya.
Adapun terkait bedah buku tersebut, putra ke-8 dari 11 anak KH Oesman Mansoer, Muhammad Nur Uddin, berharap bahwa nilai-nilai dalam buku tersebut bisa menjadi pembelajaran bersama bagi bangsa Indonesia.
” Menurut pandangan keluarga besar KH Oesman Mansoer, buku ini harus dicetak ulang karena situasi nasional yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang ini. Bahwa isu agama kini mengemuka menjadi fenomena sosial, terkait politik menggunakan identitas/jargon dari teks agama Islam. Bahwa seharusnya Islam itu inklusif dan toleran sebagaimana Pancasila yang kita jadikan dasar negara. Jangan lagi identitas primordial yang diusung dan dikuatkan,” kata Uddin.
Dekan FEB Unisma Nur Diana berharap, diskusi dan bedah buku tersebut menjadi salah satu cara mentransfer ilmu bahwa Islam sangat menghormati kemerdekaan beragama. ” Kami berharap dengan acara ini, kita semua memahami problem-problem intoleransi yang mengancam negara kita, dan bagaimana sesungguhnya Islam mengajarkan kemerdekaan beragama. Itu penting dikuatkan ke depannya,” kata Diana.