Serapan Dana Pinjaman untuk Nelayan di Bitung Hanya 0,002 Persen
Serapan dana bantuan modal LPMUKP untuk sektor perikanan tangkap di Bitung, Sulawesi Utara, hanya mencapai 0,002 persen. Sosialisasi dan pendampingan bagi nelayan mesti digencarkan.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Serapan dana bantuan modal untuk sektor perikanan tangkap di Bitung, Sulawesi Utara, hanya mencapai 0,002 persen dari anggaran yang disiapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Beberapa lembaga swadaya masyarakat akan mendampingi nelayan agar dapat mengakses modal pengembangan usaha itu.
Dihubungi dari Manado, Rabu (21/10/2020), pengelola Fisher Center Bitung Laode Hardiani mengatakan, Badan Layanan Umum Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (BLU LPMUKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyediakan dana bantuan modal sebesar Rp 1,3 triliun. Di Bitung, serapan baru mencapai Rp 3 miliar.
”Baru tiga proposal badan usaha yang disetujui, masing-masing Rp 2 miliar, Rp 700 juta, dan Rp 300 juta. Serapan ini tentunya sangat sedikit. Padahal, ada ratusan badan usaha kelautan dan perikanan di Bitung,” kata Hardiani.
Pada 2018, Dinas Kelautan dan Perikanan Sulut mencatat ada 33.943 nelayan yang tersebar di 13 dari 15 kabupaten/kota, sebanyak 7.310 berada di Bitung. Jumlah kapal ikan ukuran 11-30 gros ton (GT) diperkirakan sekitar 494, sementara kapal di atas 30 GT mencapai lebih dari 300. Nelayan kecil diperkirakan berjumlah ribuan orang.
Menurut Hardiani, rendahnya serapan ini dikarenakan kurangnya informasi tentang dana LPMUKP di kalangan nelayan. Pada saat yang sama, hanya ada satu orang fasilitator di Bitung yang ditunjuk KKP untuk mendampingi nelayan mengajukan pinjaman dengan bunga 3 persen per tahun tanpa biaya administrasi ini. Fasilitator pun kewalahan.
Akibatnya, nelayan lebih banyak mengajukan pinjaman ke bank dengan proses yang lebih rumit dan agunan berbunga tinggi. ”Kendala lain, ada pihak-pihak yang mengaku akan menguruskan pinjaman LPMUKP, tetapi meminta bayaran Rp 1,5 juta dari nelayan. Karena itu, penyaluran dana sempat dihentikan,” kata Hardiani.
Sementara itu, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia M Abdi Suhufan mengatakan, pinjaman modal LPMUKP sebenarnya sangat cocok untuk nelayan karena proses yang lebih sederhana ketimbang pinjaman di bank. Nelayan kecil individual bisa meminjam dana Rp 5-25 juta, sedangkan badan usaha kelautan dan perikanan berukuran mikro, kecil, dan menengah boleh meminjam sampai Rp 500 juta.
Namun, kurangnya pengetahuan akan syarat dan ketentuan pengajuan kredit menyebabkan serapan rendah. Banyak nelayan yang ingin mengajukan pinjaman, tetapi belum memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP), belum memenuhi syarat terkait alat tangkap, atau belum melengkapi surat izin usaha perikanan.
”Saat aset badan usaha mereka bertambah, seharusnya mereka lapor, tetapi banyak nelayan yang masih enggan. Banyak juga nelayan yang belum tahu manfaat dan risiko untuk menjadikan usaha mereka badan hukum. Kesulitan ini sebenarnya bisa diatasi karena akarnya hanya ketidaktahuan,” kata Abdi.
Kendala lain, ada pihak-pihak yang mengaku akan menguruskan pinjaman LPMUKP, tetapi meminta bayaran Rp 1,5 juta dari nelayan. Karena itu, penyaluran dana sempat dihentikan.
DFW dan Fisher Center Bitung telah mencoba bekerja sama dengan fasilitator LPMUKP di Bitung untuk mengadakan sosialisasi bagi 20 nelayan di Kelurahan Papusungan, Lembeh Selatan, pekan lalu. Para nelayan disebut memberi respons bagus dan menyatakan tertarik mengajukan pinjaman jika mendapat pendampingan penyusunan proposal.
Salah satu nelayan, Arter Mangemba, mengatakan, ia selama ini mengurus pinjaman di bank dengan proses yang lebih rumit. Ia pun menyatakan ingin mengajukan pinjaman LPMUKP. ”Kebetulan harga ikan tuna sedang naik lagi (menuju kisaran Rp 60.000 per kg). Saya ingin menambah kapal dengan pinjaman Rp 500 juta,” katanya.
Fasilitator LPMUKP di Bitung, Hendra Afriyan, juga mengatakan, kredit dari KKP itu memudahkan nelayan. Namun, pihaknya butuh bantuan dalam mendampingi nelayan menyusun proposal.
Karena itu, Pengelola Fisher Center Bitung Hardiani mengatakan, pihaknya akan bekerja sama dengan Serikat Awak Kapal Perikanan Bitung yang beranggotakan sekitar 100 orang untuk menyosialisasikan kredit itu. Para nelayan yang tertarik mengajukan kredit juga akan dikumpulkan untuk dibimbing membuat proposal. Sudah ada 13 proposal kredit yang akan dikawal penyusunan dan pengajuannya.
Sementara itu, Koordinator DFW Indonesia Abdi mengatakan, pihaknya akan menjalin kerja sama dengan pemerintah setempat, lembaga swadaya masyarakat, dan koperasi-koperasi nelayan untuk mendampingi dan mengevaluasi proposal kredit. Para nelayan kecil juga didorong mengajukan pinjaman.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulut Tienneke Adam menyebut angka serapan kredit LPMUKP yang baru Rp 3 miliar tidak hanya mencerminkan keadaan di Bitung, tetapi juga di Sulut. Itu lebih dikarenakan nelayan yang kurang cermat dalam memenuhi persyaratan. Jumlah fasilitator juga sangat sedikit, hanya lima orang se-Sulut.
”Seharusnya serapannya bisa 25-30 persen dari total dana BLU LPMUKP. Apalagi, jumlah pelaku usaha kelautan dan perikanan di Sulut banyak sekali,” ucapnya.
Tienneke menyatakan, koordinasi dengan dinas kelautan dan perikanan di kabupaten/kota akan digencarkan. Sebab, sosialisasi dan asistensi bagi nelayan harus difokuskan di kabupaten/kota, sedangkan provinsi bertugas mengoordinasikan dan mengawasi.
”Saya harap serapan bisa makin tinggi demi menopang perekonomian Sulut. Pemprov sudah menciptakan terobosan, salah satunya ekspor langsung ke Jepang dengan pesawat kargo. Harganya ikan bisa semakin bagus,” kata Tienneke.
Pesawat kargo yang terbang dari Manado ke Tokyo setiap Rabu malam itu berkapasitas 15 ton. Pada pengiriman pertama, 30 September lalu, produk Sulut baru mengisi sekitar 6 ton.