Bagi-bagi Tanah kepada 152 Orang, Mantan Wali Kota Kupang Jonas Salean Ditahan
Wali Kota Kupang periode 2012-2017 Jonas Salean ditetapkan sebagai tersangka kasus bagi-bagi tanah kepada 152 orang. Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur menahan Jonas pada Jumat (23/10/2020).
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Wali Kota Kupang periode 2012-2017 Jonas Salean ditetapkan sebagai tersangka kasus bagi-bagi tanah kepada 152 orang di dua lokasi berbeda di wilayah pemerintahan Kota Kupang. Setelah dilakukan gelar perkara atas kasus itu, Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur langsung menahan yang bersangkutan bersama seorang pejabat Pemerintah Kota Kupang saat itu. Penasihat hukum Jonas Salean membantah bahwa tanah yang dibagikan itu milik negara.
Kepala Seksi Penerangan dan Informasi Hukum Kejaksaan Tinggi NTT Abdul Hakim di Kupang, Jumat (23/10/2020), mengatakan, tanah yang yang dibagi-bagikan itu berada di Jalan Veteran, Kota Kupang, tepatnya di depan Hotel Sasando. Tanah seluas 24.2 hektar dibagi-bagikan kepada 152 orang. Masing-masing mendapatkan luas tanah berbeda.
”Kemarin, 22 Oktober 2020, penyidik menahan tersangka setelah menjalani pemeriksaan dari pukul 09.14 sampai dengan pukul 14.22 Wita. Selain tersangka JS, penyidik juga menahan tersangka lain berinisial TM,” katanya.
Jonas Salean menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Tinggi Kupang sejak Agustus 2020. Ia diduga terlibat dalam pengalihan tanah negara untuk dibagi-bagikan kepada 152 orang. Mereka yang menerima pembagian tanah adalah pejabat di lingkungan Pemkot Kupang, anggota DPRD, PNS, dan pegawai tidak tetap di lingkungan Pemkot.
Kejati juga menyita 40 sertifikat tanah untuk 40 bidang tanah sebagai barang bukti. Sebagian sertifikat bidang tanah sedang dalam proses penerbitan.
Jonas Salean saat ini menjadi anggota DPRD NTT periode 2019-2024 dari Fraksi Golkar dan duduk di Komisi I DPRD NTT.
Sebelum Jonas Salean, Kejati NTT menahan Wali Kota Kupang periode 2008-2012 Daniel Adoe karena terlibat kasus korupsi dana pendidikan. Daniel Adoe kemudian digantikan oleh Jonas Salean.
Jonas Salean menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Tinggi Kupang sejak Agustus 2020. Ia diduga terlibat dalam pengalihan tanah negara untuk dibagi-bagikan kepada 152 orang. Mereka yang menerima pembagian tanah adalah pejabat di lingkungan Pemkot Kupang, anggota DPRD, PNS, dan pegawai tidak tetap di lingkungan Pemkot.
Penasihat hukum Jonas Salean, John Rihi, mengatakan, tim kuasa hukum Jonas Salean akan bertemu untuk mengambil langkah hukum selanjutnya. Sebelumnya, kuasa hukum sudah mengajukan surat penangguhan penahanan, tetapi tidak dikabulkan penyidik Kejati NTT.
Ia mengatakan, hari ini kliennya dipanggil untuk diperiksa sebagai saksi, tetapi pada pukul 14.22 langsung ditahan. Tim kuasa hukum akan membuktikan apakah tanah itu milik negara atau bukan.
”Beda persepsi antara tim pengacara dan pihak kejaksaan soal status tanah itu. Kejaksaan menilai tanah itu milik negara atau aset negara, aset Pemkot. Tetapi, kami melihat tanah itu bukan aset negara. Buktinya, selama ini tidak ada sertifikat di atas tanah itu,” kata John.
Karena itu, ia menegaskan, di pengadilan nanti pihaknya akan meminta bukti dari kejaksaan bahwa tanah itu milik negara, dalam hal ini Pemkot Kupang. Sertifikat tanah baru diterbitkan setelah tanah itu dikapling-kapling tahun 2017. Sebelumnya, tanah itu tidak bersertifikat sama sekali.
Pembagian tanah di Kota Kupang untuk kepentingan kelompok atau perorangan itu, menurut John Rihi, sudah dilakukan wali kota terdahulu, tetapi tidak pernah dipersoalkan. Tentu wali kota-wali kota saat itu telah mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk aspek hukum, sebelum memanfaatkan atau menguasai tanah itu.
Dosen Hukum Universitas Nusa Cendana, Kupang, John Tuba Helan, mengatakan, tidak ada tanah negara di Kota Kupang. Yang ada adalah tanah aset Kota Kupang. Tanah yang dibagi-bagikan Jonas Salean itu berada dalam wilayah pemerintahan Kota Kupang sehingga merupakan aset Kota Kupang.
”Tanah negara adalah tanah yang tidak dilekatkan hak apa pun di atasnya sehingga sesuai dengan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, isinya bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tetapi, tanah itu aset Pemkot,” katanya.
Jika itu tanah negara, ada mekanisme pembagian kepada masyarakat. Wali kota atau pejabat lain tidak sewenang-wenang membagi tanah kepada orang lain tanpa prosedur hukum.
”Jangan menyalahgunakan wewenang sebagai pejabat dan penguasa. Semua kebijakan sebagai penguasa harus bisa dipertanggungjawabkan secara hukum,” ujarnya.