Lestarikan Memberi untuk Menolak Bala
Sunan Gunung Jati, pemimpin Cirebon abad ke-15, mengajarkan rumus menolak bala, caranya memberi kepada orang yang membutuhkan. Peninggalan Wali Sanga itu masih lestari meski di tengah kondisi sulit akibat pandemi.
Sunan Gunung Jati, pemimpin Cirebon abad ke-15, mengajarkan rumus menolak bala, caranya memberi kepada orang yang membutuhkan. Peninggalan Wali Sanga itu masih lestari meski di tengah kondisi sulit akibat pandemi Covid-19.
Cring... cring… cring....
Koin berhamburan di tanah Kedaton, Keraton Kanoman, Kota Cirebon, Jawa Barat, Rabu (14/10/2020). Suara itu segera lenyap, berganti sorakan belasan abdi dalem yang berdesakan memungut koin. Dihadang masker, teriakan mereka tidak tenggelam.
Meski terjatuh, mereka tetap ceria dan tertawa. Tidak ada amarah, apalagi saling injak, seperti pembagian bahan makanan pokok kepada masyarakat kurang mampu di beberapa daerah. Padahal, para abdi dalem sudah berumur, rambutnya memutih.
”Alhamdulillah, dapat Rp 20.000,” ucap Iin Karmila (55), abdi dalem keraton, sambil memamerkan tumpukan uang koin, Rp 500 dan Rp 1.000, di tangannya yang keriput. Napasnya tersengal dalam balutan masker batik bermotif mega mendung khas Cirebon.
Setelah proses itu usai, Iin dan para abdi dalem lantas khusyuk melantunkan syair tawurji. ”Tawurji, tawurji, tawur tuan aji, semoga dawa umur”. Artinya, tawurji, tawurji, tabur bapak haji, semoga panjang umur. Keluarga keraton lalu menabur koin ke depan dan abdi dalem pun kembali berebut.
Beginilah suasana tradisi tawurji di Keraton Kanoman. Tawurji berasal dari dua kata, yakni tawur dan aji. Tawur dimaknai ’menabur koin dan sejenisnya’ sedangkan aji merujuk pada ’tuan haji atau orang yang mampu’.
Meskipun hanya recehan, esensi tradisi ini adalah sedekah, yang mampu memberi kepada orang kurang mampu. ”Ini berkah. Sebagian uang tawurji saya simpan di laci. Nanti, kalau ada keluarga yang minta, saya kasih. Uang tahun lalu juga masih ada,” kata Iin yang akrab disapa Nyak.
Uang itu menyemangati Nyak saat tidak lagi berjualan di daerah Keraton Kanoman akibat pandemi Covid-19. Penghasilan sekitar Rp 50.000 per hari pun hilang. Padahal, biasanya, menjelang Maulid Nabi Muhammad SAW, ribuan orang mengunjungi keraton. Uang berputar.
”Tawurji sekarang saya dapat lebih banyak koin karena orang enggak banyak,” ucap Nyak tersenyum. Pihak keraton membatasi pelaksanaan tradisi hanya dalam lingkungan keraton. Setidaknya, ibu tiga anak dan satu cucu ini masih bisa bersyukur, termasuk menikmati makanan gratis dari keraton.
Baca juga: Aneka Langkah untuk Melawan Musuh Bersama di Ciayumajakuning
Menurut juru bicara Keraton Kanoman, Ratu Raja Arimbi Nurtina, tawurji merupakan bentuk sedekah keluarga keraton kepada masyarakat. Namun, karena pandemi, tradisi digelar bagi para abdi dalem saja. Tidak ada jumlah khusus koin yang dibagikan. Akan tetapi, semua koin terlebih dahulu didoakan Sultan Kanoman XII Cirebon Raja Muhammad Emirudin.
”Sedekah memang bisa dilakukan kapan pun. Tapi, sesuai tradisi, tawurji dilakukan hari Rabu terakhir bulan Safar agar terhindar dari bala. Ngapem juga begitu,” katanya.
Ngapem adalah membuat dan membagikan apem, kue berbahan tepung beras dan ragi, kepada warga sekitar keraton. ”Apem yang putih menyimbolkan perilaku suci. Cara membuatnya pun dengan berzikir, bukan berkata kotor,” ucapnya.
Sedekah memang bisa dilakukan kapan pun. Tapi, sesuai tradisi, tawurji dilakukan hari Rabu terakhir bulan Safar agar terhindar dari bala.
Menolak bala
Menurut Ratu Arimbi, tradisi peninggalan Sunan Gunung Jati tidak hanya soal sedekah saja, tetapi juga pemberdayaan umat. Sunan Gunung Jati juga meletakkan tonggak Cirebon sebagai pusat peradaban Islam dengan ciri khas, seperti batik, seni lukis kaca, hingga tarian. Keterampilan inilah yang turut menghidupi warga hingga kini.
Tawurji, misalnya, berawal ketika pengikut Syekh Lemahabang atau Syekh Siti Jenar dianggap sesat karena lebih memuja manusia daripada Tuhan. Hidup mereka pun terlunta-lunta.
