Pendekatan Berbasis Masyarakat Penting Melancarkan Pembangunan Hunian Sementara
Hunian sementara bagi penyintas gempa jadi hal mendesak pascabencana. Karena itu, agar berjalan sesuai harapan, dalam proses pembangunannya, sangat penting bagi pihak terkait menggunakan pendekatan berbasis masyarakat.
MATARAM, KOMPAS — Hunian sementara bagi penyintas gempa menjadi hal yang mendesak pascabencana. Oleh karena itu, agar berjalan sesuai harapan, dalam proses pembangunannya, sangat penting bagi pihak terkait, baik pemerintah maupun nonpemerintah, untuk menggunakan pendekatan berbasis masyarakat.
Hal itu mengemuka dalam Lokakarya Shelter Berbasis Masyarakt dalam Respons Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Tengah: Pengetahuan dan Solusi dari Lapangan, Rabu (21/10/2020).
Lokarya itu diselenggarakan oleh Humanitarian Forum Indonesia bersama Caritas Germany, Chatolic Relief Services, dan Habitat for Humanity Indonesia.
Baca juga : Ingatan Sejarah Sumber Mitigasi Tsunami Indonesia
Lokakarya diselenggarakan dalam rangka peringatan Bulan Pengurangan Risiko Bencana 2020 yang bertema ”Daerah Punya Aksi Pengurangan Risiko Bencana”. Sejumlah pengalaman dan hasil evaluasi dari pembangunan hunian sementara (shelter) pascabencana di Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Barat.
Selain menghadirkan perwakilan pemerintah daerah dari Sulawesi Tengah dan NTB, juga turut hadir perwakilan lembaga penyelenggara, lembaga terkait, penyintas, media, dan lainnya.
Head of Office Caritas Germany Country Office Indonesia Cipto Leksono mengatakan, hunian sementara merupakan satu bagian dari strategi program untuk pemulihan awal pascabencana.
Artinya, membangun rumah ini tidak hanya bangunan fisik saja, tetapi adalah satu proses, yang masyarakat bisa terlibat secara aktif.
Menurut Cipto, jika belajar dari kejadian bencana di Sulawesi Tengah dan NTB, pascabencana, masyarakat penyintas langsung membutuhkan hunian yang layak berupa hunian sementara.
Baca juga : Penyintas Gempa Petobo Diminta Memilih Dua Skema Relokasi
Seperti diberitakan, gempa bumi bermagnitudo 6,4 pada 29 Juli dan gempa bermagnitudo 7,0 pada 5 Agustus 2018 mengguncang NTB. Gempa itu mengakibatkan 564 orang meninggal, 1.000 lebih luka, 149.706 rumah rusak, dan hampir 400.000 warga mengungsi.
Sementara pada 12 Februari 2019, gempa bermagnitudo 7,4 dan tsunami mengakibatkan 4.340 orang meninggal dan hilang di Sulawesi Tengah. Dua bencana itu juga membuat 4.438 orang luka-luka, 68.451 rumah rusak, dan 172.635 orang mengungsi.
Cipto menambahkan, seperti yang mereka lakukan, termasuk juga oleh lembaga nonpemerintah lain, pendekatan yang digunakan adalah berbasis masyarakat. ”Artinya, membangun rumah ini tidak hanya bangunan fisik saja, tetapi adalah satu proses, yang masyarakat bisa terlibat secara aktif,” kata Cipto.
Baca juga : Mengabadikan Gempa Lombok pada Nama Bayi
Keterlibatan secara aktif itu, lanjutnya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan pembangunan, sampai ke pengawasan pembangunan yang diberikan ketika proses itu terjadi.
Yuli Kusoworo, Direktur Pelaksana Yayasan Arsitek Komunitas Indonesia dan koordinator evaluator program Caritas Germany bersama mitra-mitranya yang membanguan 1.340 shelter di Sulawesi Tengah dan NTB, setuju bahwa pembangunan shelter harus dilihat sebagai suatu proses.
Menurut Yuli, masyarakat lokal kita memaknai rumah sebagai alat untuk bekerja sama, media bergotong royong. Secara natural, hal itu terjadi di masyarakat kita.
Itu juga menjawab paradigma lain yang menyebutkan bahwa saat bencana atau tanggap darurat, masyarakat dilanda trauma dan tidak bisa berpikir.
”Berdasarkan evaluasi dan temuan kami, justru terjadi sebaliknya. Di delapan desa di Sulteng dan NTB, penyintas mengaku senang bekerja. Kalau tidak bekerja atau melakukan sesuatu di masa darurat, mereka justru stres,” kata Yuli.
