Pilihan antara Insting dan Hasrat Menonton
Layanan bioskop sudah dibuka di beberapa daerah, salah satunya Kota Bandung, Jawa Barat, sejak awal Oktober. Namun, sekadar menyajikan film atau datang tanpa persiapan matang jelas bukan tindakan bijaksana kala pandemi.
Layanan bioskop sudah dibuka di beberapa daerah, salah satunya Kota Bandung, Jawa Barat, sejak awal Oktober. Sajian film layar lebar ditemani suara menggelegar kembali menanti penonton. Namun, sekadar menyajikan film atau datang tanpa persiapan matang jelas bukan tindakan bijaksana kala pandemi Covid-19 masih mengancam.
Senin (19/10/2020) sore, Sri Mulyani (20) berteman sepi di ruang tunggu salah satu bioskop di pusat kota Bandung. Dia sendirian. Salah seorang penjaga ada jauh di ujung lorong. Suara film yang tengah diputar dari salah satu ruang terdengar samar-samar.
”Lagi tunggu teman. Mungkin terjebak hujan,” ujarnya cemas. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 18.00 atau tinggal 15 menit lagi sebelum jadwal film yang ditunggunya diputar. Sore itu, Bandung memang diguyur hujan lebat.
Sri mengatakan, untuk pertama kalinya datang lagi ke bioskop, terhitung sejak tujuh bulan lalu. Pandemi Covid-19 membuat semua bioskop di seluruh Indonesia terlarang didatangi, termasuk di Kota Bandung. Penikmat layar lebar pun gigit jari.
Oktober ini, dengan berbagai pertimbangan, bioskop kembali dibuka terbatas. Di Bandung, bioskop buka lagi sejak 9 Oktober. Sri senang. Momennya bertepatan dengan pemutaran film Train to Busan 2: Peninsula.
Film Korea Selatan ini adalah sekuel Train To Busan. Kisahnya tentang sekelompok manusia yang berusaha menyelamatkan diri dari serangan zombi. Zombi itu awalnya manusia, tetapi berubah perangai setelah terkontaminasi virus ganas.
Kegembiraan Sri mengalahkan kekhawatiran di era pandemi. Dia tidak cemas ada di ruang tertutup, seperti teater bioskop. Sri optimistis protokol kesehatan sudah diterapkan pengelola bioskop. Lagipula, Sri yakin virus ganas dalam Train to Busan tidak sama dengan virus berbahaya SARS CoV-2 penyebab Covid-19.
”Nonton di bioskop lebih puas, apalagi film horor action. Saya butuh suara dan visual bagus,” ujarnya sembari buru-buru masuk ruang teater setelah teman yang ia tunggu datang.
Baca juga: Bandung Buka Bioskop
Setidaknya sejak Maret 2020 atau saat kasus Covid-19 pertama ditemukan di Indonesia, menonton bioskop memang menjadi tidak sederhana lagi. Bioskop kini boleh buka dengan aturan ketat. Satgas Penanganan Covid-19 menyusun beragam batasan dan kewajiban yang harus dipenuhi pengelola bioskop.
Dalam dokumen Kajian Perencanaan Pembukaan Kembali Bioskop/Cinema di Indonesia Selama Masa Pandemi Covid-19 disebutkan ada tiga titik kritis transmisi wabah. Ketiganya adalah sebelum, saat di dalam, dan ketika keluar ruang teater.
Oleh karena itu, ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi. Syarat usia, misalnya, hanya rentang usia 12-60 tahun yang boleh datang ke bioskop. Belum cukup, mereka harus lolos skrining, yaitu tidak bergejala sakit.
Selain itu, di dalam teater ada area jarak radius 1 meter antarpenonton. Tidak boleh makan dan minum di dalam teater. Fasilitas penjualan makanan dan area gim ditiadakan. Ada juga jarak aman antrean pembelian tiket, masuk teater, dan ke toilet.
Pengelola juga harus memastikan sirkulasi udara di seluruh fasilitas di bioskop. Di dalam teater dan semua area bioskop pun ada larangan berbicara, tertawa, serta berkumpul. Jika ada pelanggaran, izin usaha bioskop itu bisa dicabut.