Bukannya menghukum mereka karena salah, Sunan Gunung Jati malah memberikan perlindungan, seperti tempat tinggal dan bekal. Mereka diberdayakan dan dibimbing. Tradisi ini kemudian dikenal dengan istilah tawurji.
Bagi Ratu Arimbi, tawurji yang menciptakan kerumunan tidak lagi relevan di tengah pandemi. ”Namun, tradisi ini masih dibutuhkan untuk mengajarkan kepada siapa saja agar memberi demi menolak bala,” ujarnya.
Apalagi, saat ini Covid-19 mewabah serta menelan lebih 70 korban jiwa di Kota dan Kabupaten Cirebon. Perekonomian tertatih. Pelaku usaha kecil hingga pengusaha besar terdampak.
Iman (63), perajin sekaligus pemilik Batik Iman Dalem, terpaksa meliburkan 18 karyawannya pada April-Mei lalu. Selain khawatir perajinnya terpapar Covid-19, kondisi itu juga harus dilakukan karena nyaris tidak ada pemesanan batik.
Baca juga: Batik Trusmi, Mati Tidak, tapi Hidup Berteman Sepi
Akan tetapi, Iman tidak meninggalkan mereka begitu saja. Dia memberi kompensasi agar perajinnya masih bisa makan. Ia juga memutar otak demi usahaya kembali berjalan. Iman yang membatik sejak usia 15 tahun kemudian memanfaatkan waktu membuat delapan motif baru. Padahal, dalam setahun, ia maksimal menghasilkan lima motif.
Motif baru, seperti naga, tupai, dan bambu diharapkan diminati pelanggan. Belasan perajinnya pun kembali membatik. Dalam sebulan, ia bisa mengirim 10 lembar batik ke sejumlah daerah. ”Ini cukup untuk menggaji karyawan dan kebutuhan makan saya. Kalau untung memang belum ada,” katanya.
Ia teringat pesan tetua desa bahwa Ki Gede Trusmi, penyebar agama Islam, mengajari warga membatik bukan untuk menumpuk kekayaan materi. ”Dulu, batik mempererat persaudaraan. Batik merupakan hadiah atau tanda terima kasih, bukan untuk jual-beli,” kenangnya.
Itu sebabnya, justru ketika kondisi sulit menghadapi pagebluk seperti saat ini, saling memberi jauh lebih baik dibandingkan dengan meraup keuntungan. Pengusaha Hotel Ono’s dan Hotel Langensari di Kota Cirebon setidaknya mencoba menerapkan hal serupa.
Dulu, batik mempererat persaudaraan. Batik merupakan hadiah atau tanda terima kasih, bukan untuk jual-beli.
Hotel isolasi
Kedua hotel di pusat kota ini menjelma tempat isolasi mandiri bagi pasien terkonfirmasi Covid-19 dengan gejala ringan dan tanpa gejala. Pemkot Cirebon menyewa hotel itu hingga akhir tahun. Hotel Ono’s menyiapkan 104 tempat tidur, sedangkan Hotel Langensari menyediakan 46 tempat tidur.
”Kami ada kekhawatiran saat diminta menjadi hotel untuk pasien Covid-19 nanti tamu bisa takut ke sini. Tetapi, kami kemudian berpikir tidak cukup hanya mencari untung. Kami juga mau ikut membantu penanganan Covid-19 meski bukan dokter,” kata Manajer Operasional Hotel Ono’s Cirebon Ibrahim Arsyad.
Pihaknya pun meminta sejumlah tamu agar mencari tempat menginap lain karena per Kamis (15/10/2020), hotel mulai digunakan sebagai tempat isolasi. Pesanan tamu pada akhir pekan ini juga dibatalkan. Keputusan menjadikan hotel sebagai tempat isolasi memang dilema karena tingkat hunian hotel mulai naik hingga mencapai 60-70 persen.
Baca juga : 112 Nakes Terpapar Covid-19, Pemkab Cirebon Akan Siapkan Hotel
Ibrahim tidak menampik omzet hotel bisa menurun. Jangankan tamu, karyawan saja khawatir saat hotel menjadi tempat isolasi. ”Sudah ada satu-dua karyawan yang minta dirumahkan karena takut. Saya juga takut. Tetapi, kami sudah diberi tahu cara mencegah Covid-19,” kata pria berusia di atas 50 tahun ini.
Wali Kota Cirebon Nashrudin Azis mengapresiasi peran pengusaha untuk berkorban demi penanganan pandemi. ”Pemerintah menjamin, setelah pandemi ini selesai, nama baik hotel itu tidak menurun. Kami akan menginap di hotel,” ucapnya.
Tradisi tawurji, upaya perajin batik bertahan, hingga kerelaan pengusaha hotel dalam menangani pandemi menunjukkan, pesan Sunan Gunung Jati tak lekang meski ada wabah. Rumus menolak bala adalah memberi, bukan mengambil demi kepentingan sendiri.
Baca juga: Pesan Toleransi dari Lukisan Keramik