Polisi Tetapkan Tiga Tersangka atas Kasus Longsor Jalur Tambang di Muara Enim
Polda Sumsel menetapkan tiga tersangka atas musibah tanah longsor yang menewaskan 11 orang di kawasan Tanjung Lalang, Kecamatan Tanjung Agung, Muara Enim. Ketiganya adalah pekerja yang selamat dalam peristiwa itu.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Polda Sumatera Selatan menetapkan tiga tersangka atas musibah tanah longsor yang menewaskan 11 orang di kawasan Tanjung Lalang, Kecamatan Tanjung Agung, Muara Enim. Ketiganya adalah pengelola dan pekerja yang selamat dalam peristiwa naas tersebut. Kemungkinan tersangka akan bertambah mengingat pemeriksaan terhadap sejumlah saksi terus berlanjut, termasuk kepada pemilik lahan dan pengelola.
Kepala Bidang Humas Polda Sumsel Komisaris Besar Supriadi, Jumat (23/10/2020), mengatakan, ketiga tersangka adalah BG (38), warga Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur; MD (26), warga Lampung Selatan, Lampung; dan DG (56), warga Bandung Selatan, Jawa Barat. Ketiganya adalah petambang batubara yang selamat dalam peristiwa naas tersebut.
Mereka ditetapkan sebagai tersangka lantaran ikut menggali batubara secara ilegal bersama 11 korban tewas. Selain menahan ketiga tersangka, polisi juga menyita cangkul, pelencong, dan ember yang dijadikan barang bukti.
Supriadi menegaskan, tersangka bisa saja bertambah karena pemeriksaan terus berlangsung. Saat ini ada delapan saksi yang sedang diperiksa, dua di antaranya HL, pemilik lahan pertambangan, dan IT, pengelola pertambangan. ”Enam saksi lain adalah warga setempat yang berada di sekitar pertambangan ilegal.
Supriadi menerangkan, kawasan pertambangan batubara ilegal tersebut ada di tengah perkebunan kelapa sawit milik warga. Kemudian, dilakukan penggalian untuk mengambil kandungan batubara yang ada di dalamnya. ”Aktivitas ini baru berjalan dua minggu, baru mulai membuka jalan tambang,” ucapnya.
Supriadi menuturkan, di sekitar lahan tambang tersebut belum ada pertambangan ilegal lain. Namun, jika ditemukan batubara di tempat penggalian ini, bukan tidak mungkin aktivitas serupa menjamur di tempat lain.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, ujar Supriadi, batubara yang akan mereka jual berkalori rendah. Kemungkinan hanya akan dijadikan bahan bakar bagi industri atau rumah tangga.
Atas perbuatannya, tersangka dijerat Pasal 158 UU No 4/2009 tentang Pertambangan Minerba dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar.
Bukan hanya petambang dan pengelola, ujar Supriadi, pihaknya juga akan menyelidiki kemungkinan keterlibatan oknum petugas. ”Namun, sampai sekarang belum ada indikasi ke arah itu,” katanya. Dia menuturkan, aktivitas ini tidak terdeteksi karena mereka baru membuka mulut tambang.
Untuk mencegah kejadian ini tidak terulang, ujar Supriadi, pihaknya akan memperketat pengawasan, terutama dengan mengoptimalkan peran Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat yang bersentuhan langsung dengan masyarakat setempat. ”Mereka yang tahu jika ada gerak-gerik yang mencurigakan di wilayahnya,” ujar Supriadi.
Sebelumnya, Direktur Pilar Nusantara, lembaga swadaya masyarakat yang mengamati aktivitas batubara di Sumsel, Rabin Ibnu Zainal mengutarakan, aktivitas tambang batubara ilegal ini cukup menjamur di Muara Enim, terutama di dekat kawasan izin usaha pertambangan (IUP) perusahaan tambang atau di lahan warga.
Untuk membuka kawasan itu biasanya dimulai dengan kesepakatan antara pemilik lahan dan pengelola dari setiap hasil batubara yang mereka dapat. ”Biasanya pemilik lahan mendapat jatah Rp 1.000 per karung yang didapat,” ucapnya. Biasanya dalam satu lubang, petambang bisa menghasilkan 50 karung dengan berat per karung 40 kg.
Pemilik lahan biasanya meminta uang muka Rp 15 juta sebelum penambangan dimulai. Itu sebabnya, untuk membuka pertambangan ini, pemodal mesti memiliki uang yang cukup besar, bahkan mencapai miliaran.
Kalau aktivitas ini terus dibiarkan, besar kemungkinan akan banyak lagi korban yang berjatuhan.
Hasil yang pemodal dapatkan cukup besar. Rabin memprediksi, setiap mulut tambang berpotensi menghasilkan 14.600 ton batubara dengan omzet mencapai Rp 16,9 miliar per tahun. Dia berharap ada pengawasan yang terus-menerus dari pihak berwenang sehingga kejadian ini tidak berulang. Kasus longsor di kawasan tambang batubara ilegal kerap terjadi.
Sebelum kejadian ini, pada 2018, ujar Rabin, sepasang suami istri meninggal saat menambang batubara di tambang ilegal. ”Kalau aktivitas ini terus dibiarkan, besar kemungkinan akan banyak lagi korban yang berjatuhan,” ucapnya.
Wakil Komisi VII DPR Alex Noerdin menyarankan agar penindakan juga diberlakukan kepada penadah atau di sektor hilirnya. ”Aktivitas penambangan ilegal masih berlangsung karena masih ada permintaan,” ucapnya.
Selain itu, pemerintah pusat juga perlu turun tangan untuk mengantisipasi masalah ini karena aktivitas ilegal ini melibatkan banyak pihak, tidak hanya di Sumatera Selatan, tetapi juga lintas provinsi, seperti Lampung, bahkan sampai Jawa Barat.
Alex juga meminta agar pengawasan tidak hanya dilakukan dalam waktu tertentu, tetapi juga berkelanjutan. ”Seperti kasus sekarang ini, hari ini mereka berhenti menambang, dua hari lagi pasti akan berlanjut lagi,” ujar Alex.