Ketua Asosiasi Perusahaan Film Indonesia Chand Parwez Servia menuturkan, dibukanya kembali bioskop bisa berarti banyak hal, selain motif ekonomi. Salah satunya, jadi jembatan pembawa pesan baik bagi masyarakat di tengah pandemi.
Ia mengatakan, bioskop bisa menjadi sarana membiasakan masyarakat dalam adaptasi kebiasaan baru. Semua yang masuk bioskop harus sehat dan menjaga jarak. ”Mereka yang mau menonton pasti sudah mempersiapkan diri. Penonton datang dengan keputusan dan pilihannya masing-masing,” ujarnya.
Dibukanya kembali bioskop bisa berarti banyak hal, selain motif ekonomi. Salah satunya, jadi jembatan pembawa pesan baik bagi masyarakat di tengah pandemi.
Peran penting
Pendapat itu tidak keliru. Bioskop dan film memang lebih dari sekadar sarana hiburan. Sejarah mencatat, keduanya pernah ikut berhadapan dengan wabah. Atep Kurnia dalam bukunya Jaman Woneng : Wabah Sampar di Priangan, 1925-1937 mengatakan, film dan bioskop jalanan ikut mendukung upaya menekan wabah sampar di Jabar, khususnya Bandung.
Upaya itu dilakukan bersama antara pemerintah daerah dan panitia Jaarbeurs tahun 1929. Jaarbeurs adalah bursa pekan raya tahunan di Bandung yang digelar sejak tahun 1919. Di sana, dipamerkan berbagai hasil produksi industri berskala internasional. Berlangsung 22 Juni-7 Juli, tercatat ada 226.227 orang mengunjungi Jaarbeurs ke-10 itu.
Digelar di tengah wabah sampar, panitia Jaarbeurs masih menyelipkan kepedulian. Mereka menawarkan tempat terbuka kepada Bupati Bandung, Kepala Dinas Propaganda Kesehatan Masyarakat, dan Kepala Kesehatan di Bandung. Di sana, bisa digunakan sebagai tempat pemutaran film tentang pencegahan dan penanganan wabah sampar.
Gayung bersambut, meski dilakukan setelah Jaabeurs usai, pemutaran film tetap berjalan. Pada Minggu 15 Juli 1929, acaranya digelar dua kali di Bandung. Musik gamelan menggema dengan pengeras suara menarik minat lebih banyak orang. Penduduk pribumi berdatangan menggunakan truk. Penonton yang datang menyaksikan sajian itu lebih kurang 2.000 orang.
Selain wabah, film dan bioskop juga teruji menjaga kekuatan dan ikatan bangsa. Johan Tjasmadi dalam buku 100 Tahun Bioskop di Indonesia 1900-2000, sejak Loetoeng Kasaroeng, film yang pertama dibuat di Hindia Belanda tahun 1926, film lebih dari sekadar tontonan. Saat itu, peran Bupati Bandung Wiranatakoesoemah V sangat signifikan. Punya minat besar pada seni budaya lokal, dia berperan besar melahirkan film itu.
Di era perjuangan merebut kemerdekaan, film dan bioskop kembali ambil peran. Uang karcis pemutaran film di bioskop di Jawa Timur dan Jawa Tengah digunakan untuk membiayai perang pejuang kemerdekaan. Bahkan, setelah kemerdekaan film-film semacam Darah dan Doa (1950) serta Enam Djam di Djogja (1951) punya misi menjaga semangat rakyat kala itu.
Akan tetapi, geger peristiwa 1965 merusak gairah film dan bioskop di Indonesia. Bukan akibat wabah penyakit, kala itu ada aturan jam malam akibat kondisi keamanan yang belum stabil. Produksi film merosot kala itu.
Akibatnya, satu per satu bioskop gulung tikar. Di tahun 1965, tercatat tinggal 350 unit dengan kondisi seadanya. Padahal, lima tahun sebelumnya tercatat ada 890 unit. Baru masuk tahun 1970-an, film dan bioskop kembali menggeliat lewat serangkaian perbaikan kualitas film hingga sumber daya manusia.
Baca juga: Terbentur-bentur, Lalu Terbentuk
Terpukul
Kini, masa berat itu datang lagi meski dalam wujud berbeda, tak terlihat karena berupa virus berbahaya. Kehadirannya bisa jadi belum menghancurkan sendi perfilman, tetapi jelas sudah sangat menekan denyut kehidupan para pelakunya.
