NTB Siapkan Sejumlah Langkah Hentikan Kerusakan Hutan
Pihak-pihak terkait, mulai dari pemerintah daerah hingga aparat penegak hukum, sepakat untuk bersama-sama menghentikan laju kerusakan hutan di NTB.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Laju kerusakan hutan di wilayah Nusa Tenggara Barat terus meningkat dan belum bisa dikendalikan akibat kian masifnya aktivitas ilegal di kawasan hutan. Pihak-pihak terkait, mulai dari pemerintah daerah hingga aparat penegak hukum, sepakat untuk bersama-sama menghentikan laju kerusakan hutan.
Kesepakatan itu dilakukan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Provinsi NTB dalam rapat koordinasi terkait perkembangan, perlindungan, dan pengamanan hutan serta kondisi hutan di Provinsi NTB, Sabtu (24/10/2020) malam.
Hadir dalam pertemuan itu, antara lain, Gubernur NTB Zulkieflimansyah beserta jajaran, Wakil Kepala Kepolisian Daerah NTB Brigadir Jenderal (Pol) Absy Mahyuza, Komandan Rayon Militer 162/Wira Bhakti Brigadir Jenderal (TNI) Ahmad Rizal Ramdhani, dan Kepala Kejaksaan Tinggi Provinsi NTB Nanang Sigit Yulianto.
Melalui siaran resmi Biro Humas dan Protokol Provinsi NTB, Minggu (25/10/2020), Zulkieflimansyah dalam pertemuan itu mengatakan, pembalakan liar yang terjadi di NTB semakin masif sehingga dibutuhkan sinergi semua pemangku kepentingan untuk menghentikannya. Apalagi dampaknya mulai terlihat, seperti banyaknya hutan yang hilang dan sumber air yang kurang.
Menurut Zulkieflimansyah, pihaknya melihat banyak masyarakat membuka lahan dengan membakar hutan. ”Itu sangat disayangkan. Ketika kami naik helikopter, kami melihat banyak hutan yang dibakar,” katanya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi NTB Madani Mukarom mengatakan, 53 persen wilayah NTB merupakan kawasan hutan dengan luas 1.071.722 hektar. Saat ini, hingga Oktober 2020, sekitar 360.000 hektar rusak. Kerusakan itu akibat pembalakan liar, peladangan hutan, penggarapan hutan adat, pembuatan permukiman, dan lainnya.
Menurut Ahmad Rizal, untuk menyikapi hal itu, diperlukan proses hukum dan sanksi yang tegas bagi pelaku pembalakan liar. Selain itu, harus dilakukan pemetaan terkait kawasan yang boleh ditanami masyarakat seperti jagung. Nanang menambahkan, perlu ada tim terpadu yang melibatkan semua pihak terkait yang bertugas mengontrol semua tugas di lapangan sehingga bisa berjalan sesuai harapan.
Empat poin
Menindaklanjuti hal itu, para pihak menyepakati beberapa hal. Pertama, melarang kayu keluar dari Pulau Sumbawa dan Pulau Lombok atau keluar NTB.
Larangan itu dilakukan dengan membuat moratorium penerbitan surat keterangan asal-usul (SKAU). SKAU yang diterbitkan oleh kepala desa atau lurah atau pejabat yang setara adalah dokumen angkutan yang menyatakan penguasaan, kepemilikan, dan sekaligus sebagai bukti legalitas pengangkutan hasil hutan hak (kayu bulat dan kayu olahan rakyat).
Melarang kayu keluar dari Pulau Sumbawa dan Pulau Lombok atau keluar NTB.
Kesepakatan kedua adalah menugaskan Dinas LHK Provinsi NTB untuk membuat peta wilayah mana yang boleh dan tidak boleh ditanami jagung untuk menghindari penjarahan hutan yang berkelanjutan.
Ketiga, Tim Gugus Tugas Kehutanan dan Illegal Logging diperkuat dengan melibatkan masyarakat, tokoh agama, organisasi pemuda, dan lainnya.
Keempat, segera meminta masukan yang sistemik dan komprehensif dari para ahli dan aktivis lingkungan agar NTB dihijaukan kembali. Harapannya, hutan di NTB kembali asri dan lestari.