Baca juga : Rehabilitasi-Rekonstruksi Rumah akibat Gempa Lombok Belum Tuntas Dikerjakan
Hal itu, menurut Yuli, yang menjadi fondasi pelaksanaan program Caritas Germany beserta mitranya dan bisa dijadikan pendekatan di masa mendatang. ”Poin masyarakat dijadikan pelaku atau subyek menjadi penting meskipun dalam keterbatasan-keterbatasan yang cukup tinggi di masa darurat,” katanya.
Pilihan pendekatan partisipatoris atau melibatkan penyintas, baik dalam pengambilan keputusan lewat ruang dialog maupun pilihan desain shelter, menurut Yuli, tidak hanya akan membuat mereka bertanggung jawab, tetapi juga menumbuhkan rasa memiliki yang tinggi, semangat senasib, dan kreativitas tinggi.
Tidak mudah
Ia mengatakan, pendekatan itu tidak mudah. Kunci keberhasilannya adalah pengalaman tiap-tiap lembaga yang ingin turun, penguasaan pada fase awal tanggap darurat, termasuk dalam membangun kepercayaan sebelum masuk ke fase pembangunan fisik.
Hal lain adalah bagaimana pendampingan sosial dan teknis, juga pemanfaatan material atau sumber daya lokal untuk menyiasati keterbatasan di lapangan. Yang juga penting adalah sistem sosial yang segera pulih sehingga akselarasi pembangunan cepat terjadi.
Sementara untuk tantangan, ujar Yuli, antara lain pilihan strategi, sistem, atau mekanisme yang telah disosialisasikan dipahami dan dapat dilakukan penyintas. Misalnya, transfer uang langsung atau pengelolaan oleh komunitas.
”Tantangan lain soal kemampuan staf lapangan menemukan tokoh lokal untuk menggerakkan masyarakat, memastikan keterampilan masyarakat lokal, serta batasan inovasi penyintas kaitannya dengan kearifan lokal dalam pembangunan,” kata Yuli.
Dalam lokakarya itu, menurut para penyintas dari Sulteng, pelibatan mereka sejak awal, mulai dari dialog hingga kebebasan memilih lahan yang bagus, membuat proses pembangunan huntara berjalan baik. ”Saya, misalnya, dalam kelompok diperbolehkan mencari lahan sehingga kami bisa dapat tidak hanya bagus, tetapi juga layak dan aman,” kata Gusti Handayani, salah seorang penyintas gempa Sulteng di Palu.
Baca juga : Seluruh Hunian Tetap Penyintas Gempa Lombok Selesai Akhir 2020
Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sulteng Debrina R Tobigo mengatakan, bencana adalah masalah bersama. Oleh karena itu, ia menyatakan, pemerintah daerah sangat terbantu dengan kerja-kerja lembaga nonpemerintah.
Ia setuju bahwa pelibatan masyarakat penting dilakukan dalam pembangunan huntara ketika terjadi bencana. Meski demikian, pelaksanaannya harus tetap patuh pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pelibatan masyarakat
Debrina menambahkan, mereka memberi perhatian khusus pada pelibatan masyarakat itu. Strategi pemulihan terkait shelter, ujarnya, bahkan akan diatur sendiri dalam peraturan daerah.
Kepala BPBD NTB I Gusti Bagus Sugihartha mengatakan, pascagempa, NTB sebenarnya tidak akan membangun shelter karena kebijakan pemerintah pusat adalah langsung membangun hunian tetap.
Akan tetapi, pembangunan hunian tetap tidak bisa serta-merta dilakukan, apalagi ada bencana lain, seperti gempa dan tsunami di Sulteng. Oleh karena itu, hunian sementara tetap dibutuhkan di NTB.
Baca juga : Pengawasan Tak Jelas Jadi Celah Menurunkan Kualitas Rumah Penyintas
Akhirnya, kata Gusti, bantuan dari organisasi nonpemerintah, termasuk kerja sama dari masyarakat, membuat pembangunan shelter tetap dilakukan, baik untuk perorangan maupun komunal.
Tercatat ada 37.194 hunian sementara di NTB. Sebanyak 21.489 unit dibangun oleh masyarakat secara mandiri dengan bahan dari Pemerintah Provinsi NTB yang dananya merupakan bantuan masyarakat. Sementara dari organisasi nonpemerintah sebanyak 15.705 unit yang bersifat komunal.
Dalam lokakarya itu muncul sejumlah catatan dari peserta, misalnya payung hukum terhadap panduan hunian sementara. Selain itu, kebijakan menyeluruh mulai dari prabencana, saat saat bencana, dan pascabencana. Hal lain adalah ada kebebasan atau fleksibilitas bagi organisasi nonpemerintah, tetapi tetap mengacu pada standar kemanusiaan inti (CHS), serta perbaikan koordinasi antarlembaga pemerintah.