Chand mengatakan, awalnya Indonesia menargetkan 60 juta penonton film di tahun 2020. Dari target tersebut, estimasi pendapatan dari industri bioskop mencapai Rp 3 triliun. Namun, semua pupus akibat pandemi. ”Semenjak pandemi, tiket bioskop baru terjual 12,9 juta hingga 23 Maret 2020. Padahal, jika targetnya 60 juta, seharusnya saat itu sudah terjual 15 juta tiket,” tuturnya.
Pandemi juga berdampak pada membengkaknya ongkos produksi film. Harus menambah fasilitas protokol kesehatan, peningkatan biaya produksinya mencapai 30 persen. Tidak hanya itu, waktu produksi film juga lebih lama. Perlu waktu khusus guna menjamin kesehatan tubuh semua kru hingga permerannya.
Sebagai produser Starvision Movie, Chand mencontohkan dirinya sendiri. Dia hanya memproduksi 6 film selama tahun ini. ”Biasanya, kami memproduksi 8-9 film per tahun berbiaya hingga Rp 8 miliar per film. Tahun ini, hanya enam film dengan biaya Rp 10 miliar per film,” ujarnya.
Pandemi juga berdampak pada membengkaknya ongkos produksi film. Tidak hanya itu, waktu produksi film juga lebih lama.
Pengelola bioskop mengatakan dampak serupa. Public Relation Manager CGV Cinemas Hariman Chalid menuturkan, pihaknya membuka enam bioskop di Bandung setelah izin turun dari pemda setempat.
Akan tetapi, tingkat keterisian bangkunya masih minim, tidak sampai 50 persen. Hariman mengatakan, penyebabnya beragam. Selain pandemi, bisa jadi masyarakat enggan datang karena belum ada film baru yang diputar. Tidak sedikit produksi dan pemutaran perdana film dalam dan luar negeri terkendala pandemi.
Ke depan, Hariman mengatakan, pihaknya akan melakukan promosi penerapan protokol kesehatan maksimal seusai rekomendasi Satgas Penanganan
Covid-19. Semua dilakukan agar masyarakat mendapat jaminan rasa aman saat menonton film-film pilihan.
Di rumah
Kekhawatiran warga dan penikmat film beralasan. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Bandung per Senin (19/10/2020), total keseluruhan kasus Covid-19 mencapai 1.750 pasien. Sebanyak 176 orang di antaranya masih menjalani isolasi. Tercatat ada 1.502 pasien sembuh, tetapi 72 orang meninggal.
Sejauh ini, Kepala Dinkes Kota Bandung Rita Verita masih mengimbau masyarakat meminimalisir aktivitas di luar rumah, termasuk menonton di bioskop. Rita menuturkan, sirkulasi udara tertutup berpendingin udara bisa jadi rentan menyebarkan virus saat pandemi.
”Pahami kondisi tubuh. Jangan menonton film di bioskop jika kurang fit,” ujar Rita.
Rana (27), warga Dago, Bandung, memahami ajakan itu. Kerap menghabiskan waktu beraktivitas di luar rumah, termasuk bioskop, ia kini membatasi diri. Sebagai gantinya, sejak pertengahan tahun ini, Rana mulai berlangganan layanan sinema berbayar. Kata dia, layanannya ternyata tak kalah seru meski tanpa dukungan suara mengelegar dan layar raksasa.
Sebagai gantinya, Rana mengatakan, kini punya banyak pilihan tontonan. Dia bahkan bisa mengeksplorasi berbagai genre film yang sebelumnya tidak dilihat di bioskop.
Sejauh ini, dia puas dengan pilihan barunya. Oleh karena itu, saat mendengar kabar bioskop di Bandung dibuka lagi, Rana belum antusias. Dia tetap memilih di rumah. ”Insting bertahan hidup lebih besar daripada hasrat untuk menonton,” tuturnya berkelakar.
Tak mudah menentukan pilihan di saat pandemi. Semuanya punya akibat dan kesenangannya masing-masing. Namun, dianggap lebih berisiko, bioskop dan pelaku industri perfilman dituntut kian ketat menerapkan ragam langkah meminimalkan penularan Covid-19 kian meluas.
Baca juga: Bangkitkan Suasana Hati dengan Film